blank

”Di hari-hari terakhir nanti, yang jadi juru bicara di antara ummat manusia adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dialah yang akan berkhutbah kepada ummat manusia,” kata Abul Qasim Al-Junaid kepada umat Islam yang untuk pertama kali melihatnya berceramah di atas mimbar. Sebagai tokoh sufi, sosok Junaid adalah orang yang selalu menghindari berceramah di depan publik. Entah atas dasar alasan apa, pada suatu ketika tanpa ada yang menyuruh, ia tiba-tiba naik ke atas mimbar dan membacakan kutipan hadis yang menghentak itu.

Tentu kisah Junaid telah berjarak ribuan tahun dari sekarang. Namun, kalau kita simak esensi kisahnya sangat relevan dengan keadaan di Indonesia mutakhir. Apalagi sekarang sedang bulan Ramadhan. Produksi ceramah dan khotbah bertebaran di mana-mana. Televisi memberi tempat yang luas kepada penceramah yang sudah akrab dikenal masyarakat sampai yang paling asing. Soal kualitas, jangan tanya. Mereka sudah selesai urusan retorika. Petikan ayat Al-Quran bisa nyambung dengan materi ceramah. Dan selingan humornya tidak pernah sepi mengudang tawa dan tepuk tangan penonton.

Bahkan televisi sangat berbaik hati membuka kesempatan kepada anak-anak muda yang tertarik menggeluti ”profesi” sebagai juru dakwah. Maka tidak heran setiap bulan Ramadhan kita berjumpa dengan acara kompetisi pemilihan dai. Sebagaimana umumnya kompetisi, tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Mereka bersaing menjadi pendakwah yang lihai dalam penyampian ajaran-ajaran yang tertera di kitab suci atau hadis. Hari demi hari dilewati dengan usaha untuk meraih komentar pujian dari para juri yang terdiri dari ustaz dan ustazah yang sering nongol di televisi. Tentu peristiwa ini boleh dilakukan. Namun, tidak menjamin bakal terhindar dari pertanyaan. Bagaimana kompetensi para pendakwan yang baik-buruknya dalam penyampaian ditentukan oleh komentar juri dan jumlah sms penonton?

Ini berbeda dengan kelaziman para pendakwah di pedesaan dan ulama-ulama di kota pesisiran Pantura. Mereka lahir dari tradisi keilmuan yang memiliki disiplin yang tinggi. Orang yang berhak berceramah di depan publik pasti orang itu telah melewati pendidikan bertahun-tahun di pesantren. Dan tentunya sudah bergulat dengan bermacam-macam kitab. Sehingga ketika sudah mentas dari pesantren, sudah ada jaminan kalau orang itu sudah jangkep keilmuannya. Meski sudah dinyatakan jangkep ilmunya, pun seorang santri masih belum berani mendaku dirinya sebagai orang yang ahli berdakwah menyampaikan kebenaran dan kebajikan. Yang memberi pengakuan dan penilaian tentang kejangkepan ilmunya adalah masyarakat.

Ini yang membedakan seorang ustaz di televisi dengan ulama di pesantren tradisional. Tempat menempa ilmu agama saja sudah berbeda. Maka tidak heran secara kualitas penghayatan terhadap makna Al-Quran dan penyampainya terlihat berbeda. Mana yang memang fasih dan mana yang difasih-fasihkan. Sensor suara di telinga sudah langsung bisa membedakan itu semua. Lalu timbul pertanyaan mengapa pendakwah yang ditempa di pesantren bertahun-tahun dan penguasaan ilmunya lebih mumpuni malah tidak laris atau jarang tampil ditelevisi? Tidak ada yang bisa menjawab secara tepat kecuali produser acara yang kerap menghadirkan ustaz televisi. Kita hanya bisa menduga-duga mengapa itu bisa terjadi. Jawaban paling mudah bisa kita berikan dengan pertimbangan rating atau segmen penonton yang banyak dari perkotaan. Namun, dalam kesempatan kali ini kita tidak sedang ingin membahas persoalan itu lebih panjang lagi.

Mari kita kembali ke kisah sufi Junaid. Adalah Habib Anis Saleh Baasin yang menulis kisah itu dalam esainya ”Kiyai Sengkelat” yang dimuat di majalah Panji Masyarakat (1 April 1984). Kita yang mungkin telanjur mengenal Habib Anis sebagai pengasuh di Suluk Maleman atau pengisi di Gambang Syafaat agak terkejut dengan kehadiran informasi ini. Dulu, sebelum kerap tampil di atas panggung memberikan wejangan kepada masyarakat dan jamaah Maiyah. Habib Anis adalah penulis ampuh. Salah satu bukti keampuhannya tercium di esainya ini.

Cakupan referensinya tidak hanya berhenti pada dialektika keilmuan Islam saja. Beliau dengan lancar bisa memulai esai dengan kisah sufi dari Baghdad lalu berlanjut mengutip pemikiran Mac Iver, Herbert Marcuse, Lenin, sampai Mao Zedong. Eropa dan Arab bermesraan di alam pikiran Habib Anis. Sehingga ketika beliau membicarakan kekuasaan. Beliau membuka esainya dengan kisah sufi dari Baghdad dan menutupnya dengan sebuah kisah Kiyai Sengkelat.

Siapa itu Kiyai Sengelat? Ia adalah ”Sebuah keris yang sederhana bentuknya, tapi ampuh khasiatnya. Sebagai pusaka kraton, ia adalah tokoh di belakang layar. Tak sekalipun menonjol atau ditonjolkan ke muka umum.”

Lalu apa urusannya Abu Qasim Al-Junaid dengan Kiyai Sengkelat? Kata Habib Anis,”orang-orang semacam Kiyai Sengkelat atau Junaid, memang lebih suka menghindar dari pusat-pusat yang jahil macam ini. Mereka lebih suka berada di desa-desa, memperbuat sesuatu yang nyata bagi lingkungannya. Maka, celakalah orang-orang yang paling bodoh dan tidak menyadari bahwa dirinya adalah yang paling bodoh!”