blank

Siapa yang tidak kagum dengan segala kecanggihan zaman hari ini, serba cepat, mudah dan murah, segitiga komposisi produk yang memiliki daya tarik yang membentuk segmentasi pasarnya sendiri. Tapi jangan berani-berani menanyakan apakah produk itu bagus? Apalagi baik? Karena akan rumit jawabannya, bagus dan baik dalam perspektif yang bagaimana dulu? Baru kiranya dalam diurai satu persatu. Jika parameter bagus dan baiknya bagi pengagum kecanggihan tentu bintang 5 akan mereka berikan tanpa ragu sedikitpun.

Tapi kalau berkenan diluaskan kacamata “bagus dan baiknya” misalnya berdasarkan lintasan waktu, agak sedikit ditambahkan, akan nampak jelas dipelupuk mata, ambil contoh kebiasan memesan makanan cepat saji yang praktis cepat, mudah, dan enak itu dirutinkan menjadi sebuah habits atau laku hidup misalnya diasumsikan 30 hari saja, pagi siang malam sebanyak 3 kali konsumsi dengan menu makanan cepat saji yang sama, kiranya apakah akan sama derajat bagus dan baiknya bagi tubuh kita ? Batasi saja terlebih dahulu di tubuh kita, tak usah sampai kepada terjadinya perputaran ekonomi, meningkatkan angka terserapnya tenaga kerja atau semakin jauh lagi seperti mampu meloloskan sebuah bangsa dari middle income trap yang cukup nyaring terdengar hari ini.

Cukup pada diri sendiri terlebih dahulu, toh sifat setting pabrikan manusia akan memprioritaskan diri terlebih dahulu baru menuju kepada lebih besar diluaran diri. Sebagaimana ketika ada sekelompok orang yang tenggelam di sungai, pada saat yang bersamaan tiap-tiap orang akan mengais-ngais apa saja yang mampu untuk mengapungkan dirinya terlebih dahulu baru akan memikirkan menyelamatkan orang lain di tengah kondisi darurat tersebut.

Sebenarnya sudah benar sikap individualis manusia tersebut, dari dalam ke luar, dari mikroskopik menuju macroskopik. Hanya saja karena tidak mengenal settingan awal pabrik, bukan tidak mengenal deng tapi sedikit lupa akan kesepakatan awal, aturan main (rule of the game) dengan Sang Pemilik Pabrik yang menciptakannya, kealpaan bahkan mendorong menjadi tidak jujur dan banyak berkompromi atas aturan main yang telah disepakati tersebut dampaknya ya cukup terlihat, tiap pribadi menjadi asing bukan hanya ditengah lapisan masyarakat yang beragam bahkan keterasingan itu hadir dan larut dalam kesadaran dirinya sendiri, boro-boro menjadi orisinil, menjadi asli, menjadi murni sebagaimana benih jagung yang tentu akan menumbuhkan jagung, ini sih malah genit memaksakan diri menjadi pokok pohon jati, kalau sudah begitu kan benar-benar memaksakan keadaan itu namanya, tapi ndak papa toh ada anggapan “di tengah kecanggihan hari ini apa sih yang tidak bisa dilakukan ?” silakan menikmati anggapan tersebut tapi tentu tidak gratisan konsekuensi nya ya paling menggadaikan orisinalitas diri, tapi siapalah yang peduli dengan itu semua tawaran yang artificial lebih menggiurkan bukan ?

Prinsip ekonomi kan jelas, mengorbankan sesuatu secara rasional untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, sedikit-sedikitnya modal sebesar-besarnya hasil demikianlah seharusnya. Tanggalkan dulu lah orisinalitas, atau coba dibuatkan masterplan nya misal usia hidup manusia 60-70 tahun, tarok lah mulai mengenal dan sadar akan orisinalitas mulai usia 20 tahun, nah selama 30-40 tahun bisa dihabiskan untuk menggadaikan orisinalitas diri dengan tujuan mengeruk segala opportunity yang sekiranya bakal diraih, ndak papa puasa dulu, menahan diri dulu, toh siapa saja yang berpuasa akan ada waktunya untuk berbuka, macam konsep investasi yang menunda kesenangan, kesenangan menjadi dirinya sendiri, namanya memerankan sebuah lakon cerita kan pasti ada akhirnya kan yasudah ditahan tahan saja dulu, nanti disisa usia 5-10 baru mengakhiri lakon yang dimainkan, menjadi hidup menjadi diri yang orisinil seperti settingan awal pabrik, duhh alangkah enaknya kalau bisa demikian.