blank

Dalam khasanah Jawa ada pribahasa “Ancik-ancik ing pucuke eri”. Ancik-ancik itu artinya berdiri, bertumpu, ing pucuk, atas yang mengerucut yang lancip, eri adalah duri. Jadi Ancik-ancik ing pucuke eri adalah berdiri di pucuknya duri. Sakit, tentu sakit dan terluka. Tapi makna konotasi dari istilah itu adalah tinggal berdiam di tempat yang berbahaya atau yang menyusahkan. Yang perlu kita lakukan ketika dalam kondisi berbahaya adalah hati-hati, waspada.

Setiap manusia sebenarnya dalam kondisi ancik-ancik ing pucuke eri. Jika tidak hati-hati maka berpotensi terluka. Dalam bahasa agama waspada itu berarti ‘taqwa’. Mengutip Ahmad Fuad Affandy (2007), takqwa berasal dari verba ittaqo-yattaqi-ittiqa an-taqwa artinya berhati-hati, menjaga, menghindari, menjauhi. Jadi arti taqwa adalah hati-hati dan waspada dari berbagai kemungkinan bahaya. Dalam ranah agama taqwa adalah ketakutan, kewaspadaan, dan ketakutan tidak disayang oleh Allah. Orang yang beriman yang menjalani hidupnya dalam ketakwaan adalah orang yang hati-hati kapanpun dan dimanapun agar tidak menyebabkan Allah marah.

Orang perlu berpuasa (menahan diri) agar menjadi insan yang bertaqwa. Tuhan meminjami kita kuasa, kuasa melihat, kuasa mendengar, menghirup, merasakan, meraba. Kekayaan merupakan perluasan dari kuasa pinjaman Tuhan tersebut. Demikian juga dengan kepandaian. Jika kita tidak hati-hati menyadari dan menggunakan kuasa pinjaman tersebut maka kita rawan tergelincir di lubang yang menganga.

Apa bahaya yang mengancam itu? Bahaya yang mengancam yang paling fatal dan mungkin terjadi di zaman modern ini adalah kesadaran. Kesadaran bahwa kuasa yang diberikan kepada manusia ini hanyalah pinjaman dari Tuhan untuk mengarungi hidup untuk bekal ke kehidupan abadi akhirat. Manusia sejatinya adalah penduduk surga (ingat kisah Adam), dan diperjalankan sebentar di dunia untuk pada saatnya kembali lagi. Dunia yang memukau itu seringkali membuat manusia lena dan menganggap dunia tujuan akhir.

Perkembangan teknologi yang demikian canggih sekarang ini menambah keyakinan manusia itu bahwa ia mampu menyelesaikan semua masalah maka Tuhan disingkirkan di ruang-ruang sempit dan pesing. Sejarah umat manusia selalu memiliki penyakit semacam ini maka Nabi diturunkan. Di zaman Nabi Nuh orang-orang tidak mau mengikuti ajaran beliau karena yakin akan kekuatan dirinya. Bahkan anaknya sendiri karena yakin dengan kekuatannya sendiri memilih naik ke atas gunung dan akhirnya tenggelam juga.

Kesadaran benda semacam ini yang membahayakan dunia sendiri dan lingkungan. Manusia dengan keyakinan semacam ini membangun dirinya, menghebatkan dirinya dengan mengorbankan sesama. Hutan dibabat, dibakar, laut direklamasi, sungai dicemari demi menghebatkan dirinya. Semua dilakukan untuk meluaskan kuasanya. Mereka juga berdoa, tapi Tuhan hanya dijadikan sebagai pesuruh untuk melancarkan ambisi-ambisinya.

‘Ketenangan’ yang ia minta, yang seharusnya bisa didapat dengan cara apa saja, oleh orang yang memiliki kesadaran benda ini ketenangan hanya dapat diperoleh dengan cara pengumpulan kekayaan. Ia berusaha membangun surganya sendiri di dunia ini. Allah mengingatkan kita dengan berbagai kisah mengenai hal ini, kisah Qorun misalnya, tapi harta memang memabukkan.

Untuk itu Tuhan menyuruh kita siyam dalam bahasa Jawa disebut puasa. Puasa adalah menahan diri. Orang yang berpuasa adalah orang yang memiliki kesadaran bahwa ada Tuhan yang mengendalikan. Ia mengekang dirinya untuk membatasi kuasa-kuasa yang diberikan Tuhan itu untuk tidak kliwat penggunaannya. Batas itu adalah kemanfaatan. Saat kita menggunakan sebuah kuasa dan perluasannya maka yang perlu kita pikir adalah Tuhan melihat kita atau kita melihat Tuhan sambil berpikir ini bermanfaat untuk sesama. Sesama dalam konteks ini tidak hanya manusia tetapi lebih luas dari itu adalah apa saja yang hidup di alam semesta. Ya arena diturunkannya manusia di dunia mengemban tugas sebagai khalifah di dunia. Khalifah jangan menghancurkan yang khalifai.

Orang yang berpuasa akan sensitif panca indranya. Orang yang menahan diri akan lebih peka penglihatannya, perasaannya, dan pendengarannya. Dan ini dapat digunakan sebagai modal bagi kita untuk memelihara percakapan kita dengan Allah. Juga dapat sebagai bekal untuk melihat lebih jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang menyesatkan yang membuat kita terluka atas duri tadi.

Gampangnya begini, semua manusia di dunia ini dalam keadaan rugi. Rugi bisa diartikan bahaya seperti berada di ujung duri tadi, dan Tuhan memberi kita alternatif. Alternatif tadi adalah beriman, beramal sholeh, dan sabar. Beriman itu lebih dari percaya. Orang beriman hanya menggantungkan dirinya kepada Allah. Menjadikannya satu-satunya pelindung dan memohon pertolongan. Ada ungkapan Jawa lagi yang artinya mirip dengan Ancik-ancik ing pucuke eri yaitu Lumaku ing wot ogal-agil artinya berjalan di jembatan yang bergerak tidak berimbang. Berjalan di jembatan yang bergerak-gerak ini mengharuskan kita untuk berhati-hati dan konsentrasi. Karena jika kita tidak hati-hati sangat berpotensi terjatuh ke dalam sungai. Jembatan adalah dunia ini, dan kita dibekali agama sebagai tongkat agar kita bisa menjaga keberimbangan melewati jembatan untuk sampai tujuan yaitu Allah SWT. Semoga kita menjadi orang yang selamat saat berada dalam keadaan Ancik-ancik ing pucuke eri dan dengan bekal tongkat agama dan Alquran mampu melewati jembatan yang ogal-agil untuk sampai ke Allah.