blank

Di malam sepulang kerja ini secercah kata terlintas untuk melintas menjadi paragraf, aku buka laptopku perihal Mbah Nun pun langsung terdreskripsikan di sepanjang lamunanku di depan layar. Tulisan ini kuketik dari hati yang terketuk.
70 Tahun adalah waktu yang tidak sebentar karya beliau meluber sampai ke hati masyarakat Kendal contohnya aku. Aku ingat sekali waktu pertama kali datang di majlis Maiyah di Kendal 2018 lalu, dari bahasa yang tidak hanya satu tapi menyesuaikan. Aku mulai cocok atas apa yang diajarkan. Mengingat Simbah adalah orang yang rendah hati sekali beliau selalu menjadi sugesti bahwa bersamanya adalah sebuah diskusi bersama bukan audien pasif. Beliau adalah fasilitator.
Aku adalah orang random yang mungkin saja Tuhan mempertemukanku dengan Majlis Maiyah untuk mengisi kerandomanku. Bukan saja perihal agama, diri ini juga perlu keduniawian seperti kesenian, aku suka seni modern dan seni tradisional dipertemukan. Terhadap Kiaikanjeng, kadang aku mikir kok semelengkapi itu sih.
Banyak yang berkata dunia itu tidak adil aku menjamah kalimat itu bahwasannya Tuhan memberikan sesuatu berdasarkan apa yang Tuhan berikan kepada diri kita seperti aromanya kopi, harum namun terlihat pekat serta pahit dan harus diberi gula. Aku ibaratkan seperti itu hatiku ketika duduk bersama anak Maiyah dan Mbah Nun. Serasa akrab sekali diri ini dengan Mbah Nun padahal yang aku sapa hanyalah fotonya heuheu. Aku selalu bermesraan dengan tulisanku sendiri lalu merenungi apa yang baru saja menyelinap di ruang sunyi.
Mbah…mungkin kita tak selalu jumpa, rinduku yang mengaga-pun mungkin akan tetap menganga. Dari pertama aku mengenal engkau, dawuhmu yang mengajarkan perihal sesuatu yang kecil tidak mungkin dapat dipahami dengan makna yang kecil juga yang sebenarnya makna itu berkepanjangan dan berkelanjutan. Mbah….aku sering bermimpi bertemu Simbah dalam artian rinduku hanya sebatas engkau yang di-Embahi seluruh anak Maiyah dan aku salah satu dari anak Maiyah itu. Berjabat tangan pun selalu ku mimpikan dalam ketenanganku yang sebenarnya hati berontak untuk bersalaman denganmu, Mbahh.
Setiap akan hadir dalam majlis Maiyah air matakulah yang mendahului sampai kesana Mbah, bukan ragaku, karena air mata untuk mencapai ketenangan adalah keteduhan. Ketenangan yang aku rasakan saat ini adalah ketenangan yang Tuhan ulurkan melalui engkau Mbah..
Mbah, …beberapa cinta yang sudah aku rasakan adalah berasal dari seonggok rindu yang tidak pernah terjeda karena ruang kosong Mbah, darimu aku belajar bahwa untuk menuju Habluminallah ada yang namanya Habluminannas, memanusiakan manusia. Darimu aku belajar mencintai sesama meskipun arti cinta sempurna adalah ke fleksibelan. Darimu aku belajar bahwa cinta tertinggi adalah merasakan welas asih kepada manusia lain.
Mbah…jika raga kita sulit untuk bertemu izinkan aku selalu membaca dawuhmu karena aku yakin, sebab engkau berkata sebab engkau menulis yang tertuang adalah dengan hati begitu pun putumu ini Mbah, selalu membaca dengan hati dan ke hati-hatian. Kata-kata yang selalu ku ingat kala lalu sampai sekarang adalah “Gaoleh putus asa rek ,ancene urip iku ngno masio lunyu kudu tetep menek,Gusti Allah iku penuh kejutan mulo ojo kagetan”, entah mengapa saat aku gagal dalam pekerjaan apa saja selalu kuyakini kalimat singkat itu yang membuatku tidak berharap lebih pada perjalanan akan tetapi merobek ruang negatifku pada Tuhan dan mengingat pada bait takdir yang telah sebagian ku susuri dalam hati “ini adalah bagian dari takdir dan usahaku”
Mbah,… mengenalmu adalah bagian hidup yang selalu aku syukuri di tiap detiknya, pelampiasan terbaik saat dihadang badai yang mungkin menenggelamkan adalah dengan mengenang wajahmu, selalu tiba-tiba mata ini basah ketika mengingat engkau tak lagi muda, engkau bagian dari orang tuaku Mbah…banyak sekali hajat yang aku ingin engkau menyaksikannya kebahagiaanku termasuk kelak saat aku menikah, mungkin ini terdengar konyol tapi ya inilah tulisanku ini tentang aku dan simbahku tentang kita. Mbah, banyak sekali karyamu yang sudah aku tengguk, tidak ada habisnya aku membaca bukumu dan syair-syair mu yang selalu mengiringi di setiap perjalanan hidupku.
Mbah,…jalan sunyi yang engkau ajarkan itu nyata, beberapa rasaku terbungkam di zaman yang kuat sekali arusnya. Aku harus mengikuti arus ini sedangkan aku belum paham betul dengan zamanku sendiri. Aku tertinggal, aku sibuk mencari jati diri sedangkan yang aku lihat mereka dengan enaknya mengembangkan diri. Aku bingung dengan diriku sendiri ah sudahlah banyak berpikir juga akan membuatku semakin menancap di dalam seperti pasak tenda.
Mbah…70 tahun hanyalah angka dan kuantitas raga namun aura dan kualitasmu tetap melalang buana menembus cakrawala semoga selalu diberi keberkahan dan kesehatan. Aku selalu berusaha meyakinkan bahwa apa yang aku mimpikan adalah apa yang bisa aku wujudkan. Dua hal yang aku sangat inginkan saat ini adalah duduk bersila dekat denganmu dan bersalaman, semoga tulisan ini sampai ke Simbah.