blank

Biasanya beliau mengunjungi kita melalui tulisan atau kita menyaksikannya di youtube di panggung Kenduri Cinta Jakarta. Namun, nanti malam, (25/08) kita dapat bersua beliau di Majlis Gambang Syafaat komplek Masjid Baiturahman Simpanglima Semarang secara langsung.

Muhammad Nursamad Kamba. Ada yang memanggilnya Ustadz Kamba, ada pula yang memanggilnya dengan sebutan Buya Kamba, kami lebih biasa memanggilnya dengan sebutan Syaikh Kamba. Ia adalah salah satu rujukan ‘marja’ Maiyah selain Mbah Nun dan Mbah Fuad. Keilmuannya dalam bidang tasawuf sangatlah kita butuhkan untuk menunjukkan letak maiyah dalam khasanah Islam. Pendidikannya baik S1, S2 dan S3 mengambil jurusan Aqidah dan Filsafat di Universitas al-Azhar Cairo. Sekarang mengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Jika Mbah Nun mengajari Maiyah dengan praktik, Syaikh Kamba memberi definisi, meletakkan dalam bidang ilmu, menunjukkan posisi, rumusan. Maka kita mengenal tulisan-tulisan dengan judul semacam ini; (1) Maiyah dan Perahu Nuh, (2) Maiyah dan Dimensi Ihsan, (3) Maiyah sebagai “al baqiyyat al baaqiyah” bagi Indonesia, (4) Maiyah dan revolusi Kepemimpinan; Atau kepemimpinan revolusioner dengan maiyah, (5) Esensi Agama dan karakter Berketuhanan, (6) Maiyah dalam Perspektif Sufisme, (7) Belajar pada Muhammad Sebelum Ber-Islam, (8) Maiyah dan Jalan Sunyi, (9) Memahami Kedudukan Fiqih Dalam Struktur Pengetahuan Islam.

Mari kita baca tulisan yang pertama, Maiyah dan Perahu Nuh. Syaikh Kamba dalam tulisan tersebut mengibaratkan Nuh bangkit lagi di era sekarang. Ia mengingatkan sekarang ini sedang terjadi bencana, banjir informasi sampah. Nuh menyediakan perahu agar selamat. Nuh mengajak untuk ke Tuhan. Tapi karena manusia sebagaimana zaman Nuh yang begitu angkuh. Ia percaya bahwa tekhnologi yang mereka ciptakan, ilmu yang mereka kuasai telah melampaui kekuasaan Tuhan. Mereka lebih memilih bukit mayoritas dan gunung arus utama.

Beliau sangat menekankan kepada kita murid-muridnya untuk belajar pada Muhammad sebelum berislam. Karena Al-qur’an itu ya Muhammad. Nabi menurutnya bukanlah sebagaimana raja yang tinggal tunjuk sana-sini. Ia adalah seorang sahabat yang akrab. Tentang Nabi, ada kata-kata Syaikh Kamba yang masih terus saya ingat sampai sekarang. “Kita itu sering mengatasnamakan Nabi untuk urusan-urusan pribadi kita. Misalnya saja punya kecenderungan untuk berpoligami alasannya Nabi, punya kecenderungan untuk kuasa alasannya Nabi. Mereka tidak sadar kalau kecenderungan seperti ini bisa menimbulkan persepsi, sehingga nanti orang tidak suka kepada Nabi. Kemudian timbul pertanyaan pada orang lain, “Masak Nabi kok gitu?” Sebenarnya orang (non Isalam-red) tidak mengenal Muhammad yang menjadikan alasan mereka menghina-hina beliau, tetapi kemudian yang mereka tahu Muhammad direpresentasikan dengan orang-orang yang kayak disebutkan di atas (poligami, kekerasan). Maka itu pentingnya orang mempelajari Sirah Rasulullah.”

Jika biasanya kita mempelajari tulisannya, tiba saatnya kini kita mendengarkan langsung apa yang beliau katakan sebagai seorang murid. Murid mana yang tidak bungah, senang, gembira dijenguk oleh gurunya? Selamat datang Syaikh Kamba.