blank

Dapur Ngebul

Pada umumnya manusia itu punya perut yang musti diisi dan pikiran yang perlu diucapkan. Mungkin manusia masih mampu berpikir logis dalam keadaan lapar tetapi tidak mampu dalam keadaan kelaparan. Maka dalam keadaan kelaparan manusia tidak akan mampu mengucapkan sesuatu sesuai dengan nuraninya, tetapi dia akan mengucapkan sesuatu yang bisa membuat dirinya kenyang sekalipun mencederai apa yang dia yakini.
Sekalipun tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang yang strata sosialnya tinggi secara materi pun terkadang masih kelaparan, bukan cuma buah saja yang dimakan tapi hutan juga ditelan. Namun bagi kita yang sudah terbiasa sederhana jika kebutuhan dapur kita tercukupi itu memungkinkan kita untuk mandiri, minimal tidak menyusahkan orang lain.
Jika urusan dapur sudah ngebul maka kita akan lebih mudah untuk memikirkan hal-hal yang lain, untuk kebermanfaatan yang lebih lebar. Bila perlu kita tingkatkan dari dapur yang ngebul ke dapur yang mampu menyajikan makanan layak saji untuk tetangga kita. Artinya kita bisa jadi corong rizki untuk penghidupan orang lain. Maka kata Mbah Nun seingat saya kita itu harus sungguh-sungguh dalam bekerja, alias harus sidiq supaya otputnya nanti kita bisa bersedekah dengan sesama, ringkasnya supaya bermanfaat.

Celotehan Tentangga

Rumput tetangga terlihat lebih hijau, kira-kira begitulah kata pepatah. Pada kenyataannya bukan cuma rumput yang terlihat hijau yang bisa membuat kita berpaling, tetapi omongan tetangga juga bisa mendikte kehidupan kita sehari-hari. Kita bisa terpengaruh oleh lingkungan, kita juga bisa mempengaruhi lingkungan. Tetapi selama kita tidak punya pengaruh selama itu juga kita akan dikepung oleh omongan tetangga yang bisa jadi mempengaruhi kita untuk bangkit atau mendikte dan menjatuhkan.
Sekalipun untuk hal-hal yang di luar diri kita bisa mengatakan iya atau tidak seperti omongan tetangga tadi, tetapi percayalah itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Biasanya kita malah ikut larut dalam pengaruh orang lain atau konstruk berpikir orang lain, sehingga kita tidak mampu independent dalam berpikir apalagi dalam melangkah dan bertindak.
Maka yang lebih dahulu digarap adalah lahan di dalam diri, dalam hal ini potensi yang dilatih secara konsisten entah dalam hal apapun. Jika kita konsisiten dan menggunakan metode tekun dan ulet maka rizki pun akan datang sebagaimana apa yang kita upayakan. Kelak supaya kita jadi expert dalam bidang tertentu yang bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Expert dalam bidang tertentu itu penting, sebab untuk memecahkan problem individu dan problem sosial itu perlu seorang aktor yang konsen dalam bidangnya. Dan, jika kita jadi expert dalam bidang tertentu maka kita punya kepercayaan diri untuk bisa mempengaruhi orang lain. Selain itu kita bisa punya peran dimasyarakat dan ikut andil untuk nyicil mewujudkan apa yang kita dan orang lain pikirkan.

Men_jama’ah_kan ide dan Celotehan Tetangga

Selain sholat wajib yang dianjurkan untuk berjamaah, saya kira ide, pikiran, dan gagasan juga perlu di_jama’ah_kan, termasuk celotehan tetangga. Jadi setelah kita bisa mandiri secara ekonomi, minimal kebutuh sehari-hari sudah tercukupi, dan tidak menyusahkan orang lain, maka pelan-pelan kita bisa punya waktu untuk mengurus hal lain. Seperti serawung bareng tetangga dalam rangka menkomunikasikan ide, barangakali ada sesuatu yang bisa dikerjasamakan.
Tidak perlu muluk-muluk namanya saja di desa, kira-kira potensi apa yang bisa kita rempug bersama dan kita kembangkan bersama. Tentunya dengan asas kebermanfaatan, apa lagi jika sesuatu bisa menghasilkan rizki yang nantinya sebagian bisa kita sedekahkan. Bukankah itu lebih mengasyikkan.
Kalau kita rajin membaca potensi diri atau bersungguh-sungguh terhadap apa yang kita jalani sekarang biasanya akan berdampak pada pembacaan kita kepada sesuatu yang ada di luar diri. Entah membaca potensi manusianya atau sumber daya alamnya yang bisa kita kelola bersama-sama.

Maka membaca potensi diri dan memantaskan diri itu langkah awal sebelum kita mengajak dan ngomong banyak hal ke orang lain. Dan, sebaiknya kita berkaca pada tetangga, artinya ketika kita masih belum mandiri secara ekonomi (dapure durung ngebul) maka ide, pikiran, dan gagasan kita pun masih diragukan, atau kita hanya jadi bahan celotehan tetangga saja.
Namun ketika kita sudah berkecukupan secara ekonomi maka pikiran-pikiran kita akan cenderung didengar dan dengan mudah kita bisa men_jama’ah_kan pipikiran-pikiran orang lain. Jadi segala sesuatu itu ada kausalitasnya, maka jika kita belum bersungguh-sungguh (sidiq) dengan apa yang kita jalani sekarang, bagaimana mungkin Tuhan akan memberikan amanah untuk hal-hal yang lebih besar lagi.