blank

Diksi perintis dan pewaris belakangan ini sudah sangat familiar di media-media sosial. “Kita adalah perintis, bukanlah pewaris” itu yang kerap kali muncul dalam konten-konten bertemakan pemuda yang berdikari. Secara tidak langsung memang ada sedikit dorongan yang memasuki lorong perjuangan anak-anak muda agar senantiasa semangat dalam memulai sesuatu, bisa dikatakan semacam cambuk. Melalui apa? Kerja cerdas, kreatif, mandiri, dan juga kolaboratif. Kekuatan kata-kata ini menjadi modal tersendiri yang terekam di alam bawah sadar pemuda-pemuda pewaris bangsa kelak. Meski, kata-kata itu tak sepenuhnya dimaknai benar oleh kebanyakan orang, diksi “pewaris” memiliki makna orang yang mewariskan, bukan orang yang menerima warisan. Jadi, jika dapat ditelaah dari segi kebahasaan ungkapan yang lebih tepat “Kita adalah perintis, bukanlah ahli waris” atau lebih keren lagi jika “ Kita adalah perintis, dan akan menjadi pewaris”

Tentu, merintis bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi mereka yang tak memiliki previlage lebih. Namun, jika kita memakai kesadaran, previlage terbesar adalah kesadaran itu sendiri. Kesadaran bahwa kita tak memiliki previlage, akan menjadi sebuah atom yang dapat meledak kapan saja. Kita berani keluar melawan arus, mencoba terbang meski tak memiliki sayap, hingga akhirnya berada di puncak yang benar-benar kokoh. Meski semua itu tak semudah menulis dalam catatan, setidaknya ada hal kecil yang patut kita sadari, yakni sebuah kesadaran. Bahkan, meskipun memiliki previlage yang cukup besar namun tak memiliki sebuah kesadaran akan previlagenya, tentu merupakan sebuah kesia-siaan.

Ada banyak cerita pengusaha-pengusaha sukses yang merintis kariernya dari nol, padahal sebelumnya mereka sudah memiliki berbagai aset istimewa yang tak dimiliki banyak orang. Posisi awal kita dalam merintis sesuatu itu dilevel manakah? Karena start setiap orang tentu berbeda-beda. Ada yang memang benar-benar memulai dari nol, ada yang sudah diangka 20, bahkan mungkin ada yang diangka 80. Jika ditarik garis finish ke angka 100 untuk keseluruhan, tentu menjadi hal yang tidak fair. Semisal, kita merintis suatu usaha dari nol, menaiki tangga kesuksesan diangka 30 tentu sudah cemerlang sekali, dibanding mereka yang posisi awalnya diangka 80 dan naik posisi diangka 100. Tentu, hal semacam itu tak dapat dijadikan tolak ukur. Maka dari itu, sangatlah penting melihat posisi awal kita berada dimana, supaya tak pernah lupa akan rasa syukur atas warisan berharga yang telah diberikan oleh Tuhan. Ada satu prinsip yang selalu saya pakai dalam memulai sesuatu, entah itu usaha, bisnis, ataupun hal lain, “Kenali waktu yang tepat. Ada masanya berjuang keras, ada masanya juga mundur sejenak. Jika waktunya belum tepat, bukan berarti sudah terlambat.”

Dalam memulai sesuatu, proses berpikir sangatlah dibutuhkan dan menjadi poin utama. Logika, mindset, dan cara pandang akan menentukan arah kita akan kemana. Analogi paling mudah ialah sebuah air dalam botol, jika ingin mengubah bentuk air dalam botol, apa yang akan kita lakukan? Jika kita hanya berfokus pada airnya, justru air tidak akan berubah. Karena, sifat air senantiasa mengikuti tempatnya. Tentu, harusnya kita mengubah bentuk botolnya, entah dibengkokkan atau dibenturkan, supaya air di dalamnya mengikuti. Seperti itulah gambaran tentang cara berpikir, dan seperti itulah realitas ketika kita merintis sesuatu, yakni dibengkokkan atau dibenturkan berkali-kali barulah sesuatu akan berubah seperti yang kita harapkan.

Ciptakan warisan untuk anak cucumu, minimal warisan kewarasan—cara menggunakan akal dengan knowledge dan budi yang luhur. Jangan biarkan dirimu bergantung dan terbelenggu dalam warisan, justru cita-citakanlah menciptakan warisan itu sendiri agar dapat dinikmati penerusmu. Akankah kita akan dikenal sebagai pewaris atau justru hanya ahli waris?