blank

Bodoh! Manusia, apakah akan semakin bodoh ?
Begitu banyak kemudahan yang manusia modern rasakan memudahkan mobilitas kehidupan mereka, dari pekerjaan sampai urusan pribadi. Me-review perjalanan peradaban manusia dalam setiap masa-nya tidak lepas dari perkembangan secara pemikiran dan teknologinya, semua yang telah terjadi juga tak luput dari tantangan hidup dan kesengsaraan umat manusia yang mempengaruhi daya berpikir kritis serta inovatif menjawab tantangan hidupnya.
Sampai di massa sekarang sudah terlampau modern banyak kemudahan hidup yang di rasakan manusia. Setelah pandemi corona kita mengenal istilah “Artificial” atau dalam istilah lengkapnya “Artificial Intelegence” kecerdasan buatan. Coba kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita sanggup menerima dengan baik maksud dan tujuan dari keberadaan kecerdasan buatan ini? Saya pribadi masih ingin memaksimalkan kecerdasan alami anugerah dari Tuhan yang saya punyai sedari kecil, mungkinkah kalian juga? Mari tanyakan kepada diri kita masing masing 😊
Setiap kemajuan peradaban mengalami dinamika pemikiran dan kepentingan individu maupun kelompok dari pencetus perubahan tersebut. Saya masih teringat Mbah pernah matur “ Manusia Berdikari” berdikari secara akal terutama. Di era gempuran informasi yang super banyak & bercampur dengan informasi hoax “kurang kompatibel” walaupun terpampang di media ternama. Maka jika melihat masa depan Indonesia menuju bonus demografi itu, jangan sampai kita di manfaatkan dan tak berdikari di atas tanah kelahiran.
Berlanjut mengaitkan dengan tema bulan ini “ Artificial Iman”, jika di hubungkan dengan narasi awal saya, bisa di katakan dengan sederhana yakni “ Iman tiruan/buatan”. Sedangkan Iman sendiri merupakan sesuatu yang tumbuh dari dalam diri, yang lahir secara alami atas dasar perjalanan hidup “spiritual” seseorang. Dimensi yang tidak tersentuh oleh makhluk lain, yang muncul dari kemesraan diri “Ruh” dengan sang Pencipta yang Maha Agung. Namun dalam sudut pandang lain, jika Iman Tiruan itu memiliki makna bahwa seseorang mendapatkan referensi iman dari perjalanan manusia lain yang terukur keimanannya secara akhlak atau keteladanan. Bisa jadi jalan tersebut salah satu jalan kebenaran atau nilai kebaikan dari “ Artificial Iman”.
Menyikapi tentang nilai Iman itu sendiri, ada sisi yang kita sendiri sulit melihat secara langsung karena kadar keimanan bukan ranah kita untuk menilai atau bukan kapasitas kita. Sekarang ini, mari kita lihat berita – berita atau laporan kejahatan seksual contohnya, yang berasal dari sumber transfer “nilai nilai keimanan” oknum di pesantren (“oknum”, bukan melabeli pesantren). Artinya keimanan tidak bisa di ukur dengan tampak luar, title, atau atribut keagamaan lainnya. Dari sisi ini, semakin memperjelas posisi iman itu sendiri sebagai unsur yang alami keluar dari dalam diri manusia. Bukan tiruan. “Artificial Iman”.
Dengan tingkat pemahaman yang saya miliki, yang sangat tergolong sederhana. Untuk garis tengahnya saya berpedoman pada nilai iman yang tumbuh dari dalam dan dengan kesadaran. Setiap momen perjalanan hidup manusia mengalami gejolak fluktuatif iman, tidak ada yang menjamin keberadaannya terjaga dengan baik. Saya mengambil kasus ulama yang sangat tergolong bagus keimanannya, dan menjadi salah satu kiblat keilmuan da’i – da’i dunia atas karyanya. Singkatnya di akhir hidupnya, beliau berpaling keimanannya dengan menjadi murtad atas dasar rasa sayangnya terhadap seorang perempuan. Lalu, kasus lainnya ada seorang ahli al – kitab menjadi mualaf dan mengabdi untuk Islam secara kaffah. Dari sisi ini, kita memahami kerja keimanan yang tidak pasti selalu terjaga, bahkan jika itu pun tumbuh secara alami. Lalu, bagaimana jika “Artificial Iman”?
Menyoal iman, ada problem lain yang di alami dalam fase perjalanan manusia. Saya menjumpai kegelisahan beberapa kawan mengenai iman & ketersesatan. Islam sekarang ini, yang terlihat seperti prasmanan menjajakan berbagai warna keislaman, ataupun ormas, tarekat dan lainnya. Bagi manusia modern dalam masa perjalanan masa mudanya, tak sedikit yang bertanya, “Iman manakah, rumah manakah ? yang harus aku singgahi?”.
Saya tertarik dengan pemikiran dari Mas Sabrang menyoal ketersesatan. Mas Sabrang, menganalogikan hidup ini perjalanan menuju suatu tempat yang mana suatu tempat itu adalah keimanan (baca : Tuhan). Contoh kita menempuh perjalanan menuju Jakarta, masing – masing dari kita berasal dari daerah yang beragam, ada yang berkendara roda dua, ada yang menempuh jalur penerbangan, ada juga yang jalan kaki (semua jenis kendaraan, dan dengan jalur berbeda). Coba tengok, dari semua daerah memiliki jalur yang berbeda dan tidak ada jalan yang salah bukan ? ada yang berkelok, ada yang menempuh jalur tol dengan kebosanannya, ada yang menempuh jalur pegunungan dengan suguhan keindahannya, ada juga yang susah payah di hantam ombak. Dan masih banyak kisah perjalanan lainnya.
Analogi itu sebut saja perjalanan spiritual masing – masing manusia menuju Tuhan. Tidak ada yang salah, dan tak perlu juga di salahkan. Manusia memiliki tantangan hidupnya dan jalannya. Lalu, manusia manakah yang tersesat? Jalur perjalanan manakah yang disebut tersesat? Mereka yang tersesat adalah manusia yang berhenti dalam perjalanannya, mereka yang menyerah dan merasa cukup. Mereka tersesat atas dirinya sendiri, mereka tidak berusaha menempuh derita perjalanan ataupun mereka tak memiliki bayangan mengenai suguhan keindahan apalagi yang akan di suguhkan dalam kilometer perjalanan selanjutnya. Manusia tidak akan pernah tersesat, jika dia terus melanjutkan perjalanan hidupnya.
Teruslah berdikari, berjalan menempuh kisah kita masing-masing. Tanpa Artificial.