blank

KITA MENGENAL MUHAMMAD, Isa, Musa, Nuh, dll sebagai Nabi sebab generasi, kakek-nenek, buyut, canggah, wareng dan seterusnya telah mengakuinya sebagai Nabi. Beliau-beliau telah dicatat oleh sejarah sebagai orang yang memiliki reputasi moral hebat sehingga sudah mampu mengubah dunia. Namun, seandainya kita hidup di jaman ketika beliau-beliau masih hidup, disaat belum banyak orang mengakuinya sebagai Nabi dan berestafet-estafet generasi belum mengabadikannya di dalam prasasti waktu, bahkan pada saat itu sebagian besar memusuhinya, apakah ada jaminan kita bisa mengenali beliau-beliau tersebut sebagai orang yang ber-SK langit untuk membawa risalah dan nubuwah?

Dengan mata pandang pengetahuan jenis apa manusia bisa memastikan ‘sosok’ orang yang relevan dan layak untuk digelari Nabi? Sensitifitas batin seperti apa yang memiliki daya raba sehingga sanggup membaca pertanda kenabian seseorang? Padahal sertifikasi risalah dan nubuwah merupakan pengangkatan ‘maqom’ spiritualitas yang bersifat supra rasional, bukan gelar akademik yang diberikan oleh lembaga negara yang cukup ditandai dengan selembar dokumen bernama sertifikat. Ini adalah fenomena yang bukan hanya menimbulkan reaksi pro-kontra tetapi juga resistensi. Kita tahu bahwa pada awal kabar kenabian Muhammad, resistensi dari masyarakat pada saat itu terwujud pada tuduhan bahwa Muhammad gila.

Kemapanan selalu saja akan bersikap resisten terhadap segala gejala kebaruan. Ide dan perspektif baru yang mencoba ditawarkan oleh orang yang telah tercerahkan akan terdengar sumbang di telinga arus kebudayaan mainstream. Hal ini menciptakan konsekuensi ‘terasing’ bagi setiap yang mengimani Muhammad sebagai Nabi. Hegemoni Abu Jahal dan Abu Sufyan mencengkram sedemikian kuat ranah politik, sosial budaya dan ekonomi. Bergabung kepada Muhammad sama dengan melawan gelombang raksasa kekuasaan pada saat itu. Hanya orang dengan perangkat ruhaninya berkualitas prima dan mental Bimasena saja yang memiliki kepekaan untuk sanggup menyaksikan fenomena risalah dan nubuwah. Tanpa anugerah itu, tidak mungkin ada keberanian untuk menyatakan aspirasi spiritualnya di tengah bebalnya kebudayaan Jahiliyah. Terbukti hanya sedikit masyarakat yang lolos seleksi penjaringan hidayah.

Kita tentu pernah mendengar sebuah ungkapan terkenal, ‘laa ya’riful wali ilal wali’, yang kurang lebih maknanya adalah, yang tahu wali adalah wali. Berangkat dari ungkapan itu kita bisa menyimpulkan dalam konteks yang lebih luas bahwa hanya orang hebat yang bisa melihat kehebatan seseorang. Lalu jenis manusia seperti apa yang bisa memiliki kejernihan mata batin dan ketajaman analisis intelektual melihat kenabian seseorang? Iman kepada Nabi tentu bukan perkara sederhana. Setiap orang berhak merasa beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, merasa beriman tidak serta merta berarti benar-benar sudah beriman. Karena pemabuk dipinggir jalan ketika ditanya siapa Nabimu? Ia dengan lantang dan religius akan menjawab Nabi saya: Muhammad SAW. Sebuah jawaban yang diproduksi oleh pikiran yang sekedar mendapat informasi teks, informasi beo dari kenyataan sejarah yang melatarbelakangi hidupnya.

Seandainya sahabat-sahabat setia Beliau masih hidup, mungkin bisa kita jadikan narasumber untuk menjelaskan alasan rasional mengimani Muhammad sebagai Nabi.Namun sayangnya, kini kita sudah tidak memungkinkan untuk mengakses narasumber tersebut untuk mendapatkan konfirmasi dan jawaban secara langsung. Narasumber yang ada sekarang adalah sama, yakni orang yang dibentuk oleh proses sejarah yang sama. Fakta ini adalah landasan logis untuk mendasari sikap keagamaan kita, bahwa siapapun harus bersedia berendah hati. Karena keimanan kepada kenabian Muhammad adalah bentukan sejarah, bukan pengalaman empiris sebagaimana Abu Bakar, Ali, Umar, Usman dan para sahabat yang lain.

Kalau Nabi Muhammad atau Nabi Nuh tiba-tiba ‘iseng’ datang ke mall atau ke upacara bendera saat ini, siapa yang akan mengenalinya? Jika Beliau tiba-tiba mengambil mikrofon di acara pengajian akbar dan mengatakan bahwa beliau Nabi, sudah pasti panitia akan segera menangkap dan menyerahkan Beliau ke Polsek dengan tuduhan Nabi palsu serta pengganggu ketertiban umum.

Kita adalah manusia buta-tuli yang hanya bisa di tolong oleh sejarah dalam mengidentifikasi kebenaran. Itupun masih penuh perselisihan sedemikian rupa dalam mengapresiasi dan menginterpretasikanya. Itulah sebabnya pintu kenabian telah ditutup. Agar tidak semakin menambah gaduh sengketa perselisihan saat ini. Seandainya pintu kenabian masih terbuka, orang yang akan nyaleg dan nyapres pasti lebih dulu mendeklarasikan diri sebagai Nabi, sebagaimana fenomena gelar Haji yang lagi tren untuk membangun citra dan status sosial. Citra sosial inilah yang menarik hati para oportunis untuk melenggangkan kepentingannya.

Pintu kenabian telah ditutup, tetapi bukan berarti sudah tidak ada lagi manusia yang secara esensi disandangi amanah untuk membawa warisan risalah dan nubuwah. Orang dengan esensi kenabian pasti masih bertebaran di setiap jaman. Ditutupnya pintu kenabian saya menduga hanya sebuah strategi Tuhan untuk meminimalisir potensi dan kecenderungan mengaku-aku. Karena manusia modern sudah tidak terlatih untuk mengasah batin melihat hakikat kenabian dan kerasulan.

Jarak sejarah dan bentangan jaman dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW membuat posisi kita hanya berderajat sebagai orang yang harus terus belajar dan berjuang dalam soal keimanan. Bukan pihak yang legal untuk merasa diri paling benar sambil seolah-oleh sebagai pemilik kebenaran. Kecuali jika Abu Bakar, Ali, Usman, Umar dan para sahabat masih ada ditengah-tengah kita, mereka kita persilahkan untuk membenarkan atau menyalahkan cara kita dalam menafsiri agama. Tapi kalau sekedar saya dan anda, mari kita sama-sama berendah hati saja atas kadar dan keabsahan keimanan masing-masing.

Nabi Muhammad SAW dan para nabi yang lain, saya kira tidak pernah bercita-cita menjadi Nabi. Yang mereka lakukan adalah bersetia kepada akal dan nurani dalam hidupnya. Akal dan nurani yang terjaga itulah yang menggerakan manusia untuk berbuat baik. Beliau-beliau pada awalnya hanya orang yang gelisah dengan ketidakadilan dan kerusakan sosial yang ada di lingkunganya, kemudian digerakan oleh naluri alamiah dan akal sehatnya untuk berjuang merubahnya. Kemudian akhlak, komitmen moral dan totalitas pengabdiannya itulah yang membuat Tuhan mengangkatnya dengan kemuliaan.

Jadi bukan orang yang belum berbuat apa-apa kepada kehidupan tiba-tiba merasa pantas jadi ustadz dan digelari pemimpin agama. Lebih ironis lagi, hari ini, orang sibuk bercita-cita menjadi ustadz sambil menindas perasaan orang dengan mengkafir-kafirkan. Boro-boro menolong nasib dan kelaparan tetangga, tetapi justru malah bersemangat sekali menyayat-yayat hati orang lain dengan menuduh musyrik. Jangan sampai karenanya kita justru menjadi semakin jauh untuk menemukan siapa-siapa saja para pewaris SK nubuwah dan risalah yang diberitakan sebagai “Ulama’ Warasatul Anbiya”. []