blank

Begitu mendengar nama Mbah Nun dan Maiyah, bayangan pertama yang muncul dalam benak adalah pergelaran budaya. Perpaduan musik etnik yang dimainkan oleh kelompok Kiai Kanjeng dan penyajian kaul-kaul spiritual melalui syair atau orasi, diramu secara apik sehingga memunculkan kesan adem nan elegan. Baik. Tidaklah salah berpendapat demikian. Namun, perlu kita luaskan pandangan sedikit saja atas tafsiran itu. Kalau boleh menambahkan, saya punya pengalaman lain yang tidak hanya memaknai Mbah Nun dan Maiyahnya di kawasan permukaan. Sebab bagi saya pribadi, terlalu dangkal dan parsial jika pemaknaan yang kita lakukan tidak menyentuh aspek substansi, sikap dan pemikiran Mbah Nun, misalnya.
Saya merupakan anak cucu Mbah Nun yang tergolong telat mengenal pemikiran beliau. Padahal khazanah pemikirannya sudah mulai menggeliat sejak tahun 1977-an melalui esai kolom dan puisi-puisinya yang terbit di media massa kenamaan. Barulah ketika studi di Semarang pada 2015 lalu, lewat simpul Maiyah Gambang Syafaat, saya mengenal luasnya sikap dan keilmuan Mbah Nun yang diejawantahkan melalui orisinalitas perspektifnya. Kalau saya boleh menyebut, apa yang beliau lakukan dengan turun gunung, masuk ke pelosok desa, dan melingkar bersama simpul-simpulnya ini adalah upaya menyembuhkan persoalan di masyarakat yang kadung mengakar menggunakan “cara pandang baru”. Dekonstruksi kekinian lebih tepatnya.
Mbah Nun dalam menguraikan sudut pandang kepada anak cucu, selalu menggunakan perspektif dekonstruksi yang mungkin benar-benar baru bagi kita semua. Sependek pengamatan saya sebagai anak cucunya, amat sedikit yang mampu menangkap dan memprediksi pikiran-pikiran Mbah Nun tanpa meleset ketika menjawab permasalahan yang dilontarkan dalam sesi diskusi pada gelaran simpul Maiyah. Barangkali upaya inilah yang akhirnya menjadi daya tarik Maiyahan meski lamanya berlangsung tiga sampai empat jam, bahkan tidak jarang lebih. Kita sebagai anak cucu serasa disiram dengan air bersih nan segar di tengah-tengah ladang yang panas dan gersang. Efeknya, kita semua merasakan kesegaran dari pemikiran Mbah Nun.
Melalui Mbah Nun dan simpul-simpulnya ini, saya menemukan sebuah warisan ilmu yang begitu berkesan dan mengena dalam kehidupan. Satu dari sekian banyak ilmu itu adalah wawasan soal filsafat kebenaran. Dari Mbah Nun inilah kita sebagai orang awam diajak beranalogi lewat cara mengolah kebenaran menjadi sebuah hidangan. Gambarannya, jika kebenaran yang kita peroleh diolah menjadi hidangan yang punya cita rasa enak, perlakukanlah hidangan itu seperti hidangan-hidangan lain dengan menyajikannya kepada khalayak. Namun, apabila kebenaran yang kita dapat dan olah justru pahit atau tidak enak, lebih baik kita simpan rapat-rapat dalam lemari makan, sekalipun itu adalah sebuah hidangan yang tampilan dan toppingnya menggugah selera. Tentu kita sebagai masyarakat Maiyah sudah nyanthel betul perkara ini.
Kita diajak oleh Mbah Nun dan simpul-simpul Maiyah untuk belajar mengoptimalkan potensi diri sebagai makhluk yang filosofis. Menjadi manusia yang penuh pertimbangan, menyikapi permasalahan dengan keluasan pikir, mengobservasi suatu fenomena dengan teliti pun istiqomah, dan menghadapi anomali keadaan dengan kelembutan budi adalah sekelumit capaian belajar yang bisa diabstraksikan setelah kita melingkar sebagai masyarakat Maiyah. Lantas ada lagi ciri khas lain yang sering kita temukan pada setiap gelaran Maiyah, yang barangkali jika dikaitkan dalam pembelajaran formal di sekolah atau perguruan tinggi dikenal dengan Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar, Kampus Merdeka atau apalah istilah kiwarinya.
Sebelum diformalkan menjadi sebuah kebijakan, rasa-rasanya kemerdekaan dalam pembelajaran sudah diterapkan lebih duluan oleh masyarakat Maiyah. Kemerdekaan yang Mbah Nun kabarkan kepada anak cucunya di lingkar Maiyah ini memanglah sederhana; kemandirian. Namun, kalau kita punya ilmu khusus untuk mempraktikkan, kemandirian yang dalam kampus Maiyah dikenal sebagai kedaulatan koordinat, pasti bukanlah lagi barang yang murah. Ruang kemandirian tampaknya menjadi persoalan serius dan rumit bagi orang-orang kita hari ini. Kita bisa lihat, kemajuan teknologi sudah merangsek dalam sendi kehidupan sejak gelombang revolusi industri dunia mengemuka. Pemikiran manusia semakin menipis sebab kreativitasnya direnggut oleh software kecerdasan buatan. Kemandirian manusia pun mulai terkikis lantaran ketergantungan kita kepada alat kian meningkat.
Dalam periode ini, kita patut bersyukur sebab Mbah Nun dan simpul-simpulnya tetap eksis menjaga orisinalitas pemikiran masyarakat arus bawah dan menciptakan ruang kemandirian di tengah serbuan kecerdasan buatan juga modernisasi. Maka tak perlu dalam-dalam merisaukan dan mengkhawatirkan perihal gelagat perubahan dunia selama Mbah Nun, simpul Maiyah, dan anak cucunya melingkar untuk sebuah nilai kebersamaan. Terakhir, hal yang patut kita syukuri lagi adalah kini mursyid kita, simbah kita semua, yang menguatkan pikiran dan mentrigger ruang kemandirian pada diri masyarakat Maiyah, genap berusia 70 tahun. Terselip doa dari kami anak cucu: semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga dan melindungi engkau agar kami bisa ngekepi petuah-petuahmu, Ya Mursyiduna.
Pekalongan, 25/5/2023.