blank

Kepada orang baru saya akan selalu menceritakan dengan bangga dan penuh antusias bagaimana pengembaraan maiyah saya dimulakan, alasannya sederhana sebagaimana seorang anggota keluarga ketika mendapat suatu kebaikan atau baru saja terselamatkan dari keburukan tentu ia ingin hal yang dialami nya juga dapat dirasakan yang sama oleh anggota keluarga yang lain, demikian juga dengan nikmatnya bermaiyah.
Saat itu belum saya belum mengenal maiyah apalagi sebutan simbah, saat itu sekedar tahu bahwa ada seorang ustadz, kiyai, mubaligh atau tukang ceramah yang disebut dengan “cak nun” tentu itu menggambarkan kordinat identitas beliau yang berasal dari suku jawa, namun dalam pandangan yang terbatas ini saat itu mendapatkan referensi data yang juga terbatas sehingga sosok simbah digambarkan dengan sosok yang sesat, orang syiah, nyentrik dan berbagai konotasi negatif lainnya.
Anehnya, berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan tersebut tidak dapat meyakinkan bahwa beliau demikian adanya, karena menurut saya kala itu “wah gak bisa nih saya membuktikan beliau begini” batin saya kala itu, sampai akhirnya saya terus menikmati dan mencari terus mencari berbagai quotes, pernyataan, karya beliau dari berbagai potongan video pendek yang memuat semua karya dan buah pemikirannya hingga akhirnya suatu sore saya meng-upload 2 potongan video ke status whatsapp berdurasi satu menit, yang kemudian di tanggapi oleh seorang kawan “wahh nonton cak nun juga mas ? “ tanggapnya keheranan karena ndak ada potongan saat itu saya menikmati karya beliau. “iya nih kok relate ya pernyataan beliau dengan kondisi batinku” saat itu saya dalam kondisi batin yang sebut saja kering kerontang dalam keadaan yang terpenuhi segala hal, baik materi, ruang pergaulan, bahkan pintu pintu lain yang dianggap hebat oleh orang kebanyakan dan saat itu saya masih sebagai anak kampus tingkat 4 namun sudah dikelilingi hal tersebut namun masih saja merasa ada yang kurang.
Singkatnya percakapan kami di whatsapp tersebut berakhir dengan saya melajukan sepada motor saya ke kosan nya, yang saat itu bertepatan dengan rabu senja menjelang magrib dan melanjutkan percakapan bahwa bagaimana caranya untuk mendengar pengajian simbah yang saat itu banyak di pulau jawa, jogja, jombang, dan jakarta, terus iseng saya mempertanyakan “kalau di Lampung ada gak yaa”, “sebentar mas, sepertinya dulu saya pernah tahu kalau di lampung juga ada” dengan sigap ia mencari dan benar ketemu dia sebelumnya pernah masuk ke grup whatapp “JM Lampung” dan ternyata bertepatan malam itu sedang ada rutinan reboan, sekitar bulan agustus 2019, ia momen wabah covid sedang maraknya.
Setibanya disana, kami yang baru itu karena menganggap ingin mengaji atau belajar sesuatu niatnya, tentu akan memilih pakaian yang terbaik saat itu saya memakai kemeja panjang dan kawan saya menggunakan pakaian koko plus berpeci, sampai sana ternyata kami keliru yang datang kebanyakan hanya menggunakan kaos oblong, bahkan ada yang pakai celana pendek sembari rokokan dan menikmati kudapan plus kopi hitam yang pada akhirnya saya tahu namanya kopi nagasakti “biar sakti mas, makanya minum ini” kelakar kami selalu yang ditujukan pada orang baru kemudian atas kejanggalan tersebut saya berujar dalam hati tentunya “wah santai banget yaa, ini ngaji apa ? kok seperti ini” yang juga diaminkan kawan saya ketika pulang reboan, begitu terus polanya berangkat reboan jam 9/10 malam pulang ke kosan jam 2, di kosan kami tidak langsung tidur tadi mendiskusikan ulang berbagai hal yang tadi menjadi pembahasan atau sesuatu yang dianggap mengesankan sampai akhirnya tak terasa adzan subuh berkumandang dan begituu terus sama berabu-rabu selanjutnya, dan seperti tidak ada rasa bosan untuk membahas berbagai hal yang ada di maiyah itu.
Hingga akhirnya pada suatu reboan, Pakde Mus, orang tua kami, pakde kami guru kami yang senantiasa setia membersamai kami hingga larut malam padahal kalau boleh jujur ndak perlu beliau melakukan hal tersebut apalagi kalau mengingat beliau itu seorang akademisi, Guru Besar daan kiyai yang tentunya banyak masalah lain yang lebih penting beliau urusi ketimbang meladeni kami, sampai akhirnya kami tahu motif beliau tidak lain dan tidak bukan adalah murni membantu mbah nun “pakde ini tugasnya hanya ngewangi simbah, total ngewangi tanpa reserve, namanya ngewangi kadang dibutuhkan kadang tidak tapi pakde selalu siap sedia kalau Mbah Nun membutuhkan, dengan cara apa pakde ngewangi, ya ini dengan membersamai anak cucu maiyah yang ada di nusantara, pakde sambangi satu persatu, karena esensi utamanya maiyah ini kan paseduluran, cinta tanah air dan kebangsaan serta sodakoh pada Indonesia bukannya malah menjadi beban apalagi merugikan Indonesia” urai beliau panjang suatu waktu kepada kami.
Berbekal penjelasan tersebut kami di Lampung diajarkan untuk total nderek simbah, tanpa reserve bukan hanya karena motif ingin ketemu simbah, ingin salaman, ingin berfoto terus upload ke sosial media, sedikitpun tidak bahkan bagi kami sekedar hadir ke lokasi yang sama tempat maiyah ya ndak papa, datang dan tidur pun ndak papa juga yang penting energi nya sampai, yang penting sudah saling terkoneksi secara batiniah dan ruhani. Bahkan hingga detik ini saya belum berani, dan masih malu untuk mendekat ke mbah nun, mau salaman saja ragu, khawatir malah mengganggu aktivitas simbah, prinsip kami sekiranya kami bisa membantu kami bantu kalau ndak bisa ya minimal jangan merepotkan. Selamat Ulang Tahun Mbah ke-70, mohon maaf anak cucu mu belum mandiri dan berbuat banyak hal.