blank

“Orang yang mandek pada satu pengetahuan tentang kebenaran, ia tidak ber-iman, melainkan dipenjara takhayul dan fanatik terhadap mitos”. (Mbah Nun)
Diantara banyaknya kunci kehidupan yang dialami untuk keseimbangan iman kita yaitu dengan cara mampu untuk terus teliti, tangguh serta mencerdasi segala sesuatu untuk tidak terjebak pada lingkaran rasa keminter, sok alim, dan mampu dalam segala hal. Tidak ada bagian dari dimensi kehidupan ini untuk tidak upgrade berdasarkan iman karena manusia diberi jatah yang sama 24 jam dalam hidup ini.
Semenjak perkembangan teknologi yang semakin canggih ini sudah sekian ribu topik mengenai kata artificial di tuliskan. Bahan mengenai artificial berlimpah ruah yang meliputi berita geopolitik, sosial, ekonomi dan pendidikan, baik yang berupa artikel dan jurnal ilmiah serta timeline para penjajak lapak media sosial dibanjiri artificial. Maiyah sebagai metode atau cara untuk beriman mencoba upgrade sisi lain dari proses mentadaburi kehidupan.
Menjadi catatan di dalam Al Quran bahwa kejadian tentang permulaan alam semesta untuk memberi makna teologis, yakni Allah mengendalikan setiap keberadaan dan asal mula setiap hal serta perkembangan yang ada di dalamnya, dari yang tidak teratur menjadi teratur. Makna teologis dari narasi penciptaan dapat dipahami dalam pengertian yang sempit dan luas. Pengertian yang sempit terhadap kisah penciptaan hanya memberikan pemahaman tentang permulaan hubungan dunia dan Allah, yang dilanjutkan dengan pemeliharaan.
Maka kejadian Isra Mikraj menjadi pengingat manusia pada sebuah keabadian dan ketakterbatasan. Maka dimensi takwa, iman, dan sumeleh ati menjadi penting. Hal ini bisa memantik sebuah pertanyaan dasar apakah teknologi manusia mampu mengukur luasnya ruang semesta ? Hanya dengan imanlah kita bisa bersandar dengan ciptaannya

Batas Waktu
Tidak bisa dinalar bahwa semua akal pikiran manusia akan pernah sanggup menemukan sesuatu yang berada di luar ketersentuhan iman. Artinya manusia mempunyai keterbatasan diluar dirinya, dengan konsep bahwa manusia mempunyai indra untuk menyerap dari luar dirinya. Ini menjadi tidak mudah untuk dipetakan dalam konteks religiusitas manusia karena banyak faktor yang mempengaruhinya.
Selama “Sinau Bareng” di puluhan ribu titik Maiyah kita bisa mempersaksikan, mengalami, dan meyakini bahkan merasakan getaran bahwa dalam kehidupan ini jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui dibandingkan yang kita ketahui. Sudah ribuan kali kita teliti, hayati, dan simulasi. Dan kita cenderung setuju pada firman Allah yang artinya “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Israa: 85). Dilansir dari Maiyah.id seri tadabur (24/7)
Maka kita hanya bisa beprasangka baik dalam setiap momen kehidupan ini tidak terkecuali sepahit apapun yang dialami, karena kita hanya serpihan-serpihan, bahkan butiran debu yang terbang kesana kemari lalu mengotori lantai rumahmu.
Pelajaran yang mendasar dari ilmu sejati ternyata tidak harus intelektual tingkat tinggi atau sampai tingkat profesor tapi kita mencoba sepakat dan benar mengabdi kepadanya tidak dengan kepalsuan panji-panji gemilangnya. Setiap keterbetasan ada sisi sisi yang mampu menerobos akal naluri kita sebagai manusia. Manusia memang bisa dibunuh oleh kepungan penjara waktu tapi juga bisa di bimbing menjadi lebih matang daya hidupnya. Persis dengan alam ini yang sekaligus bisa mematikan kreativitas kemampuan manusia dan juga justru mengunggah untuk menjadi penuh daya juang inisiatif hidup.
Pengendalian pikiran
Kita ambil jarak dari ilustrasi dari sebuah fenomena abad 21 dimana tokoh mbah Avram Noam Chomsky seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts. Salah satu reputasi yang diambil adalah di bidang linguistik melalui teorinya tentang tata bahasa generatif. Dalam kemampuannya di bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Noam Chomsky menunjukan gambaran bagaimana sistem dunia ini bekerja dapat juga dibaca dalam bukunya How the World Works yang diterbitkan Bentang Pustaka yang berisi investigasi intelektual dari Chomsky.
Pada masa sekarang yang menurut para peneliti telah memasuki era konsekuensi, sejatinya adalah siklus masa akhir. Pak Sir John Glubb, perwira dari Inggris yang ditempatkan di Timur Tengah pada masa akhir kerajaan Ottoman di Turki mengamati sebuah daur pada dinasti di dunia dalam tulisannya, The Fate of Empire. Dalam pandangannya, ia melihat kecenderungan putaran yang sama pada setiap masa sebuah dinasti atau kekaisaran. Semua berputar pada siklus 250 tahun atau bisa kita sebutkan setidaknya pada kisaran sepuluh generasi. Dalam daur itu, menurutnya ada enam tahap yang dilalui hingga fase keruntuhan. Fase apa saja bisa anda cek di bukunya Pak Sir John Glubb. Bila kita tarik lebih panjang menjadi gambaran peradaban, dunia hari ini telah memasuki masa dekaden. Era kemerosotan dari peradaban Kapitalisme Global. Dalam analisa Glubb, ada kesamaan yang tampak pada masa dekaden di setiap dinasti.
Dari sini kita menjadi punya titik koordinat mengenai gambaran lain dari kehidupan hari-hari ini yang sangat tampak menunjukkan fase dekaden peradaban adalah mencoloknya tampilan kekayaan dan kemewahan. Rumah-rumah, kendaraan-kendaraan, pakaian-pakaian mewah dan sebagainya. Lalu diikuti oleh kubangan kesenjangan yang sangat jauh antara si-kaya dan si-miskin. Objek kebenaran yang dimiliki setiap orang mengalihkan sebuah kepercayaan yang sejati. Maiyah mencoba menerka dua hal sebagai suatu harmoni yang bukan kotak-kotak lagi yang ada, melainkan gugusan keanekaragaman kehidupan.
Purwokerto, 28 Juni 2023