blank

Golongan Wani Patah Hati

Di sebuah forum Maiyahan, saya ditodong oleh moderator acara untuk memberikan pandangan perihal pentingnya tidak golput saat Pemilu, dengan cekatan saya ambik mik dan mengemukakan pendapat saya.

Orang golput bisa beberapa alasan, jika kita golput karena kecewa dan putus asa, itu sama hakikatnya dengan orang yang takut mengungkapkan cinta karena percaya cintanya tak akan diterima.

Kita bukan penakut. Kita bukan golongan orang-orang rendah yang membuat keputusan berdasarkan ketiadaan harapan. Apalagi jika tiadanya harapan terjadi hanya karena kurangnya pengetahuan. Tidak keren. Padahal sekarang sudah ada podium2024.id – sebuah situs berbasis AI yang membantu kita memahami calon pemimpin bangsa.

Memang ada orang-orang yang memutuskan Golput melalui kesadaran dan pertimbangan yang cukup. Golput semacam itu jelas bukan bentuk keputusasaan semata. Itu gerakan politik — sesuai dengan sebermulanya Golput di Indonesia pada era Orde Baru. Namun, sebagai gerakan politik, Golput belum diakui. Orang boleh berharap suatu saat Golput akan diakui, tapi satu hal yang tak bisa disangkal: keputusan adalah keputusan. Meskipun setengah dari pemilih yang terdaftar Golput, misalnya, pemenang akan menjadi penguasa — keputusan tetap berlaku. Dan orang-orang Golput juga akan tetap menerima efek dari keputusan yang ia abstain dalam menentukannya.

Pada Pilpres 2019, ada 34,75 juta orang Golput. Itu 18% dari total pemilih yang terdaftar. Sebuah angka yang fantastis. Andai mereka yang golput waktu itu menjatuhkan pilihan bukan pada yang sekarang berkuasa, maka penguasa akan berubah, sejarah akan berubah, serta keadaan sekarang akan jauh berbeda. Tidak ada jaminan menjadi lebih baik atau lebih buruk. Tapi, yang jelas, 5 menit keberadaan kita di Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak menentukan pemerintahan 5 tahun saja, tapi seluruh usia masa depan kebangsaan kita.

Alasan paling sederhana untuk mengatakan tidak pada Golput adalah mencegah yang buruk berkuasa. Alasan paling sederhana mengungkapkan cinta meski tahu tak akan diterima adalah supaya dalam sepanjang hidupnya–ia tahu bahwa kamu pernah mencintainya.

Cinta kita mungkin tidak diterima. Pilihan kita mungkin tidak menang. Tapi, kita tidak terbebani secara moral menjadi golongan yang membiarkan yang-terburuk berkuasa: yang akan menipu, menindas, menghardik harga diri kita dan mempersiapkan diri untuk memenangkan kekuasaan selanjutnya.

Pada 14 Februari 2024 mendatang –yang bertepatan dengan Hari Valentine itu– ayo datang ke TPS dan ungkapkan cinta kepada bangsa. Sesakit apapun penolakannya, sudah saatnya kita jadi #GolonganWaniPatahHati.

Kudus, 14 Januari 2024
Tiyo Ardianto