blank

Ramadhan menghasilkan perspektif tersendiri pada setiap manusia, khususnya bagi yang menjalankannya. Masing-masing individu punya cara tersendiri dalam memaknai eksistensi Ramadhan. Umat Islam di seluruh belahan penjuru dunia rasanya tidak ada yang tidak sepakat bahwa Ramadhan adalah bulan yang amat dirindukan.

Kerinduan akan Ramadhan dilatarbelakangi motivasi yang berbeda-beda oleh setiap pelaku Islam. Di antara semua anasir latar belakang tersebut terdiri atas aspirasi materialisme dan spiritualisme. Memang, Ramadhan adalah momentum spiritual. Namun tidak sedikit pelakunya menyandarkan diri pada orientasi material yang sifatnya jasmaniah.

Ramadhan adalah peristiwa tatkala pelaku Islam diperintahkan berpuasa. Secara material, puasa dipandang sebagai lelaku menahan diri dari segala eksistensi benda (khususnya barang konsumsi) agar tidak melewati proses metabolisme tubuh. Simpulannya, para pelakunya diharuskan untuk menahan lapar dan haus dalam durasi yang sudah ditentukan.

Makna lain dari berlapar dan haus selama berpuasa ialah untuk menumbuhkan empati rasa kemanusiaan pada tiap pelakunya. Hal itu dianalogikan bahwasannya pelaku puasa diharapkan dapat merasakan beban kaum miskin yang identik dengan sudah terbiasa ‘berpuasa’ sehari-hari dalam konteks menahan lapar dan haus. Kalau hanya berdasarkan analogi peristiwa itu, maka tidak wajibkah bagi saudara yang kekurangan bahan pangan tersebut untuk menjalankan puasa Ramadhan? Tentu tidak, perintah puasa berlaku bagi siapapun, terkecuali bagi yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan manajemen metabolisme tubuh dalam berpuasa termasuk aspirasi materialisme. Ada aspirasi lain yang menjadi motivasi orang berpuasa yakni aspirasi spiritualisme. Aspirasi spiritualisme dapat dimaknai berpuasa adalah mekanisme pemenuhan sistem kebutuhan ruhaniah. Dalam hal ini puasa merupakan ‘wasilah’ untuk sampai pada ‘ghoyyah’ yakni kemenangan.

Bagi yang berpuasa, di antara sekian banyak kemenangan yang dipahami adalah pada saat berbuka puasa dan perayaan Idul Fitri. Berbuka puasa merupakan ritual harian rutin untuk mengakhiri puasa dengan prosesi pembatalan, dalam artian boleh makan dan minum. Sedangkan perayaan Idul Fitri merupakan momentum pertanda berakhirnya durasi total puasa bulan Ramadhan.

Dimensi kemenangan pada dasarnya juga dapat terbagi dalam perspektif jasmaniyyah dan ruhaniyyah. Dimensi jasmaniyyah adalah mekanisme pemenuhan kebutuhan jasad (makan, minum, berpakaian). Kemenangan pelaku ibadah Ramadhan biasanya identik dengan tiga kata dalam kurung tersebut.

Lantas apa yang dimaksud kemenangan ruhaniyyah? Kemenangan ruhaniyyah kemenangan hakiki, yaitu ketika telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Perjumpaan dimaknai bahwasannya melalui berpuasa, seseorang telah mendapati kebenaran yang dalam hal ini adalah hikmah berpuasa. Siapa yang bisa memastikan seseorang telah lulus berpuasa? Tidak ada seorangpun.

Pelaku puasa dalam aspirasi spiritualisme memandang bahwa Ramadhan bukan merupakan momentum untuk menumpuk pundi-pundi pahala. Pundi-pundi pahala yang dijanjikan berlipat-lipat di Bulan Ramadhan bisa jadi dilihat sebagai penghalang untuk mendapati perjumpaan dengan Tuhan. Di saat orang lain berlomba-lomba mengejar pahala, maka dirinya akan menempuh jalan sunyi mengejar Tuhan.

Mengapa perjumpaan dengan Tuhan merupakan suatu kemenangan? Perjumpaan dengan Tuhan adalah kemerdekaan yang sejati, yaitu suatu kondisi kejiwaan dengan tingkat pemahaman juga kesadaran bahwa seseorang terbebas dari belenggu apapun karena terjadi penyatuan antara manusia dengan Tuhan. Penyatuan dalam hal ini bukan lantas manusia menjadi Tuhan, namun kesadaran manusia secara utuh mengenai keberadaan Tuhan dalam seluk beluk kehidupannya. Itulah yang dinamakan dengan tauhid.

Dengan demikian Ramadhan adalah momentum pemusatan latihan dengan keragaman ujian agar manusia dapat mencapai kesadaran tauhid. Kesadaran Tuhan di dalam diri manusia akan melahirkan pribadi yang tidak sekadar mampu merasakan lapar atau hausnya kaum papa. Selebihnya, melalui hubungan kedekatan dirinya dengan Tuhan, manusia akan memiliki budi pekerti yang memiliki keragaman empati. Kemampuan itulah yang akan menjadikan manusia dengan pribadi peduli yang akan amat sibuk menebar cinta kasih kepada siapapun, kapanpun, dimanapun, bagaimanapun.