blank

Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya, namun belum tentu buah yang jatuh tersebut juga akan menjadi pohon dan menghasilkan buah yang sama kualitasnya dengan pohon pertama. Bisa jadi hasilnya lebih buruk atau lebih baik. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya cara penyemaian benihnya, kesuburan tanah, nutrisi yang diberikan, ketersediaan air, hingga suhu lingkungan tempat ia tumbuh. Namun ini bukan tentang pohon.
Manusia tidak pernah bisa memilih lahir dari rahim siapa, ada yang terlahir dari keluarga kaya raya, tokoh terkemuka, atau keluarga biasa saja nan sederhana. Ada yang merasa bahwa kalau lahir di keluarga kaya dan terpandang itu merupakan anugerah, sedangkan kalau di keluarga yang biasa saja atau cenderung miskin, kita memaknainya sebagai musibah. Padahal ini terkadang hanya masalah bagaimana kita memaknainya saja, bahwa sesuatu yang kita senangi lantas diberi makna anugerah dan kalau yang tidak disenangi itu musibah. Tapi apakah kehidupan ini berjalan hanya tentang apa yang kita senangi dan tidak ? Kita ini kan makhluk, segala yang ada di dunia ini juga makhluk, maka segala sesuatu berjalan itu atas kehendak Yang Maha Menciptakan makhluk, yakni Allah. Bukan kita yang menjalankan kehidupan, kita hanya menjalani kehidupan yang telah diatur oleh Sang Khalik.
Walaupun kehidupan telah diatur oleh Allah, namun sebagai bentuk perwujudan dari rahmat Allah kepada manusia, maka manusia dipinjamkan sebagian dari kuasa-Nya untuk berdaya kreatif mendapatkan nasibnya. Manusia diberikan sarana untuk bernegosiasi dengan Allah perihal nasibnya. Innallaha la yugayyiru ma biqaumin hatta yugayyiru bi anfusihim, tidaklah Allah mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka. Allah tidak akan mengubah seseorang dari keadaan bodoh menjadi pandai, kecuali ia mau berusaha untuk belajar. Tentang “menjadikan” seseorang dari bodoh kemudian pandai itu wilayahnya Allah, wilayah manusia hanya berusaha dengan ketekunannya dalam belajar.
Termasuk kita dilahirkan di dunia sebagai manusia, dan lahir di keluarga kita saat ini adalah kehendak Allah sepenuhnya. Kalau kita terlalu pusing memikirkan apa yang menjadi urusan Allah, maka apa yang seharusnya menjadi urusan kita menjadi tidak terurus. Kesenangan dan kesusahan akan selalu ada dalam hidup kita, itu sunatullah, mau itu orang kaya atau miskin akan selalu menghadapi kesusahan dalam kadarnya masing-masing. Bukankah akan menambah “kesusahan” jika kita selalu berpikir untuk meniadakan kesusahan dalam hidup ?. Senang dan susah adalah dua hal yang silih berganti dalam hidup kita, bahkan senang dan susah terkadang hanya masalah pemaknaan dan penghayatan kita terhadapi apa yang kita hadapi dalam kehidupan. Kalau kata Plato dalam bukunya Meno, “kesusahan adalah hakikat dari pengetahuan”. Boleh dikatakan semakin banyak kesusahan atau kesulitan yang kita hadapi dalam kehidupan maka sebenarnya banyak pengetahuan yang akan kita dapat, asal kita mampu menyikapinya secara tepat.
Sebab alam semesta dan kehidupan di dunia ini tidaklah bersifat tetap (statis), melainkan selalu bergerak (dinamis) dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Alam semesta pun selalu bergerak dan mengalami perubahan sekalipun ia seperti bersifat rutinitas belaka dan nampak sebagai suatu peristiwa yang sama dari yang kemarin namun hakikatnya ternyata sangat berbeda. Pergantian siang dan malam mungkin merupakan peristiwa yang terjadi berulang-ulang, namun siang dan malam di hari sebelumnya dengan siang dan malam di hari ini kita jalani tentu sudah berbeda. Dengan memahami hal ini saja kita sudah melihat bahwa kehidupan ini bergerak dan berubah. Lantas bagaimana dengan manusia? Manusia juga bagian dari kehidupan di alam semesta bahkan dalam diri manusia itu juga terdapat alam semesta. Imam Al Ghazali dalam kimiya’us sa’adah menyebutkan bahwa manusia merupakan bentuk kecil dari alam semesta, ia merupakan jagad kecil.
Maka manusia yang berhadapan langsung dengan kehidupan pun tidak cukup hanya bertahan saja. Manusia tidak bisa hanya berdiam diri dan menikmati hidup. Justru karena manusia hidup, ia harus berjuang dan bergerak sebab hidup ini adalah perjuangan bukan pertahanan. Sekalipun kamu itu keturunan dari bangsawan, orang terpandang dan dimuliakan, namun jika hanya bertahan maka bukan tidak mungkin pertahanan itu pun akan runtuh. Ibarat seperti benteng Konstantinopel yang disombong-sombongkan tidak akan tertembus karena begitu kokohnya, akhirnya pun mampu ditembus oleh Muhammad Al Fatih dan pasukannya karena beliau mau bergerak dan berjuang.
Begitu pun manusia, bukan masalah kita dari keturunan siapa dan dari ras apa yang menjadikan diri kita memiliki “nilai” dan kemuliaan dalam hidup. Namun seberapa gigih manusia memperjuangkan hidupnya dan meningkatkan kualitas dirinya sehingga hidupnya mulia dan bermakna. Jangan hanya bertahan hidup, tapi berjuanglah dalam kehidupan.