blank

Saya mendengar ibu-ibu bergunjing di pojok kampung, “Sebentar lagi bada ya…duh Ya Allah, jadi lebarannya? Mbok sudah puasa saja tidak usah lebaran. Jadi tidak usah membeli baju baru untuk anak, membeli sajian lebaran, kebutuhan banyak sekali”.

Dan ternyata saudara-saudara, doa-doa ibu-ibu itu terkabul. Lebaran nanti gerak dan ruang kita dibatasi. Kita tidak boleh mudik, dianjurkan untuk tidak bersilaturahmi ke sanak saudara dulu, dan segala keterbatasan lain. Tentang silaturahmi itu ternyata juga Allah mengabulkan keinginan manusia pada lebaran-lebaran yang lalu. Mentang-mentang sudah ada teknologi online sumua silaturahmi dilakukan dengan cara online. Cukup di rumah, kirim WA ke segala penjuru, vedio call dengan orangtua dan merasa sudah bersih dan terampuni. Sekarang ini oleh Allah melalui korona kita dibatasi sehingga mau tidak mau harus berdiam di rumah dan melakukan kunjungan online. Kecuali orang-orang yang kebal, dia akan masih tetap ke sana ke mari.

Melihat itu maka kiranya kita juga perlu menengok ke belakang, atas puasa-puasa kita pada waktu-waktu yang lalu sehingga Allah memuasakan kita melalui korona untuk hari ini. Apa mungkin korona itu juga keinginan kita yang dikabulkan oleh Allah.

Puasa artinya menahan, membatasi atas kuasa yang kita miliki. Pada bulan ini kita tidak boleh melihat hal-hal yang seharusnya tidak boleh di lihat, tidak boleh mendengar yang tidak elok didengar, mengucapkan kalimat-kalimat kotor yang menyakiti saudara kita. Bahkan pada bulan suci ini tidur itu merupakan ibadah. Karena lebih baik kita tidur dari pada melakukan hal-hal tercela. Jika bangunmu maksiat maka tidur adalah sebaik-baiknya perbuatan. Namun lebih baik bangun dan melakukan hal-hal baik. Hal baik ya bukan merasa baik apa lagi dipamerkan, ini bisa menjadi jebakan. Namun bukan berarti dibulan yang lain kita boleh culas, menipu, dan menindas. Bulan ini adalah laboratorium, ini adalah pembiasaan yang akan dipraktikkan pada bulan yang lain.

Puasa yang seharusnya membatasi itu kemarin kita gunakan sebagai area untuk berfoya-foya. Menu buka kita yang mewah di meja makan itu kita foto, kita unggah di media sosial, dan segala perilaku lainnya.

Tontonan di TV isinya gurauan belaka. Isinya orang tertawa tidak mengnal waktu. Dari sebelum subuh hingga subuh lagi. Entah apa yang dipikirkan tentang puasa itu. Mungkin niat mereka menemani orang berpuasa dengan gojekan agar laparnya tidak terasa. Padahal puasa tidak hanya masalah lapar.

Biasanya puasaku dan mungkin juga puasamu adalah saat reonian dengan melakukan buka puasa bersama setiap hari. Senin dengan teman kantor, Selasa dengan teman kuliah, Rabu dengan yang lainnya dan yang lainnya? Apa kah benar itu buka puasa? Karena ternyata minuman disruput sebelum waktu berbuka, karena ternyata rokok disulut sebelum adzan dikumandangkan. Setelah makan pada waktu magrib itu dilakukan, ternyata tempat salat yang sempit di rumah makan itu tidak cukup mampu menampung orang yang mau melaksanakan salat magrib. Salat magrib ditinggalkan. Sempurna sudah kita meremehkan Allah, sempurna sudah kita mempermainkan Allah dengan senyum dan kepuasan.

Padahal waktu puasa ini adalah waktu yang diminta Tuhan hanya mengarah kepadaNya. Allah cemburu jika perhatianmu berpaling pada kebendaan yang remeh, pada mimpi-mimpi yang sungguh sangat remeh di mata Allah. Betapa kita telah melakukan hal-hal yang tidak sopan kepada Allah. Iya benar Allah maha pengampun, namun bukan dengan alasan itu kita boleh mempermainkanNya.

Pada waktu kemarin, bagi penjual ini adalah waktu untuk berdangang sepuas-puasnya, ini juga waktu untuk menunjukkan hasil perjuangan selama setahun kepada tetangga bagi para perantau. Kemudian saat malam takbiran kita tunjukkan keponggahan kita, kesombongan kita dengan bertakbir dan berjoget, betelanjang dada, diiringi musik remik, membunyikan petasan, berkelahi, dan mabuk. Puaskah kita dengan perilaku begitu? Kita tidak pernah berpikir Alllah tersinggung. Kita tidak pernah merasakan jika Allah marah bagaimana? Alam dan segala isinya ini ciptanNya, dan kita tidak sopan berbuat segala sesuatu di atas ciptanNya itu. Kemudian korona datang, apakah kita tidak malu kepada Allah meminta korona itu dicabut setelah perbuatan bejat kita di masa lalu itu? Setelah memalingkan padangan kita ke arah dunia, ke video porno, ke jabatan, ke kekuasaan, ke room karaoke, dan seolah-olah Allah tidak melihat?

Perilaku-perilaku itu jauh dari kata membatasi. Menahan dalam puasaku kemarin-kemarin hanyalah menahan lapar dan dahaga, itu pun pada siang hari. Sedangkan menahan yang lain, seperti menahan itu tidak mempermainkan timbangan saat berdagang, tidak menyakiti sesama dengan pamer, berkata kasar, masih saja kita lakukan.

Maka hari ini Allah memuasakan/menahan/mebatasi kita melalui korona. Allah memang maha memuasakan, Dia maha membatasi dengan segala caranya karena sesunguhnya kuasa yang sedang kita genggam ini adalah miliknya dan akan Dia batasi atau Dia cabut sekehendak diri Nya. Ampuni kami ya Allah.