blank

Sisa hujan masih terlihat di cekungan aspal lapangan parkir Aula Masjid Baiturrahman. Habis Isya’, Semarang diberkahi hujan deras sebentar. Jalanan basah dan udara dingin. Genangan air terlihat di sekitar tempat duduk para jamaah. Malam bergerak pelan menuju larut. Para jamaah perlahan-lahan tampak menyesaki sekitar Aula Masjid. Deras hujan tak menyurutkan niat untuk ngalap dan nglayap berkah bersama sedulur-sedulur Gambang Syafaat malam ini. Tentu mereka semua seperti tema yang dibicarakan malam ini (25/09/2017) “Menyongsong Zaman Waras.”

Rela keluar rumah malam-malam, selesai hujan deras, meninggalkan istri, anak, pacar, dan tentu saja mantan, demi menghadiri Forum Ngaji Bareng bersama Gambang Syafaat adalah kewarasan. Atau kalau belum merasa waras setidaknya sudah ada usaha untuk mencari dan menyongsong kewarasan. Khazanah kebahasaan Jawa mengartikan waras dalam dua hal: 1. Waras yang berarti sehat (secara fisik); 2. Waras yang berarti tidak edan (secara kejiwaan/psikologi).

Nah, apakah malam ini para jamaah mendapat kewarasan yang mana? Yang pertama atau yang kedua? Atau jangan-jangan mendapat kedua-duanya? Saya jelas tidak tahu. Saya hanya memberitahukan bahwa tidak ada jaminan untuk mendapat salah satu dari kedua itu, apalagi kedua-duanya. Toh, tidak mendapat kedua-duanya pun tidak ada yang merasa rugi. Baik bagi para jamaah maupun para pengisi Ngaji Bareng kali ini.

Meskipun tidak berhasil mengingat apa-apa yang disampaikan para pengisi. Para jamaah tetap merasa beruntung sebab mereka semua selalu dihibur oleh para penghibur yang selalu berganti-ganti dan datang dengan keikhlasan tanpa bayaran. Apakah para penghibur ini juga dikatakan waras? Menghibur orang-orang sampai malam tapi tidak dibayar? Sekali lagi, mungkin mereka juga seperti saya, juga anda, masih perjalanan mencari-menemukan-menyongsong zaman waras.

Dan tidak usah menunggu lama lagi, kita sambut penghibur Gambang Syafaat malam ini: “Iki Endonesia!”.

Iki Endonesia? Ya! Penghibur kita malam ini adalah “Iki Endonesia.” Itu nama grup musik. Sang mentor grup musik ini, Babahe Widyo Leksono mengatakan,”Lambe wong Jowo kan gak iso Indonesia, isone Endonesa. Tulisane “E” orak “I”.” Sebentar jangan bingung dulu. Mengapa nama negara Indonesia ditulis Endonesia. Babahe juga menjelaskan, ”Pemahaman kami Endonesa lebih luas dari Indonesia.”

Memberi nama sendiri, ditafsir sendiri. Itulah gambaran yang dilakukan Babahe. Tidak sependapat dengan tafsirnya monggo. Tapi Anda pasti setuju jika mendengarkan tujuan pembentukan grup musik ini. “Tujuan kami untuk mempersatukan, mengguyubkan, kepada warga negara Nuswantoro atau Indonesia.” kata Babahe.

Di hapadan “Iki Endonesia” para jamaah sudah bersatu, berkumpul, dan geguyub. Mereka tentu sudah tidak sabar mendengar penampilan “Iki Endonesia”. Kita sambut lagu pertama “Iki Endonesia”. Suara petikan gitar terdengar, suara gerak pasir mengiringi, vokal mulai merapalkan sebuah lagu nasional: Indonesia Pusaka!

Hujan malam ini tidak menitipkan banjir tapi menitipkan dingin. Udara dingin berhembus pelan mencuri kesempatan mencari celah dari sarung atau celanamu untuk nyungsep di kulitmu. Kantuk tak terasa. Lagu Ibu Sud terdengar merdu ketika disajikan secara akustikan. Lagu nasional pun terlihat sedap.

Ah, musik terus berlanjut dan lagu telah berganti. Indonesia Pusaka selesai didendangkan dengan iringan gitar dan suara vokalis laki-laki. Lagu kedua berjudul “Ngundang.” Suara vokal perempuan yang ambil alih lagu ini. Lirik terdengar jelas dan agak mudah dihafal. Suara vokal perempuan terus berjalan mengiringi nada gitar. Lirik dinyanyikan.

Pus… pus… pus… kuwi ngundang kucing
Kur… kur.. kur.. kuwi ngundang pithik
Mbik… mbik… mbik…kuwi ngundang wedhus
Su… su… su… su… kuwi menuso ngundang kancane ojo ditiru!

Larik yang terakhir berhasil memancing tawa dan tepuk tangan dari para jamaah. Liriknya genit dan asyik. Sindiran atas cara bergaul kita. Sapaan “Su” itu terlihat tidak sopan bagi yang tidak saling mengenal. Tapi sapaan itu juga bisa menandakan kemesraan tingkat tinggi. Karena siapa yang tidak marah dipanggil “su” yang tidak lain adalah versi pendeknya “asu” kalau tidak konco kenthel atau konco kere. Sapaan model seperti itu lazim dalam pergaulan orang dewasa Jawa. Indah dilihat tapi tidak baik ditiru oleh adik-adik yang belum cukup umur.

Lagu berlirik tak henti disuguhkan “Iki Endonesia”. Di Penghujung acara “Iki Endonesia” kembali menyanyikan lagu berkritik sosial. Lagu berbahasa Jawa. Vokalis perempuan kembali berdendang. Dengarkanlah:

Yen arep dadi petinggi kandamu seger wangi
Yen wis dadi medeske kuping getirke adi
Kemangi kandanmu seger tur wangi
Nanging kenopo pendes getir ning lati

Kemangi enake dienggo lalapan
Nglalap duwite rakyat sambergelap

Lagu terakhir tampak pas dengan tema yang dibicarakan pada malam ini. Pejabat harus waras sejak dalam rohani dan jasmani. Dilarang gila harta dan pangkat. Pejabat harus menyongsong zaman waras. Ah, apakah pejabat mau? Tentu sulit, kita hanya perlu ngaji dan mendoakan, mudah-mudahan pejabat segera waras dan pulih dari edan.

Malam telah menjemput pagi. Sekawan bakul pasar mulai beriringan di jalan menunaikan ibadahnya: mencari rezeki. Sampai selesai acara, lagu “Iki Endonesia” terus terngiang di kepala. Terutama bagian yang “su” tadi. Aduh, aku lupa bertanya siapa nama-nama personilnya. Cuma saya ingat kata Babahe, sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang “tidak lulus dari IAIN, dan beberapa mahasiswa yang tidak lulus dari universitas lain.”

Kuliah tidak lulus malah gitaran. Sungguh mereka itu benar-benar edan, eh waras! (Yunan Setyawan)