blank

Saya sangat bangga tinggal di negeri yang sangat mencintai kanjeng Nabi. Tidak hanya di pondok pesantren, hampir di pelosok desa dan kampung, di sudut-sudut surau atau di rumah warga kita kumandangkan sholawat. Sekarang ini sholawat sudah masuk ke dalam dunia entertainment. Lagu sholawat menjadi trend dan populer.

Tentu saya sangat bersyukur karena di zaman ini sholawat sudah menyentuh banyak lapisan. Dulu hanya kaum rakyat pinggir yang istiqomah mentradisikannya. Tetapi sayangnya ketika saya amati kepopuleran lagu sholawat tidak sepopuler laku sholawat. Banyak yang nyanyi shalawat tapi kenapa juga banyak permusuhan, kebencian, dan konflik. Bahkan tidak jarang dikenal ahli solawat tetapi pekerjaanya suka mengkafir-kafirkan orang hanya karena perbedaan pemahamaan. Tidak ada sedikitpun kerendahhatian untuk memberi ruang bagi orang lain.

Saya jadi teringat adegan peristiwa dalam perang uhud. Pipi yang mulia Kanjeng Nabi terkena senjata lawan sehinggga mengucurlah darah sucinya, dan beliau berusaha mencegah dan mengusap darahnya agar tidak terjatuh ke tanah.

Kenapa teman? Agar bumi tidak murka. Malaikat penjaga gunung yang melihatnya tidak tega berdiam diri dan menawarkan bantuan untuk menjatuhkan batu-batu gunung ke prajurit musuh….apa jawaban beliau temanku?

Jangan, karena mereka belum tahu kebenaran! Semoga suatu saat mereka akan mndapatkan petunjuk atau jika tidak, semoga keturunannyalah yang mendapatkan petunjuk kebenaran. Nah teman itulah laku sholawat, Laku welas asih untuk merahmati sesama dan semesta.

Beliau memilih untuk tidak menggunakan kesaktian, power atau kehebatannya. Tapi menggunakan pengalaman kemanusiaan yang sederhana untuk menyentuh rasa kemanusiaan. Itulah kekuatan cinta dan welas asih.

Kini saya baru menyadari kebenaran dari perkataan Almarhum Simbah Burhanuddin seorang Waliyulloh dari Desa Godong yang mengatakan jika raja Hindu di Sunda, Prabu Silihwangi itu sejatinya adalah “Prabu Solawat” setelah saya membaca sejarah hidupnya beliau memang dikenal adil dan welas asih kepada rakyatnya, karena itu beliau mendapat gelar “Silih Wangi” dan memilih ngahiyang/menghilang agar tidak terjadi perang agama di antara rakyatnya disebabkan pewarisnya, Kian Santang memeluk agama Islam. Sungguh laku solawat yang sejati.

Maafkan teman, jika tulisanku ini tidak sepaham denganmu. Aku cumm khawatir fenomena zaman yang menggaungkan trend dan popularitas hanya memuja kuantitas dan tidak dengan kualitas dan hanya melahirkan sesuatu yang bersifat imitatif.

Mari kita bersama sinau laku sholawat, agar sholawat kita bisa memberi cahaya dan rahmat bagi semesta.

Rahayu, Rahayu, Rahayu.