blank

Indonesia tak pernah habisnya menghasilkan para pemikir dan pembelajar yang penuh dengan dedikasi kepada masyarakat. “Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya” dari masa ke masa selalu ada tokoh-tokoh yang berpengaruh besar terhadap masyarakat. Mulai dari KH. Hasyim Asy’ari yang berdedikasi besar dalam pembentukan Nahdhatul Ulama yang menjadi ormas terbesar di Indonesia. Kemudian, KH. Ahmad Dahlan yang berjasa atas Muhammadiyah yang sekarang dapat membangun sekolah dan rumah sakit yang tersebar di wilayah Indonesia. Lalu, KI Hajar Dewantara dengan dedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan melalui falsafahnya yang penuh makna. selanjutnya, ada Ir. Soekarno yang berperan besar dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia. Lalu ada, Bj. Habibie, intelektualis yang mengharumkan nama Indonesia serta salah satu tokoh yang berperan dalam terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Pada sekitar tiga atau empat dasawarsa ini muncul satu tokoh pemikir, penulis ulung, budayawan, agamawan, yang semua itu selalu melekat pada diri Emha Ainun Nadjib. Dengan perannya dalam lingkar diskusi masyarakat arus bawah yang sampai dengan larut malam, menyerukan mengenai esensi hidup serta nilai spiritualitas. Serta banyaknya esai dan buku yang sudah terpajang sejak lama di Gramedia dan toko buku lainnya. Menjadikan Mbah Nun sebagai tokoh Indonesia yang memiliki ciri dan keunikan tersendiri. Ratusan bahkan ribuan karya Mbah Nun yang berbentuk esai, puisi, naskah drama dan buku yang ditulisnya sejak usia muda. Menggambarkan bahwa Mbah Nun adalah pemikir dan penulis yang ulung, beliau pandai dalam memaknai setiap dinamika kehidupan. Selain penulis ulung, beliau adalah pendakwah dan budayawan yang setiap malam berkeliling ke daerah-daerah untuk memberikan warna bagi masyarakat.
Mbah Nun identik dengan jamaah Maiyah, yang merupakan kumpulan manusia yang bersama-sama memiliki jiwa untuk menjadi lebih baik. Dakwah yang dikemas dengan musik gamelan Kiaikanjeng, kebersamaan penuh cinta, serta pluralisme memberikan warna tersendiri yang membedakan gaya dakwah Mbah Nun dengan jenis dakwah yang lain. Gaya penyampaian yang dilandasi dengan cinta, kemerdekaan berpikir, nilai spiritualitas, ketulusan hati, dan selalu mengikuti isu terkini menjadi ciri dari setiap perkataan Mbah Nun di lingkar masyarakat Maiyah. Proses Maiyah yang di awali dengan membaca Tawashshulan sebagai cara untuk mengetuk hati agar tersambung dengan Tuhan. Kemudian, dilanjutkan dengan diskusi mengenai tema yang diangkat, serta memberikan kebebasan kepada siapapun untuk berbicara. Diselingi alunan musik yang memberikan warna agar jalannya diskusi tidak membosankan dan gelak tawa yang penuh kebahagiaan. Menjadikan Mbah Nun berhasil memberikan warna, pelipur rasa sedih, dan membagikan kebahagiaan dalam masyarakat Maiyah.
Ada banyak dari para Kyai, agamawan, dan ulama yang berebut memberikan pengaruh atas pemikiran atau dakwahnya. Tak jarang juga, ada yang berkonflik dikarenakan berbeda gagasan atau argumen. Bukan hanya tokoh yang bersebrangan saja yang berkonflik, tetapi juga para jamaahnya juga ikut berdebat membela argumentasi tokoh tertentu. Peristiwa tersebut memberikan gambaran bahwa masyarakat yang bertentangan dan secara membabi buta membela gagasan tokoh, mereka sudah terpenjara dengan argumentasi dari tokoh yang mereka ikuti. Namun, berbeda dengan gaya dakwah Mbah Nun yang penuh dengan kemerdekaan berpikir, beliau sering mengutip firman Tuhan “afala takkilun”, “afala tatafakkarun”, “afala tatadabbarun”. Beliau juga merendahkan diri serendah-rendahnya dengan mengatakan, “jangan bersandar pada saya, semua yang saya katakan jangan ditelan mentah-mentah, gunakan akal dan pikiranmu untuk menemukan kebenaran sejati”. Padahal, dengan segala karyanya, peran di masyarakat, serta dedikasi kepada bangsa dan agama, tidak membuat beliau merasa suprior. Sifat tawadhu beliau memberikan cahaya inspirasi dan membuka cakrawala berpikir bagi para masyarakat Maiyah yang menggunakan hati dan pikirannya untuk menjadi khoirunnaas.
Pada 2023 ini, Mbah Nun sudah banyak memberikan gagasan serta perannya dalam membangun bangsa ini. 70 tahun Mbah Nun, adalah momentum bagi generasi muda untuk mengadopsi cara berpikir Mbah Nun, pemikiran yang memerdekakan bukan pemikiran yang membelenggu. Kiranya, Tuhan sudah mengerti melalui sifat Al-Alim-Nya, mengetahui peran dan kebermanfaatan yang sudah diukir selama 70 tahun oleh Mbak Nun. Sekali lagi, 70 tahun Mbah Nun menjadi pengingat bagi kita bahwa ada manusia yang penuh dengan rendah hati dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk memanfaatkan karunia Tuhan berupa akal untuk berpikir secara merdeka dan menemukan yang sejati.

blank
Muhammad Nabhan Fajruddin, merupakan mahasiswa UIN Walisongo Semarang yang juga aktif dalam mengikuti Maiyah Gambang Syafaat Semarang sejak 2019. Penulis lahir di Pekalongan, 6 Novermber 2000, yang memiliki motto ”Man Jadda wa Jada.” Penulis juga aktif dalam menuulis berbagai isyu sosial dan keagamaan di www.kompasiana.com/nabhanfjr sudah ada 13 tulisan yang ditulis dan 6.260 pembaca dalam media tersebut. Penulis juga baru saja menyelesaikan S.1 PAI dengan menulis skripsi berjudul “Pendidikan Akhlak Menghargai Perbedaan Melalui Learaning Community di Maiyah Gambang Syafaat Semarang”