blank

Dalam kehidupan bermasyarakat, baik yang terbentuk secara daring maupun luring, sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa individu dengan bermacam motif dan isi kepala, seringkali memerlukan kedekatan pendapat untuk mencapai mufakat. Kelompok kecil dalam keluarga, lingkar pertemanan, kelompok sosial dan masyarakat luas. Hasil akhir dari musyawarah harusnya tidak menjadikan perbedaan pendapat sebagai “pedang” antar personal dan terkubu-kubu. Sekalipun, mufakat ditentukan suara mayoritas. Karena dengan perbedaan pendapat, justru memperkaya wawasan, pandangan objektif dan bebas prasangka. Pertentangan ide, percakapan dua arah, di manapun ranahnya, apapun golongan dan kepentingannya, yang dipertontonkan maupun tidak, tak dapat dihindari. Besar atau kecil, silang selisih pendapat telah menjadi dinamika hidup bersama.
Namun, tentu tidak segampang itu menjadi “berbeda”. Adakalanya pendapat sebaik apapun tidak diperlukan dalam situasi tertentu. Tidak peduli seberapa hebat Anda menguasai satu bidang, tidak peduli seberapa tinggi intelegensi dan kredibilitas Anda sebagai seseorang, jika situasinya tidak memerlukan pendapat, sebaiknya diam. Pendapat akan memberi manfaat di tempat yang tepat. Pendapat menjadi nasihat di tempat yang tepat. Pendapat hanya akan menjadi masalah dan mungkin petaka ketika kondisi tidak mengizinkan. Berpendapat sah dan baik di ruang yang memang membutuhkan. Orang bijak berkata: jangan bicara jika tidak diminta. Ketika pendapat ditolak, usul tidak dipertimbangkan atau bahkan menuai kontroversi antar kepala, mundur sejenak, introspeksi, evaluasi dan perbaiki diri. Tidak ada yang sia-sia. Tidak apa-apa terjadi kesalahan. Semua orang pernah salah, mungkin salah berkata, salah bertidak, salah berpendapat, salah menilai dan ribuan salah lain yang masih bisa dibenahi sebelum mati. Bukankah manusia memang tempatnya luput dan keliru?
Pendapat berada di lingkar lebih luas, karena dipengaruhi unsur tertentu dan berdampak pada kehidupan umum. Jika pendapat berada di lingkup individu, unsur dan dampak yang ditimbulkan tidak berpengaruh pada kehidupan siapa-siapa. Kalau bicara pendapatan, kita membahas ruang ekonomi dan kelas sosial. Pendapatan berpotensi mempengaruhi hierarki strata, pengaruh sosial, pengaruh kuasa, pengaruh mentalitas, piramida ekonomi dan seterusnya. Bisa diamati psikologi masyarakat terhadap kekuatan finansial, kekuasaan, popularitas, penghambaan materi dan seterusnya. Sekalipun, tingkat-tingkat economic gap, berarti memperpanjang jarak kesenjangan sosial, tidak membuat orang gentar berjuang untuk survive. Dalam satu kesempatan, Mbah Nun berkata kurang lebih begini; jika air segelas cukup melepaskan dahagamu, kenapa ingin air sekolam yang mungkin bisa menenggelamkan mu. Terkandung nasihat yang bikin “mak deg” penalaran kita tentang alat transaksi global dan pengendalian diri terhadapnya.
Mari bicara tentang diaspora yang mencari pendapatan dengan menjual jasa, waktu bersama keluarga, dan perpisahan, untuk bertahan hidup. Dewasa ini, bukan semakin berkurang orang merantau ke luar negeri untuk mencari penghasilan. Kenapa? Apa yang salah dengan negara kita? Kok ekspor tenaga murah terus, kapan perekonomian negara meningkat dan menyerap tenaga kerja lokal dengan upah layak? Khusus yang tersebar di Asia saja, pekerjaan yang dilakoni pekerja perempuan Indonesia setara dengan pekerja sosial profesional. Sebut saja ART, tidak melulu ngosek wc dan ngelap debu, dia punya kemampuan menjaga lansia, lengkap dengan perawatan, welas asih dan katresnan melebihi pekerja medis atau pekerja dinas sosial yang pendapatannya sepuluh kali lipat. Bekerja lebih dari 16-18 jam sehari. Penghasilannya? Untuk menghidupi keluarga di kampung halaman. Untuk biaya pendidikan anak. Untuk sedikit menyenangkan hati orang tua. Dia sendiri rela “berpuasa” dan sudah tersenyum bahagia jika keluarga “ingat” menanyakan kabar.
Skill dan mentalitas rakyat kelas bawah bangsa kita memang luar biasa, tantangan seberat apapun tidak menyurutkan tekat demi cita-cita sederhana. Hidup layak. Terpenuhi kebutuhan primer, syukur-syukur kebutuhan sekunder yang mungkin bisa dijangkau, lebih senang jika mampu memenuhi kebutuhan tersier dengan menyambi bisnis ekspor impor makanan, cemilan, pakaian dan keperluan sesama perantau. Upah murah di negara orang adalah secuil harapan bagi masyarakat perantau untuk membangun kehidupan di negeri sendiri.

Sun Kwai Hing Gardens, 15 September 2023