blank

Menurut referensi dari sumber yang saya baca. Pengertian nasab merupakan pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke samping. Sedangkan nasib yaitu bagian, jatah, atau sering juga dipahami sebagai takdir: baik maupun buruk. Mencoba untuk berangkat dan memikirkan pengertian tersebut, apakah ada hubungannya kedua pengertian itu? Kami mencoba mengajak seluruh pembaca sekalian wa bil khusus para Jama’ah Maiyah. Apakah ada korelasi dan benang merah dari dua kata tersebut? Semoga kita semua sudah memiliki jawabannya serta kita berdaulat untuk memiliki jawaban masing-masing.
Zaman kekinian sering kita jumpai para individu atau oknum manusia berpenampilan dan bergaya elit, hits, serta hidup penuh dengan kemewahan. Memang tidak salah dan barang tentu mungkin juga lumrah. Anggapan lumrah sering terlontarkan karena manusia yang lainnya menganggap oknum manusia glamour tersebut merupakan keturunan Tuan tanah atau orang berada yang hartanya tidak habis dimakan 70 turunan. Mungkin juga bapaknya atau mbahnya dulu seorang pengusaha dan saudagar yang masyhur dan serba ada. Inilah yang mungkin membuat anggapan lumrah tersebut menjadi anggapan yang terus menerus tertanam di masyarakat kita. Secara bersama-sama mari kita ikut menganggap itu semua hal yang lumrah. Tetapi apakah memang benar demikian? Bagaimana jika yang kita anggap bergaya hidup mewah tersebut memiliki usaha dan bergaya hidup glamour tersebut hasil dari jerih payahnya sendiri? Siapa tahu demikian aslinya. Sehingga kita terpenjara dengan anggapan kita sendiri. Kita terpenjara dengan menghakimi orang lain tanpa kita ketahui bagaimana aslinya. Memang dunia penuh misteri, ada canda, harta dan tahta. Semoga kita semua menggapnya hal yang lumrah.
Sambil tertawa bingung memikirkan hal di atas, bagaimana dengan nasib kita? Dimana sebenarnya letak kita di dunia ini? Apakan dipandang sebagai hamba sahaya, hamba duafa’ hamba yang miskin teraniaya? Atau mungkin kita ini golongan orang yang bernasib biasa saja. Tetapi bagaimana dengan keturunan kita? Kembali terhanyut dalam perenungan tentang nasib generasi kita yang akan datang. Sedikit gambaran dan ingatan kita tertuju pada buku yang berjudul “Gelandangan di Kampung Sendiri”. Dari judul buku tersebut kami memaknai bahwa masyarakat disekeliling kita terbiasa hidup merana sambil menikmati tayangan berita para oknum-oknum politisi atau oknum pejabat yang hidup berfoya-foya. Namun ternyata dicokok lembaga Negara. Tangannya terborgol tidak bisa menyapa dan melambai dada-dada. Kembali lagi kita menganggap itu hal lumrah, tidak masalah yang penting nasibnya sudah pernah hidup bermewah-mewah. Sedangkan nasib kita ya masih begini-begini saja. Jangankan berpikir traveling keluar negeri, bolak-balik umroh atau pergi haji. Harga beras melambung tinggi saja, kita sudah bingung cari yang murah kesana-kemari. Lalu apa yang kita persiapkan untuk nasib anak-cucu kita? Kembali lagi saya mempersilahkan pembaca semua memliki jawabannya sendiri-sendiri.
Dalam acara Padhangmbulan sekitar 8 tahun yang lalu, para jamaah maiyah ditanya oleh moderator dari panggung secara langsung. Kalau tidak keliru, kurang lebih pertanyaanya begini “Apa yang kalian pelajari atau dapatkan dari ilmu maiyah?” Atau memberi manfaat apa maiyah dalam hidup kalian?” Sontak saja para jamaah menjawab dengan berbagai macam jawaban. Namun ada yang paling menarik dari respon yang spontan tersebut. Yaitu ada yang menjawab “tatak cak”. Semua jamaah bertepuk tangan. Kata tatak menjadi hal yang bisa membuat pikiran para jamaah terpantik. Membuat hati mereka adem ayem. Kata tatak tersebut seolah menjadi penyemangat dan menjadi jimat untuk dibawa para jamaah pulang ke rumah. Kita semua menjadi tatak dan tetap memiliki optimisme untuk menjadi pribadi yang bermanfaat sesuai kapasitasnya masing-masing. Berikhtiar lagi menjadi manusia yang berkeringat keberkahan. Bertenaga basmallah untuk mengarungi kehidupan dunia ini. Berjimat shalawat agar hati dan pikiran tenteram.
Melalui tulisan ini, mari kita sama-sama mengingat kembali pesan dan ilmu dari para guru-guru kita. Mengingat kembali apa yang telah disampaikan para Marja’ Maiyah dalam berbagai kesempatan. Beliau semua telah memberi pendar-pendar secercah cahaya dalam pikiran dan sanubari kita. Semoga dengan demikian, kita semakin tatak dalam mengikhtiari nasib tanpa harus menghakimi nasab. Si Mbah memberi kita ilmu dan pengetahuan agar kita menjadi generasi manusia yang baru. Mengajarkan kita menjadi pribadi yang bermanfaat dilingkup terkecil kita, syukur-syukur di skala yang lebih luas. Dengan mengimplementasikan ilmu-ilmu dari Mbah Nun tersebut, semoga kita ini menjadi generasi yang kelak akan dikenang oleh anak-cucu kita sebagai nasab yang bernasib baik. Kita diijinkan Allah SWT untuk mengenal dan mengetahui kata “Maiyah”. Dengan demikian, terlepas dari pengertian tentang nasab dan nasib secara harfiah. Dalam semua peristiwa perjalanan kehidupan kita di zaman ini. Bolehkah kami bertanya bahwa, “bukankah kita ini manusia yang bernasab maiyah dan bernasib Alhamdulillah?”