MUKADIMAH MAIYAH DUSUN AMBENGAN JANUARI 2016

KULTUR MASYARAKAT JAWA dimanapun tempat ‘berhijrah’, pada umumnya masih kental melestarikan warisan budaya tanah luhur. Kebudayaan adiluhung asal muasal tetap terjaga dan mewarnai dinamika kesejarahan hidup mereka sebagai kaum pendatang, walaupun di tengah kepungan arus budaya modern yang permisif dan komplikatet.

Di provinsi Lampung, persambungan budaya Jawa yang hidup dan diuri-uri, itu tercermin dari eksisnya berbagai seni budaya Jawa seperti wayang kulit, ketoprak, ludruk, campursari, kuda kepang, sintren, tayub, reog, dan lain-lain. Juga tumbuhnya paguyuban-paguyuban masyarakat berlatar suku daerah, semisal Puja Kusuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), Jamur Kesuma (Jawa Timur Kelahiran Sumatera), Keluarga Panginyongan, dll. Lebih kompleks lagi tentunya dalam penerapan adat istiadat dan ranata sosialnya.

Terkait ini, perspektif Cak Nun penting kita pelajari. Terutama soal pemahaman sebagai manusia Indonesia yang utuh dan ditugaskan menjadi pemimpin peradaban dunia. Dalam pandangan Cak Nun, beliau sering menegaskan pentingnya sebuah bangsa mempelajari sejarah masa silam untuk menghadapi masa kini, dan menyiapkan masa depan. Kisah perjalanan perjalanan antara Nabi Musa AS dengan Baginda Khidr, acap disampaikan Cak Nun sebagai tauladan yang ideal.

Pada Maiyahan edisi Januari 2016 ini, Komunitas Maiyah Dusun Ambengan di Rumah Hati Lampung desa Margototo Kecamatan Metro Kibang Lampung Timur, berusaha melakukan sinau kebudayaan dengan mengangkat tema “Reog and Roll”. Tema ini dipilih atas pertimbangan melihat dinamika kesenian Reog Ponorogo dengan latar realitas budaya dan intentitas masyarakat asal Ponorogo yang menetap secara turun temurun di Lampung, ditambah dengan padu padan musik rock and roll.

Artinya, selain mengkaji sisi estetika seni budaya, Reog bisa didedah sebagai simbol perlawanan pada penguasa. Reog and Roll adalah elaborasi dari kesejarahan, semacam Reog Religi yang kemudian dikontemplasikan dengan sajian musik rock and roll versi Gamelan Jamus Kalimosodo – yakni kelompok musik yang merupakan ‘anak’ dari Kiai Kanjeng, yang selama ini setia tampil menemani para Jamaah disetiap acara Maiyahan Ambengan.

Tabuhan Reog yang energik, bisa menjadi penanda panggilan bangkitnya kesadaran masyarakat untuk benar-benar memahami hakekat kita sebagai manusia Indonesia yang majemuk dan dinamis dalam menata hidup.

Memang banyak cerita terkait asal usul kesenian Reog. Paling popular adalah terkait pemberontakan Ki Ageng Kutu Suryonggalan di zaman Majapahit ketika dipimpin Raja Bhre Kertabumi. Raja Brawijaya V itu dinilai lebih pro pada Cina dan kaum pendatang dibanding warga pribumi.

Ki Ageng Kutu Suryonggalan melakukan kritik pada Raja Bhre Kertabumi dengan menampilkan kesenian Reog. Selain tindakan Raja yang sudah melalaikan tugasnya, banyak kebijakannya dipengaruhi oleh istri barunya, Putri Campa. Pengaruh baru itu diyakini bakal menghancurkan Majapahit. Raja yang lebih dipengaruhi para pendatang itu menurut Ki Ageng Kutu Suryonggalan juga sudah sangat korup.

Sadar karena pasukannya sangat terbatas untuk menyerang langsung kerajaan Majapahit. Maka dibuatlah pentas Reog yang diharapkan bisa mengumpulkan massa, mencari dan melatih anak-anak muda untuk menyongsong kebangkitan Majapahit.

Reog yang memainkan Barongan, bahan utamanya adalah kulit Gembong. Harimau Jawa yang ditunggangi burung merak. Aksi Reog, adalah kritik pada Raja Majapahit yang dikendalikan permaisuri. Menjaga agar ketika beraksi memainkan kritik dibalut kesenian itu aman, Ki Ageng Kutu Suryonggalan selalu dikawal pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna.

Di zaman yang berbeda, masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo, Reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan Reog untuk mengembangkan kekuasaannya.

Adipati Batorokatong yang beragama islam secara sistematis membuat Reog menjadi sarana dakwah, menyebarkan agama islam.

Hal itu diperkuat dengan Barongan atau Singa Barong, menjadi ciri utama Reog. Berasal dari kata Royiqun. Artinya, meninggal dengan baik atau khusnul khatimah. Di tengah masyarakat Ponorogo, Jawa Timur, Ki Ageng Mirah memopulerkan kisah Kerajaan Bantaran Angin yang dipimpin Adipati Betoro Katong. Cerita versi Riyoqun ini masih terus dituturkan dari mulut ke mulut.

Selain ada Warok, seni Reog juga punya pakem. Antara lain babad Kelana Sewandana yang kisahnya mirip Bandung Bondowoso dalam legenda Roro Jongrang.

Defenisi sosok Warok juga perlu kita pahami sebagai pengetahuan. Misalnya, orang yang berstatus sebagai Warok, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di tengah masyarakat. Sebab, warok harus menguasai apa yang disebut Ruh Kamanungsan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.

Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Warok yang secara etimologi wewarah berasal dari kalimat “wong kang sugih wewarah” artinya, seseorang yang mampu memberikan arahan karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.

Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya dan sampai pada pengendapan batin.

Tradisi mistik menjadi Warok, memang terkait dengan hal-hal supranatural. Termasuk larangan berhubungan dengan wanita meski istrinya, dinilai bisa melunturkan ilmu kanuragan membuat Warok menciptakan Gemblakan. Lelaki muda yang berusia belasan tahun, dirawat, dibiayai dan disekolahkan. Jika saat ini, disebut kaum homoseksual. Gemblakan itu, hakekatnya adalah pengekangan nafsu untuk tidak mudah berhubungan badan sebagaimana lazimnya lelaki kuat zaman dulu. Namun banyak disalah artikan, puasa nafsu atas hubungan badan dengan perempuan justru diganti dengan berhubungan seksual dengan lelaki muda atau Gemblakan.

Terlepas dari penyimpangan-penyimpangan itu, Reog saat ini adalah seni yang mampu memberikan warna terhadap kebudayaan dan panggung katarsis bagi masyarakat. Bukan hanya di desa, di tingkat perkotaan pun, Reog meski tanpa warok dan tradisi gemblak, menjadi hiburan seni budaya yang adiluhung dan terus dilestarikan.

Pada penampilannya, Reog mulai runtut mengambil tema dan fase-fase kemunculan. Pertama, keluar warok, jathilan, bujangganong, klana sewandana, barulah muncul Barongan atau Dadak Merak .

Bagaimana kesenian Reog di Lampung? Apakah masih semurni Singa Barong di era Ki Ageng Mirah atau sekadar katarsis, hiburan masyarakat dan upaya nguri-nguri budaya? Bagaiamana Dadak Merak dibuat dan dimainkan, apakah masih mengandalkan gigitan dan apakah para penari jathilan itu masih berprofesi sebagai Gemblak? Atau masih punya tekad teguh Ki Ageng Kutu Suryonggalan untuk mengembalikan kejayaan Majapahit?

Mari melingkar di Maiyah Dusun Ambengan, mencari berkat hati dan mengejar jalan kemanusiaan yang sejati dengan mendedah makna Reog, memainkan kegembiraan tabuhan musik agresif dan meluruskan batin untuk menari, seluwes wiraga para Gemblak, segarang warok. Dan berusaha mencapai Riyoqun.