blank

Maiyatullah dapat diartikan sebagai “Kebersamaan Allah”. Menurut para ulama, Allah Swt memiliki sifat Maiyah yang artinya membersamai hamba-Nya. Kata “membersamai” disini bertujuan untuk mengingatkan dan menghibur manusia, bahwa Allah Swt tidak pernah membiarkan makhluk ciptaan-Nya dalam keadaan sedih maupun susah. Allah Swt juga tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya melampaui batas kemampuannya. Sebagaimana bunyi QS. At-Taubah ayat 40, yakni La Tahzan InnaAllaha Ma’ana yang artinya “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”. Dengan demikian, Maiyatullah Fill Ardhi mengandung makna bahwa Allah Swt senantiasa membersamai, menemani, dan mengawasi makhluk-makhluk ciptaan-Nya, baik yang bertempat di bumi maupun di langit.
Kesadaran Maiyatullah harus selalu ada dan harus senantiasa ditumbuhkan dalam diri setiap manusia khususnya seorang muslim. Dengan menyadari bahwa Tuhan selalu menemani dan mengawasi, seorang hamba akan terdorong melakukan hal-hal yang positif seperti perilaku amal ma’ruf nahi munkar. Konsistensi pengamalan perilaku tersebut akan menggiring manusia pada kesadaran tentang esensi dan eksistensinya di muka bumi. Sederhananya, merasa selalu ditemani dan diawasi Allah akan menuntun seorang manusia dalam menemukan peran, tugas, dan makna hidupnya di dunia, yakni munculnya kesadaran tentang alasan dan tujuan awal penciptaanya, yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Manusia sebagai Abdullah adalah hamba yang harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap segala aturan serta Ketetapan Allah. Sedangkan manusia sebagai Khalifatullah adalah seorang pewaris dan perintis yang diamanahi Allah untuk mengolah dan memakmurkan bumi.
Manusia sebagai Abdullah merupakan makhluk ciptaan Allah Swt yang pada dasarnya memiliki kelemahan dan banyak kekurangan. Ketidakmampuan manusia dalam melakukan dan mengontrol banyak hal, menjadi salah satu alasannya untuk mengakui dan mengabdikan diri kepada Entitas Tertinggi yang menciptakannya, yakni Allah Swt. Tugasnya sebagai Abdullah adalah menyembah dan berpasrah diri kepada Allah Swt. Menyembah dalam arti sempit berupa melaksanakan shalat, puasa, zakat, dll. Sedangkan menyembah dalam arti luas adalah kewajiban seorang hamba dalam menjaga hubungan baik kepada Allah (hablu minaAllah) dan melakukan hubungan sosial yang baik antar sesama manusia (hablu minannas).
Sedangkan manusia sebagai Khalifatullah, pada dasarnya adalah makhluk yang Allah ciptakan sebagai pemimpin di muka bumi. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi, “..Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menjadikan seorang khalifah (pemimpin) di muka bumi..”. Meskipun pada awalnya muncul kekhawatiran dan opsi kurang setuju dari pihak malaikat, yang kemudian disusul dengan penolakan dan tantangan iblis kepada manusia. Allah Swt sebagai Tuhan lebih Mengetahui apa yang tidak bisa dimengerti dan dipahami oleh malaikat dan iblis. Dengan Kebesaran-Nya, maka terciptalah al-ingsanuu fii ahsani taqwiim, yakni pemimpin di atas muka bumi yang mewarisi potensi internal dan eksternal. Tujuan penciptaannya adalah tunduk dan patuh kepada Allah serta mengemban tugas suci berupa memakmurkan dan melestarikan alam semesta beserta makhluk-makhluk di dalamnya.
Sepemahaman penulis, Allah Swt setidaknya telah mewarisi tiga komponen utama kepada manusia dalam memenuhi perannya sebagai khalifatullah, yakni 1) alat untuk mengelola, 2) bahan untuk dikelola, dan 3) referensi atau panduan mengelola. Pertama, adapun alat untuk mengelola yang dimaksud adalah unsur fisik dan unsur psikis manusia. Unsur fisik meliputi alat-alat empiris seperti tangan, kaki, mata, telinga, mulut, dan lain-lain. Sedangkan unsur psikis dibagi menjadi dua, yakni kecerdasan intelektual yang meliputi kemampuan berpikir, bernalar, berlogika, menganalisis, merumuskan, dll. Lalu kecerdasan emosional yang meliputi kemampuan mengenali, mengontrol, memotivasi, membina, dll. Kedua unsur tersebut saling terintegrasi dan terkoneksi satu sama lain. Unsur fisik membantu mewujudkan keinginan unsur psikis, sedangkan unsur psikis bertugas menerjemahkan persepsi dan memberikan respon yang diberikan oleh unsur fisik.
Komponen Kedua yang diwariskan Allah kepada manusia adalah bahan untuk dikelola, yakni kekayaan sumber daya alam baik yang ada di langit, bumi, dan laut. Kemudian komponen Ketiga adalah referensi atau panduan mengelola, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah legasi yang diwariskan Allah kepada seluruh manusia. Al-Qur’an merupakan Kalamullah yang memuat segala macam pengetahuan, baik pengetahuan yang ada di langit dan di bumi, maupun pengetahuan tentang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Al-Qur’an sebagai pedoman, panduan, atau referensi yang dapat digunakan manusia dalam memenuhi tugas ke-khalifahannya. Maka tidak heran apabila muncul banyak penemuan, ide-ide, dan rumpun keilmuan dari orang-orang hebat seperti ulama dan ilmuwan yang berangkat dari mempelajari dan menekuni Al-Qur’an.
Dengan demikian, sedikit kesimpulan penulis, bahwa Forum Maiyah yang didirikan oleh Emha Ainun Najib atau Mbah Nun merupakan Forum Maiyatullah, yakni salah satu wadah yang menjembatani upaya-upaya seorang hamba agar selalu ingat dan dekat kepada Allah Swt. Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa Allah Swt selalu Maiyah (menemani dan membersamai) hamba-hamba-Nya, maka akan muncul kesadaran tentang alasan dan tujuan awal penciptaan manusia, yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
Dengan menyadari perannya, maka segala potensi dan kekayaan alam yang diwariskan kepada manusia bukanlah digunakan untuk main-main dan mengejar dunia belaka. Sebagaimana setiap manusia pada dasarnya adalah seorang pewaris dan perintis yang diamanahi tugas suci untuk melestarikan dan memakmurkan bumi, serta akan dimintai pertanggung jawaban atas tugas yang telah dikerjakannya. Oleh karena itu, seluruh manusia hendaknya memanfaatkan segala potensi yang dititipkan dan memaksimalkan seluruh kemampuan yang ada ke arah yang positif. Wallahualam Bishawab.