blank

Kebanyakan dari kita sering menempatkan Tuhan hanya pada saat keadaan kritis atau ketika kita berduka. Misal, ketika menemui kegagalan atau kesusahan dalam mencapai sesuatu. Saat pekerjaan kita yang menghasilkan rupiah pas-pasan saja dan mungkin mendekati kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kita menggumam “Ya Allah, kok nasibku ngenes tho?”. Sapaan ke Tuhan sering kali berbentuk renungan atas nasib.

Kita sering berandai-andai ketika merenungi nasib yang berujung dengan menyalahkan Tuhan. “Mengapa nasibku jadi orang miskin ya Tuhan? Seandainya aku jadi orang kayakan aku bisa naik haji tiap tahun. Kita tidak berkaca pada apa saja yang telah kita lakukan selama ini sehingga kita mengalami nasib seperti itu. Padahal untuk apa nasib kita renungi?

Membandingkan adalah awal dari sebuah keluhan, tidak jadi masalah kalau kemudian membuat kita termotivasi untuk melakukan perubahan. Menjadi lebih rumit ketika keluhan malah membuat kita apriori kepada Tuhan.

Mbah Nun, memberikan garis di salah satu Daur beliau.

“Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu, ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.

Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari awal hingga akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.

Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.”

Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Jadi masihkah kita akan terus meratapi nasib yang kita terima atau merenungi proses apa sajakah yang telah kita lakukan sehingga kita mendapatkan hasil seperti ini? Kalau ternyata usaha kita melakukan perubahan nasib tidak kunjung berhasil, apa ada kemungkinan bahwa anak-cucu kita lah yang akan menikmatinya? Bukankah anak-cucu kita adalah kita juga, Episode selanjutnya dari kita? Jadi, nasib apanya nasab?