blank

Ada perkataan Mbah Nun yang sampai hari ini saya pegang erat. Beliau berkali-kali berkata bahwa beliau hanyalah orangtua yang bisanya mengantarkan dan memberikan petunjuk jalan untuk anak-anaknya. Mbah Nun juga sering berkata beliau bukanlah siapa-siapa—tentu kita tidak setuju dalam hal ini. “Mengantarkan” kata yang sangat relate dengan pengalaman saya waktu menjadi kurir. Kurir tidak berhak terhadap paket. Tidak boleh membuka dan merusak bungkus paket. Tetapi, menjadi kurir harus paham medan serta arah tujuan.

Bagi saya, Mbah Nun seorang generalis seperti kurir yang tahu banyak hal tentang daerah, jalanan, bentuk paket, dan berbagai macam respon manusia ketika paketnya datang. Seorang kurir harus paham arah dan pemetaan daerah. Bahkan hapal gang-gang sempit untuk memperingkat waktu pengantaran. Tetapi, seorang kurir tidak tahu spesifik tentang salah satu dari berbagai hal tersebut. Mbah Nun berkali-kali menyuruh kita semua untuk menemukan dan menekuni keahlian masing-masing. Puluhan tahun keliling Indonesia, Mbah Nun mbombong hatinya para jamaah. Meladeni pertanyaan demi pertanyaan yang terkadang menjadi bahan ejekan jamaah lain. Kita semua tahu bagaimana detail setiap pengajian Maiyah berlangsung. Tetapi, pernahkah kita berpikir agak serius dikit bahwa kita bisa berguru kepada Mbah Nun sebagaimana sikap murid terhadap gurunya, dan tidak bisa menjadi persis sepertinya?

Usia 70 tahun—dari Emha menjadi Mbah Nun, bukan perjalanan hidup tanpa proses yang biasa-biasa saja seperti kita. Saya bilang bahwa Mbah Nun seorang generalis bukan berarti beliau tidak serius dalam mempelajari suatu bidang keilmuan. Kita tahu itu. Jurnalistik, sastra, teater, musik, dakwah, politik, dan masih banyak lagi predikat yang cocok disandang Mbah Nun. Setiap tingkat kesadaran akan selalu mendorong rasa keingintahuan ke tingkatan kesadaran berikutnya. Antara kajian ilmu satu dengan yang lain saling berhubungan. Belajar jurnalistik pasti berhubungan dengan sastra. Belajar sastra barangkali perlu untuk dikemas menjadi teater. Main teater juga harus paham instrumen musik. Api semangat belajar Mbah Nun ini masih menyala hingga hari ini.

Sedangkan kita, sebagai jamaah Maiyah malah terlena dengan kepuasan terhadap setiap kebingungan yang terjawab saat Maiyahan. Ya mau bagaimana, namanya juga jamaah. Toh, ada ribuan jamaah bermacam-macam setiap kali pengajian Maiyah digelar. Lantas, jamaah yang mana? Jamaah yang ketika ada acara lingkar Maiyah tanya di forum itu Mbah Nun hadir atau tidak lalu kita ledek habis-habisan? Saya tidak tahu prosentase tipikal jamaah yang seperti itu, tetapi sepertinya memang banyak. Kalau pun jamaah terpetakan dengan gamblang, mau ngapain juga sebagai sesama jamaah? Lha wong maiyahan itu enak kok. Masalah hidup seakan-akan hilang. Bisa canda-tawa, dan benar-benar merasakan ruh dari agama yang menjadi penyejuk hati yang gersang.

Maiyah memang oase, teduh, dan nyaman. Di sisi lain, tingkat kesadaran pentingnya pencarian cenderung berhenti di titik itu saja. Sehingga tukang batu bisa dengan pede-nya maido ahli sejarah, guru ngaji merasa seimbang dengan ahli ekonomi, atau bakul mendoan yang bisa menerka-nerka kewalian orang. Jujur, orang-orang seperti itu memang menjengkelkan. Parahnya lagi, banyak yang dari jamaah Maiyah. Hal seperti ini tentu berseberangan dengan dhawuh Mbah Nun yang berharap jamaah Maiyah mampu menemukan jati diri, dan keahlannya masing-masing. Analogi “tahu letak mata harus tahu letak hidung” tidak mampu dicerna jamaah dengan baik. Lagi-lagi namanya jamaah kok! Ribuan dan macam-macam pula.

Mbah Nun seringkali menaikkan rasa percaya diri jamaah agar kuat menghadapi kerasnya kehidupan ialah langkah yang tepat tetapi tidak diterima jamaah dengan cermat. Diumbulke dhuwur, nanging lali nek ora nduwé swiwi. Jika sudah tidak ada yang mbombong, kita akan jatuh terhempas ke tanah. Siapkah dengan kondisi itu? Setiap manusia bertambah usia. Mbah Nun dan kita sama-sama menua. Setiap diri kita haruslah menjaga bara api pencarian ilmunya masing-masing agar tidak mandeg di usia-usia muda.

Bagi saya, Maiyah ialah tempat membangun konstruksi berpikir. Ibarat mobil, Maiyah adalah kerangkanya. Nggak mungkin to kamu mengendarai Brook versi mobil? Tentu butuh sparepart dari beberapa bengkel. Maiyah itu bisa jadi pijakan untuk semua khasanah keilmuan. Membuka cakrawala berpikir tetapi tidak untuk menyelami dalamnya samudera. Jika kamu tertarik dengan apa saja yang disampaikan Mbah Nun dan pembicara di forum Maiyah, pelajari dengan serius karena ilmu membutuhkan struktur dan membutuhkan tahap-tahap yang harus dipelajari dahulu. Ilmu Titen seringkali dibanggakan jamaah Maiyah karena sentimen kebudayaan barat-timur—Nusantara ialah bangsa besar yang sudah mempunyai ilmu lebih tua dan lebih hebat dari barat, padahal ilmu Titen butuh struktur dan ora waton niteni.

Mencari ilmu juga tidak terbatas dengan profesi. Mau sopir belajar tentang saham, pedagang kelontong belajar politik, mahasiswa pertanian belajar jadi sales itu sah-sah saja dan bagus. Asal serius dan berguru dengan ahlinya agar tidak salah kaprah. Berguru dengan ahlinya saja sangat bisa salah kaprah, apalagi bukan dengan ahlinya.

Sekali lagi, benar kata Sudjiwo Tedjo, Maiyah memang oase. Tetapi Mbah Nun, bukanlah Mas Dukun seperti dalam surat pertamanya dalam buku Surat Kepada Kanjeng Nabi yang berjudul “Sakit Jiwa Sosial”

“Tetapi kadang kala tidak sedikit anak-anak muda mendatangi Mas Dukun untuk menyodorkan sesuatu yang sesungguhnya sama sekali bukan problem. Dia berkata tentang buntu, kosong, bingung, depressed, tetapi setelah digali bersama apa gerangan itu semua—ternyatalah bahwa faktor itu sebenarnya tidak cukup potensial untuk menindas mental mereka apabila saja terlatih untuk mendayagunakan akal sehat dan pengetahuan tentang pokok-pokok nilai kehidupan”