blank

Coba tengok sejauh mungkin ke belakang apapun yang bisa diingat tentang diri kita. Bisa suatu kejadian yang menyenangkan, menyedihkan, menggelikan, atau yang remeh-temeh. Kemudian tandai dengan tahun berapa, umur berapa, saat kelas berapa, di mana, atau singkatnya seputar waktu dan peristiwa. Kalau sudah, pastikan itu menjadi peristiwa paling awal yang masih terekam dalam memori kita. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa kejadian itu adalah suatu tembok pembatas memori kita tentang hal yang telah bisa atau belum bisa kita ingat.
Kalau mau lebih yang lebih ekstrim lagi, adakah yang ingat saat kita masih di rahim ibunda, oh waktu itu aku clibon (renang) di air ketuban terus bermain seperti layaknya anak-anak sekarang di waterboom. Atau ingatkah saat kita dilahirkan dibantu dokter kandungan siapa atau bidan siapa, ada ayah yang azan di telinga kanan dan Iqamah di telinga kiri, kemudian di luar ruangan ditunggu oleh kakek-nenek, kakak, pakdhe, oom, tante, dan sepupu. Tentunya tidak, kalau pun ada mungkin itu bayi satu tingkat di bawah Nabiyullah Isa a.s. yang fasih berbicara saat masih bayi.
Nah, pembatas peristiwa yang sudah tidak bisa ditembus mengartikan bahwa kita di muka bumi tak ada kuasa sedikitpun untuk bisa memilih dilahirkan sesuai dengan preferensi kita. Andai bisa memesan dari siapa kita dilahirkan, mungkin kita akan memilih dilahirkan dari orang tua yang jadi pengusaha sukses, jadi pejabat publik dari level kepala negara sampai kepala desa, anggota DPR, menteri, pejabat BUMN, tokoh masyarakat, ulama, kyai, atau ustaz. Rasanya kita sama-sama tidak akan meminta untuk dilahirkan dari seorang asisten rumah tangga, pekerja operasional pabrik, supir, tukang ojek online, juru masak, juru parkir, pekerja migran, rakyat jelata, petani, nelayan, atau mereka yang profesinya dipandang rendah.
Mungkin saja kita protes, nggrundel, atau ngedumel tentang bagaimana nasib kita. Coba lihat meraka yang tiba-tiba ngetop, populer, jadi trendsetter, dalam waktu singkat bisa menduduki jabatan publik pemimpin daerah, pemimpin partai, pemimpin perusahaan negara, komisaris, dan jabatan-jabatan keren bin prestisius lainnya. Umumnya mereka mudah punya akses dan warisan jejaring dari orang tuanya. Bila berpidato di layar kaca atau channel medsos nampak berwibawa, yang mendengarkan antusias dengan wajah-wajah kekaguman yang luar biasa, iringan tepuk tangan dari hadirin karena kata-katanya. Lho, jangan berprasangka dulu karena mereka juga berjuang menempuh pendidikan yang juga sama seperti kebanyakan orang. Maka, tidak adil kalau mempermasalahkan apalagi menyudutkan.
Mereka punya hak yang sama, walaupun banyak yang lebih dahulu berjuang, dan mereka pun yang merangkak dari bawah fine-fine saja disalip pendatang baru. Kenapa dipermasalahkan? Lha wong itu memang nasib karena nasabnya mendukung untuk bisa membuat nasib anak keturunannya pada trek yang enak kepenak daripada kebanyakan masyarakat pada umumnya. Kalau mau protes ya sama yang menciptakan nasab dan memfasilitasi nasib, sampai di sini apakah berani protes sama Gusti Allah. Protes sama sesama manusia aja sekarang takut, apalagi sama Gusti Allah yang kedudukannya unlimited tingginya.
Nah, tambah mumet, bingung, sumpek, dan njlimet kalau membahas nasib, walaupun belakangan ini banyak yang berani berkampanye untuk menjamin nasib rakyat apabila kelak dapat berkuasa dan menduduki jabatan publik. Karena masalah nasib inilah yang bisa dieksplorasi dari berbagai sudut pandang pendekatan atas nama penguasa. Nasib bisa dirubah melalui konstitusi: “… Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat…”. Bagi mereka yang belum beruntung bernasib baik akan dijamin dengan ayat UU: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, ditambah lagi… dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Akhirnya daripada melebar ke mana-mana saya akhiri saja sampai di sini.

Wallahu’alam bishawab

Banyumanik, 7 Oktober 2023