Apa yang terpikir saat mendengar kata nyentosani? Secara permukaan, ia bisa dimaknai sebagai utuh, kuat, atau kokoh. Namun, sesungguhnya ia lebih dari sekadar kata. Nyentosani adalah perjalanan batin yang mendalam, sebuah upaya untuk menciptakan harmoni dan ketenangan—baik bagi diri sendiri maupun semesta. Dari sini, kita diajak untuk melingkar, sinau bareng, menggali, dan menemukan makna sesungguhnya dari nyentosani.
Dalam kehidupan, kita sering mendambakan tempat di mana kita dapat menjadi diri sendiri. Sebuah rumah yang tidak menilai, tetapi menerima. Layaknya burung yang berkicau di pagi hari, ia tidak menunggu penonton untuk mendengar atau tepuk tangan untuk menyertai. Dengan kehadirannya yang tulus, ia telah memuliakan semesta. Filosofi ini sejalan dengan makna kata kukilo dalam Jawa—burung yang juga melambangkan laku: bagaimana kita hadir, berperan, dan mengekspresikan diri dalam panggung kehidupan.
Namun, laku sejati bukan sekadar tentang menjadi “payu” atau laris-manis. Lebih dalam dari itu, laku adalah usaha untuk menjadi manfaat yang terus relevan sepanjang zaman, seperti kehadiran Kanjeng Nabi Muhammad sebagai Rahmatan Lil Alamin. Tapi, di tengah dunia yang pragmatis ini, di mana banyak yang berjanji untuk kepentingan bersama tetapi justru sibuk dengan kepentingan pribadi, bagaimana kita bisa mengekspresikan laku ini? Sebuah tembang Jawa memberi kita petunjuk.
Ngelmu iku kalakone kanthi laku,
Lekase lawan kas,
Tegese kas nyantosani,
Setya budya pangekese dur angkara.
Wejangan ini menegaskan bahwa ilmu sejati (ngelmu) hanya bisa dicapai dengan laku, yaitu tindakan yang didasari kerendahan hati dan niat yang tulus. Pilihan kata ngelmu dalam tradisi Jawa menyiratkan bahwa ilmu itu belum selesai, belum sempurna. Ini adalah perjalanan, bukan tujuan. Dalam perjalanan ini, ada kerendahan hati yang mendalam, sebuah kesadaran untuk terus belajar demi mencapai kesentosaan.
Kesentosaan ini tidak hanya berarti damai dan tenang, tetapi juga kokoh, kuat, dan mampu memberi manfaat bagi orang lain. Nyentosani adalah filosofi lokal yang dalam, sejalan dengan kearifan adat kita yang menekankan kerendahan hati dan kebermanfaatan. Nyentosani bukan sekadar konsep abstrak; ia adalah panduan praktis untuk menjalani hidup. Dalam kehidupan sehari-hari, nyentosani mengajarkan kita untuk hadir dengan niat yang baik dalam setiap interaksi.
Filosofi nyentosani menuntun kita untuk berpikir melampaui diri sendiri. Ia mengajak kita untuk mempertimbangkan keberlanjutan—baik dalam hubungan manusia maupun dalam perlakuan terhadap alam. Hidup yang nyentosani berarti menjaga harmoni, tidak mengambil lebih dari yang kita berikan, dan selalu bertindak dengan rasa syukur. Dalam kerangka ini, nyentosani adalah pengingat untuk melambat, merenung, dan kembali kepada nilai-nilai dasar kehidupan: kebermanfaatan, kejujuran, dan kebijaksanaan.
Namun, bagaimana menghubungkan laku dan nyentosani? Laku adalah ekspresi diri, sementara nyentosani adalah tujuan luhur. Ketika kita tampil, bergerak, dan mengekspresikan diri, tujuan akhirnya adalah untuk saling menyentosakan—saling memberi manfaat, menentramkan, dan memuliakan semesta. Laku adalah jalan yang kita tempuh, sedangkan nyentosani adalah pencapaian tertingginya. Ketika kita menjalani laku dengan penuh kesadaran, maka nyentosani tidak lagi menjadi sesuatu yang jauh, melainkan hadir dalam setiap langkah.
Laku nyentosani adalah panggilan bagi kita semua. Sebuah perjalanan yang tidak hanya berhenti pada kepuasan pribadi, tetapi juga menyapa kebutuhan semesta. Sudahkah laku kita hari ini menyentosakan? Sudahkah kehadiran kita menjadi kebaikan yang tulus seperti burung yang berkicau di pagi hari—ringkas, sederhana, tetapi mendalam manfaatnya?