blank

Ada perangkat yang dipinjamkan Tuhan bagi kita manusia, yang dapat kita pergunakan ketika kita punya uneg-uneg, sampai pada tingkat pemikiran, ide, gagasan, maupun konsep. Mulai dari perangkat otak yang bisa diaktifkan untuk berpikir (ndak usah diperdebatkan otak fisik atau otak yang bisa menghasilkan pikiran), kemudian ada perangkat lain bisa berupa mulut yang dengannya pendapat bisa dibunyikan dan orang lain bisa memperdengarkan. Ada tangan bisa dipergunakan untuk nutul keyboard, keypad atau menggerakan pulpen, potlot, spidol yang bisa menggoreskan pendapat dalam bentuk tulisan. Pendapat bisa keluar dari siapapun, itu bisa pendapat yang ori dari hasil kontemplasi diri, bisa dari referensi ilmu pengetahuan yang dipelajari, bisa dari teori yang dikemukakan oleh ahli, bisa dirujukan dari pembicara yang pernah didengarnya, atau bisa didalilkan dari literasi yang dibaca.
Pendapat yang dikemukakan mungkin tidak berarti dan tidak pula membawa pengaruh untuk kehidupan mereka, atau mungkin bisa mempengaruhi kebijakan para pengambil keputusan di negeri ini. Paling tidak cukup membawa manfaat bagi dirinya sendiri karena puas dan plong bisa mengungkapkan pendapat , terasa lepas , apalagi ketika pendapat itu mengkritisi pihak lain yang mungkin tidak sesuai dengan situasi kehidupan masyarakat, kondisi yang berhubungan dengan kepentingan hajat hidup orang banyak. Pendapat kritis atas kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah sebagai contohnya. Pendapat dapat terekspresikan dari ucapan yang tertata dengan runtut , rapi, dan sopan, bisa saja dengan nada intonasi yang tinggi, menggebu, dan bisa saja dianggap provokatif, juga mungkin bisa keluar kata-kata sisipan yang oleh sebagian orang dianggap tabu, saru, tidak sopan, bahkan dianggap merendahkan dengan konotasi kata-kata seperti jiancuk, anjir, goblok, tolol, bodoh, dungu dan hajingan. Mungkin itu semua karena saking kesalnya, gemes, bahkan sudah saking keterlaluannya menurut prespektifnya. Satu sisi kata yang dianggap tidak sopan, di sisi lain seperti yang sering kita dengar di simpul-simpul maiyah menjadi sesuatu yang biasa saja karena memang bukan pada konteks kata tersebut tapi lebih fokus pada konten yang sedang menjadi tema dan frekuensi antara penyampai dan penerima dalam satu modulasi, resonansi kecintaan antara pembicara dan yang mendengarkannya. Belakangan juga sering terucap oleh Gus di jatim dengan ucapan senada ke audiensya “dasar tolol” tidak menjadi masalah besar sampai pada ketersinggungan dan atau ada yang mencari dalil untuk memperkarakan di depan hukum misalnya. Dan mereka enjoy saja, dan malah menikmati kata–kata horror tersebut.
Namun dewasa ini pendapat telah menjadi komoditas yang bisa menghasilkan pendapatan, channel dan medsos memberikan kompensasi dari konten-konten yang dihasilkan. Apalagi konten yang dapat dibilang masuk katagori viral, dan biasanya cenderung pada bahasan yang pro-kontra, pendapat dari tokoh terkemuka, publik figure, dan tidak sedikit menyajikan potongan-potongan pendapat/statement yang tidak utuh lagi, dan kebanyakan menjadi berita yang mudah diakses pada channel maupun medsos. Terlebih pada momen menjelang hajatan nasional seperti pilpres, pilgub, pileg sangat massif terjadinya perang pendapat, opini, yang saling serang, dan menimbulkan resistensi perpecahan, seperti lahirnya istilah-istilah yang merendahkan satu sama lainnya. Dan anehnya itu terpelihara dan konon bisa menghasilkan pundi-pundi pendapatan yang lumayan besar di kala itu, wallahu’alam. Itu adalah salah satu contoh dari pendapat berpendapatan yang negatif dan cenderung menghalalkan cara dan upaya.
Sebenarnya pendapat berbayar sudah ada lho, tahun ini sudah mulai geliat persiapan kompetisi untuk bisa menduduki jabatan di lembaga yang disana diantaranya berfungsi untuk mengumandangkan aneka pendapat dari berbagai bahasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka yang nantinya menjadi wakil-wakilnya rakyat adalah para penyampai pendapat/aspirasi masyarakat yang dibayar oleh rakyat dari pajak. Namun yang menjadi pertanyaan besarnya kenapa kadang pendapat – pendapat tersebut tidak muncul dari bibir meraka ketika banyak pihak, umpamanya ada aturan yang dirasa merugikan masyarakat, memberatkan rakyat, mengancam keharmonisan kehidupan manusia dengan alamnya, kepentingan kaum buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan sebagainya. Mengkritisi dengan berpendapat suatu kebijakan sebagai umpama justru banyak hiruk pikuknya ada di media media dan channel –channel medos, kadang antara yang pro dan kontra, antara follower yang dikritik dan pendukung yang mengkritik seketika jadi mahir dan lihai mengemukakan pendapat dan argumentasinya.
Jadi bagaimana sih idealnya? Kembali kepada perangkat yang dianugerahkan oleh Tuhan berupa hadware-software manusia sebagai media berpendapat sekaligus bisa merespon pendapat notabenenya pinjaman dari Tuhan, untuk dipergunakan disadari bahwa semua itu ada konsekuensinya dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Bahwa pendapat itu nantinya boleh jadi menghasilkan pendapatan itu Alhamdulillah, namun yang lebih utama adalah seharusnya sebagai manusia yang diberi rahmat kepekaan, terhadap kondisi lingkungan, masyarakat, kondisi sosial budaya, bahkan sampai pada tataran ekonomi dan politik yang sedang berlangsung sebaiknya kita bisa merespon dengan pendapat sesuai dengan perangkat pikiran kita agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mari tetap berpendapat dan terus menghasilkan pendapatan dengan apapun aktivitas yang kita lakukan.

Banyumanik, 05 September 2023
Wallahu’alam bishawab