blank

Kamis, 25 April 2024, dalam suasana Idul Fitri yang masih sangat terasa, rutinan Gambang Syafaat edisi April 2024 kembali diadakan. Berlokasi di area replika Kabah Masjid Agung Jawa Tengah, rutinan kali ini bertempat di area outdoor. Pemasangan panggung dan tenda sudah dilakukan sejak pukul 10 pagi, sehingga pada waktu Maghrib, persiapan sudah hampir selesai. Suasana malam yang sejuk dan sesekali bersemilir angin sepoi membersamai berlangsungnya rutinan sekaligus halal bi halal keluarga besar Maiyah Gambang Syafaat Semarang. Dibuka dengan lantunan munajat yang dipandu oleh Kang Jion, Mas Ihfan, dan Kang Wahid. Majelis kali ini bertajuk Kaffah Kemanusiaan.

Dipandu oleh Mas Duwi dan Mbak Diyah sebagai moderator, sesi pertama dilangsungkan. Beberapa kalimat pemantik dilontarkan untuk mengalasi diskusi yang nantinya akan diperdalam oleh para narasumber. Mas Duwi dan Mbak Diyah silih berganti melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana manusia kaffah itu sebenarnya. Apalagi di era modern yang semua serba tampak abu-abu ini, manusia justru semakin sulit untuk menemukan dirinya sendiri, apalagi membentuk diri menjadi sosok yang kaffah. Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, Mas Agus Wibowo dari Majlis Gugur Gunung dan Pak Joko Wicaksono dipersilakan untuk naik ke atas panggung serta bergabung dengan para jamaah. Diiringi satu nomor dari Mas Rio dan Mas Wahyudi dengan format akustik yang membawakan lagu dari Letto, para jamaah disuguhkan dengan hiburan terlebih dahulu sebelum diajak untuk menyelami ulasan tema yang sedikit memberatkan kepala.

Benar saja, Mas Agus sebagai pembicara pertama menanggapi tema Kaffah Kemanusiaan dengan pantikan yang mengena. Diawali dengan rasa syukur karena dipertemukan kembali dengan jamaah Maiyah Gambang Syafaat sebagai salah satu upaya untuk selalu berada di shirathal mustaqim dan senantiasa mendapatkan hidayah. Shirathal mustaqim dapat diartikan sebagai jalan luas dan lurus yang dapat mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, bukan hanya tentang jembatan yang harus dilewati oleh manusia di akhirat yang konon lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Bahwa menegakkan ketauhidan di dunia pun dapat menjadi bagian dari pemahaman akan shirathal mustaqim itu sendiri.

Mas Agus juga menyinggung bahwa istilah hidayah tidak hanya berlaku bagi orang yang bukan Islam kemudian masuk Islam. Namun, memohon hidayah juga berarti tentang memohon agar senantiasa mendapati diri tetap berada di jalan Allah. Hal ini berhubungan dengan salah satu ciri manusia yang kaffah. Secara istilah, kaffah berarti purna, total, komprehensif, dan menyeluruh. Sebenarnya hal ini cukup membingungkan, sebab menjadi manusia bukan tentang menghilangkan keburukan dan hanya mengagungkan kebaikan. Sebab hal ini justru berbahaya, karena dapat menimbulkan potensi takabur atau kesombongan.

Mas Agus juga menjelaskan melalui falsafah Jawa tentang bagaimana peran salat dalam membawa manusia menuju ke-kaffah-an. Dimulai dari salat Subuh, di mana manusia masih berada dalam kondisi lemah karena baru saja bangkit kembali dari kematian kecil yang bernama tidur itu. Pada momen yang masih minim distraksi ini, manusia diperintahkan untuk melaksanakan salat dua rakat sebagai bentuk kesiapannya untuk menghadapi hari. Ditandai dengan berdiri tegak dan melafalkan takbiratul ihram, lalu rukuk yang melambangkan elemen angin, i’tidal sebagai perwujudan elemen air, sujud yang menggambarkan interaksi kita dengan elemen tanah, dan ditutup dengan salam. Inilah sebab salat harus senantiasa berulang setiap harinya pada waktu-waktu tertentu, yaitu agar dapat menjadi pengingat posisi manusia dan untuk mencapai kondisi kaffah.

Pada waktu siang hari manusia telah mengalami banyak distraksi, sehingga disarankan untuk mengingat Allah SWT dengan cara me-luhur-kan diri melalui salat Dzuhur. Kemudian setelah satu hari berinteraksi atau bergaul dengan dunia, manusia diharapkan dapat bersikap andap asor dengan menjalankan perintah salat Ashar. Salat Maghrib pada waktu surup juga menjadi imbauan kepada orang-orang agar tidak keluyuran atau berada di luar rumah jika tidak ada kepentingan mendesak, sebab dikhawatirkan jika jasad, jiwa, atau roh kita mengalami kesurupan dalam artian diganggu oleh hal-hal yang bersifat negatif. Lalu sebagai penutup hari dan penyempurna agar seorang manusia menjadi makhluk yang wasesa, maka harus ditutup dengan salat Isya.

Setelahnya, Pak Joko Wicaksono dari Museum Ranggawarsita Semarang ikut mbeber kloso. Pak Joko bercerita mengenai pengalamannya berpuasa di benua Australia, di mana jadwal imsak adalah pukul 3 pagi dan baru dapat berbuka puasa sekitar pukul 9 malam. Memang cukup memberatkan, namun puasa dalam durasi waktu yang lama ini juga dapat dijadikan sebagai sarana detoksifikasi. Sebab konon puasa yang paling baik adalah seperti mode intermittent fasting yaitu pengaturan pola makan dengan menggunakan jeda waktu untuk bisa mengonsumsi makanan, umumnya dilakukan dalam waktu 16 jam berpuasa, dan 8 jam untuk mengonsumsi makanan.

Pak Fauzan menyusul kedua narasumber sebelumnya untuk bergabung di atas panggung. Melanjutkan pembahasan tentang puasa yang telah dipantik oleh Pak Joko, Pak Fauzan mengatakan bahwa puasa yang benar adalah demi mengharap ridho Allah SWT sehingga nantinya dosa manusia yang melakukan puasa tersebut akan dihapuskan. Hal ini berhubungan dengan salah satu definisi manusia kaffah yang harus hidup dengan sebaik-baiknya sehingga ketika mati tidak berada dalam kondisi seperti awal kehidupannya. Definisi manusia kaffah yang lain adalah manusia yang dapat memberikan kebermanfaatan dalam hidupnya. Seperti salah satu hadits Rasulullah yang berbunyi:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya).’’

Seperti Mas Agus yang mengadopsi falsafah Jawa, Pak Fauzan juga mencontohkan salah satu kebermanfaatan manusia melalui sebuah cangkriman yang berbunyi wiwo wite, lesbodhonge, karwa pake yang artinya uwi dhawa wite, tales amba godhonge, cikar dhawa tipake (uwi panjang batangnya, talas lebar daunnya, delman panjang jejaknya). Menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Memberikan manfaatkan kepada orang lain dijamin akan kembali untuk kebaikan diri sendiri. Setiap individu harus berpikir untuk beramal saleh dengan cara memberi manfaat kepada semua orang dan berbuat baik kepada sesama makhluk Allah, daripada sekadar membangun kesalehan spiritual yang tak banyak berguna bagi orang lain. Jangan sampai kita mengatakan bahwa urusan akhirat itu lebih penting daripada urusan dunia, atau sebaliknya, karena sebenarnya keduanya saling melengkapi. Jangan pula seperti kisah Abu Hisyam di mana Allah melarang malaikat Jibril untu mencatat namanya dalam daftar penghuni surga sebab dia terlalu asyik dengan pahala pribadi namun tidak peduli dengan sosial.

Terdapat empat hal yang sudah ditentukan oleh Allah SWT saat seorang manusia lahir ke dunia yaitu hidup, mati, jodoh, dan rezeki. Begitu lahir, di telapak tangan manusia tertulis angka 18 dan 81 yang jika dijumlahkan adalah 99, sesuai dengan nama-nama Allah dalam Asmaul Husna. Oleh karena itu, dalam hidup janganlah bertindak seperti seorang perempuan yang memintal benang namun justru mencabutinya kembali alias melakukan hal yang sia-sia dalam hidupnya. Setiap manusia harus memastikan bahwa hidupnya terus bermanfaat agar nantinya dapat kembali kepada Allah SWT dalam kondisi selamat.

Cak Nug mengisi pergantian antara sesi pertama ke sesi kedua dengan membacakan sebuah puisi dengan judul “Ora Blas Puisi”. Puisi ini bertema demokrasi dan memberikan gambaran mengenai kondisi Indonesia sekarang ini. Dipandu oleh Mas Ihfan dan Kang Jion sebagai moderator, sesi kedua diisi oleh Pak Saratri dan Pak Ilyas. Pak Saratri mencontohkan Nabi Muhammad sebagai sosok manusia kaffah. Kita sebagai hamba selayaknya tidak hanya meniru penampilan namun juga perbuatannya. Serta jangan pula memilih-milih sunah Nabi yang fokusnya hanya demi menguntungkan diri sendiri.

Al Quran juga merupakan kitab suci umat Islam yang wajib dilaksanakan secara kaffah. Sebab 96,5% ayat Al Quran merupakan muamalah yang mengatur tentang hal-hal praktis seperti hukum waris, hukum nikah, hukum dagang, pemerintahan, dsb. Kunci yang harus dipegang teguh dalam mempelajari Al Quran adalah iqra’ dan berpikir. Sebenarnya, jika Al Quran tidak diamalkan secara kaffah, maka sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan akan terhenti karena banyak pula penemuan modern yang sebenarnya sudah dituliskan sejak lama di dalam Al Quran.

Jika narasumber-narasumber sebelumnya membahas tema puasa, Pak Ilyas memilih mengambil membedah tentang Idul Fitri. Seperti penggunaan ucapan minal ‘aidin wal-faizin yang sebenarnya pada masa kekhalifahan Rasyidin pada 632 Masehi atau 11 Hijriah, diucapkan setelah kembali dari medan pertempuran. Sesuai dengan artinya, ucapan ini berarti memberi selamat pada “mereka yang kembali (dari peperangan) dan mereka yang menang”. Adapun, asal usul ucapan taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kullu ‘aamin wa antum bi khair adalah sebagai berikut:

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تَقَبَّلْ ياَ كَرِيْمُ وَجَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ الْعَاءِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ وَالْمَقْبُوْلِيْنَ كُلُّ عاَمٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ
Artinya:
“Semoga Allah menerima (amal ibadah) kami dan kamu, wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah. Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu semua senantiasa dalam kebaikan.”

Kembali menggunakan basis falsafah Jawa, Pak Ilyas menjelaskan makna di balik hidangan yang biasa disajikan saat lebaran. Seperti ketupat atau bagi masyarakat Jawa kerap disebut sebagai kupat, merupakan singkatan dari laku papat yang dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tindakan empat, yaitu lebaran, luberan, leburan, serta laburan. Lebaran dimaknai dari sebuah kata dasar lebar, yang berarti selesai atau telah tuntas melaksanakan ibadah puasa. Luberan dari kata dasar luber atau melimpah yang memiliki arti pahala yang melimpah. Leburan berasal dari kata lebur yang berarti habis atau dosa-dosa yang dibuat habis atau kosong sehingga hati kembali pada kesucian. Laburan berasal dari kata labur yang memiliki arti batu kapur, sehingga dimaknai sebagai hati dan jiwa yang kembali putih bersih ibarat kapur.

Selain ketupat dan nasi, hidangan yang kerap disajikan pada perayaan lebaran di daerah Jawa adalah lontong. Filosofi dibalik penyajian lontong pada hari besar umat muslim tersebut adalah karena lontong dalam Bahasa Jawa merupakan kependekan dari olone dadi kothong, yang jika diartikan per kata menjadi olone berarti kesalahannya, dadi berarti menjadi, dan kothong berarti kosong. Hari raya Idul Fitri di Jawa juga tidak bisa lepas dari hidangan bersantan, sebut saja opor, sayur lodeh, kolak, dan sebagainya. Dalam budaya Jawa sendiri, masyarakat kerap menyebut santan dengan nama santen yang secara filosofi memiliki makna ingkang salah nyuwun pangaputen atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya yang salah meminta maaf atau sama-sama saling memaafkan.

Majelis ditutup pukul setengah satu malam dengan shohibu baiti dan saling bersalaman. Mas Agus, Pak Joko, Pak Fauzan, Pak Saratri, dan Pak Ilyas mengingatkan kita akan pentingnya merenungkan makna sejati dari eksistensi manusia dan memperjuangkan kesejahteraan bersama dalam kehidupan ini. Dengan demikian, pada kesimpulan pembahasan tema Kaffah Kemanusiaan pada Gambang Syafaat edisi April 2024 adalah kita harus memahami bahwa menjadi manusia kaffah tidaklah sekadar meniru penampilan atau menjalankan perintah agama, tetapi lebih dalam dari itu, mencakup kebermanfaatan bagi sesama dan pencapaian kebaikan dalam hidup.