blank

Jumat, 10 Mei 2019, sekitar pukul 10.00 WITA, saya diantar Ramli Rusli dan Rahmat Muchtar menuju rumah Amma Cammana. Ya, maestro rebana di Mandar yang kerap kali disebut-sebut oleh tak sedikit orang yang saya jumpai di Mandar. Amma Cammana pun disebut orang-orang sebagai ibundanya Emha Ainun Nadjib di Mandar (Mbah Nun). Saya berboncengan dengan Ramli Rusli, saya yang mengendarai di depan. Sebab, Ramli Rusli tak bisa mengendarai sepeda motor. Sedangkan Rahmat Muchtar berkendara sendirian.

Kami berangkat dari Sanggar Uwake’, yang tak lain juga rumah tinggal Rahmat Muchtar. Kami bergerak melewati gang-gang kecil dari perkampungan Tinambung hingga menuju ke rumah Amma Cammana, di Limboro. “Amma Cammana tinggal di Desa Limboro, Kec. Limboro, Kab. Polewali Mandar. Sebuah kampung yang sangat dekat dengan Sungai Mandar. Sekitar 4 km dari Tinambung, atau 290 km arah utara jika ditempuh dari Makassar,” begitu ungkap Rahmat Muchtar, dalam perjalanan kami.

Yang memang begitulah, meski dalam perjalanan mengendarai sepeda motor. Sesekali kami masih bisa mengobrol. Jalanan tak ramai, barangkali hanya dikuasai kami bertiga. Meski sesekali jalanan agak susah dilewati, terjal dan penuh bebatuan yang setiap saat bisa menjatuhkan siapa saja yang lewat, yang kurang sepenuh mengendalikan sepeda motornya.

Begitu tiba di rumah Amma Cammana, selepas kami memarkir sepeda motor, saya langsung diajak naik, masuk ke rumah. “Mari lekas masuk, Naka..” begitu ajak Rahmat Muchtar kepada saya, Ramli Rusli pun mengikutinya.

Ya, saya telah sampai di rumah tinggal Amma Cammana, sang maestro rebana yang begitu dikenal di Mandar ini. Amma Cammana berusia sekitar 82 tahun. Ia merupakan seorang seniman rebana perempuan, yang mengalir darah seni dari bapak dan ibunya. Keduanya juga seorang seniman.

Saya ingat, dari dokumentasi Muhammad Ridwan Alimuddin, ya, seorang penulis muda Mandar yang begitu gigir mencatat dan mendokumentasikan Mandar itu. Darinya saya ingat, bahwasanya Amma Cammana lahir di salah satu “empat negeri besar” (Appe Banua Kaiyyang) yang membentuk Kerajaan Balanipa, yakni Samasundu, pada 1944. Bapak Amma Cammana seorang seniman Mandar, beliau bernama Dzani. Bapaknya, selain sebagai pemain rebana, juga pemahat batu nisan, guru pencak silat, guru tasawuf, dan mantan juru tulis kepala kampung. Bapaknya Amma Cammana meninggal 1987. Ibunya bernama Joe, seorang pemain kecapi, guru mengaji, dan guru spiritual. Wafat tahun 2003. Segala itu menjadi bukti betapa darah seniman yang mengalir dalam diri Amma Cammana tak lain adalah dari darah seniman kedua orangtuanya.

Amma Cammana keluar dari kamarnya. Kami menyalaminya. Lalu kami disilakan untuk duduk. Ya, rumah panggung yang ditinggali Amma Cammana, seseorang yang tampak sudah begitu tua itu. Namun seakan menyimpan energi besar, semangat besar pula. Tampak saat ia menjumpai kami. Menjumpai saya, yang katanya dalam bahasa Mandar, “Meakke’ lai’ di Jawa, sisa-sisatta’ tada’ dini di Mandar? Ndangi tau marakke’?” begitu kata Amma Cammana menyambut kedatangan saya. Kemudian, diterjemahkan Ramli Rusli, “Datang jauh-jauh dari Jawa ke Mandar ini sendirian? Tidak takut?”

Saya pun tak begitu banyak bercakap atau bertanya kepada Amma Cammana. Sebab beliau dalam sehari-hari bercakap-cakap dalam bahasa Mandar, termasuk juga kepada tamunya yang berasal dari luar Mandar. Maka hanyalah saya menyimak perbincangan Amma Cammana dengan Ramli Rusli dan Rahmat Muchtar semata. Sambil sesekali di antara mereka berdua ada yang menerjemahkannya untuk saya. Namun tidak selalu begitu, mereka seperti orang-orang Mandar lain yang kerap saya jumpai, saat sudah saling berbahasa Mandar, maka dilupakanlah saya. Mereka asyik sendiri menggunakan bahasanya. Dan saya, melongo semata. Ah, begitulah.

Saya pun menyaksikan, betapa yang dikatakan kawblan-kawan sebelumnya memang benar. Amma Cammana memang benar adanya, beliau adalah ibunda dari Emha Ainun Nadjib di Mandar. Bahkan ada orang Mandar yang bilang, bahwasanya Emha Ainun Nadjib adalah orang Mandar yang lahir di Jombang. Begitulah. Dan saya menyaksikan sendiri, dengan mata kepala saya sendiri. Foto-foto Emha Ainun Nadjib terpampang di sudut-sudut ruang, di dinding-dinding rumah tinggal Amma Cammana. Penuh. Tidak hanya satu foto. Ada yang sendirian, ada yang berfoto bersama Amma Cammana, ada pula bertiga, ditambah dengan istri Emha Ainun Nadjib pula, Bu Novia Kolopaking.

Sempat pula ada kisah, yang saya terima dari kawan Mandar. Sempat suatu ketika, Emha Ainun Nadjib singgah ke rumah Amma Cammana. Mereka berdua bertemu, katanya, mereka saling menangis. Mereka tak bercakap, namun saling menangis. Entah bagaimana komunikasi mereka berdua, tak ada yang tahu. Barangkali menggunakan bahasa lain, yang tak dijangkau orang biasa. Sebab, mereka saling menangis. Tentu sudah sangat jauh perbincangan dan perjumpaan batinnya.

Begitu pula saat ini, saya lebih banyak diam. Mendengar percakapan, perbincangan, candaan yang saya raba-raba dari Amma Cammana, Ramli Rusli, dan Rahmat Muchtar. Amma Cammana tak berbahasa Indonesia, ia berbahasa Mandar. Saya hanya mampu meraba, dan sesekali memasuki atas terjemahan bebas yang disampaikan oleh Rahmat Muchtar atau Ramli Rusli. Sudah begitu.

Saat kami duduk bersila di rumah tinggal Amma Cammana, saya kembali teringat satu-satu peristiwa yang sempat dikisahkan beberapa teman di Mandar. Sebelum perjumpaan, sebelum singgah saya ke rumah tinggal Amma Cammana ini. Ya, saya ingat, saat itu saya bersama Muh. Dalif, ia mengatakan, bahwa Amma Cammana terkenal disebabkan parrawana perempuan di Mandar tidaklah sebanyak parrawana laki-laki, yang jumlahnya mencapai ratusan. Cammana dikenal unik pula sebab beliau memiliki suara yang khas. Dan juga, beliau diyakini masyarakat memiliki kemampuan supranatural.

Muh. Dalif, pun sempat berhari-hari lamanya mengamati segala yang dilakukan Amma Cammana. Ia tinggal, menginap di rumah Amma Cammana kala itu. Saat kebutuhan riset, yang juga didokumentasikan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin itu. “Jadi kalau saya amati, dalam kegiatan 24 jam Amma Cammana itu. Saat itu, saya hitung mulai jam 5 sore. Saat itu, sore hari itu menurutnya ada perubahan suasana yang ada. Maka beliau selalu tidak pernah lepas untuk melakukan ritual tola bala. Amma Cammana membakar dupa, sabut kelapa di bawah tangga menuju masuk rumahnya. Itu terus yang dilakukan setiap hari begitu. Kemudian, beliau melanjutkan salat magrib. Saat menunggu salat, ia menggunakan waktu menunggu untuk bersalawat dan zikir. Dan saat salat Magrib atau selepas salat Magrib, kalau ada tamu ya menunggu beliau sampai benar-benar selesai. Karena kalau beliau sudah memasang mukena, sudah duduk, bersimpuh, memegang tasbih. Ya tak bisa diganggu. Dan selepas salat Magrib, kalau tak ada tamu, maka beliau tak pindah posisi. Masih di tempat salat itu, hingga waktu salat isya tiba.”

Saya ingat pula yang disampaikan Muh. Dalif, seorang seniman muda dari Sanggar Sossorang itu, bahwasanya Amma Cammana setiap malam jumat selalu membaca surah Yasin dan melakukan ritual tolak bala. Didapati pula makanan dan sesajian yang datang dari mana-mana. “Bahkan saat saya di sana, saat hendak pulang, saya kerap diminta untuk bawa jajanannya. Banyak pula yang saya bawa kala itu. Kemudian kalau jam 9 malam, jika tidak ada tamu. Maka Amma Cammana gunakan untuk istirahat. Meski sebelum tidur malam, tak lupa beliau memakai ramuan tradisional tepung. Kemudian sebelum tidur, beliau selalu menyanyikan lagu-lagu Mandar. Lalu tidurlah beliau, dan akan terbangun lagi pada jam 1 atau jam 2 malam, dini hari. Beliau kemudian melakukan salat tahajud. Saat salat tahajud itu, bukan berarti dilakukan untuk pribadinya saja. Namun beliau juga tak lupa mendoakan untuk seluruh umat Islam yang cinta kepada Rasul,” begitu kata Muh. Dalif.

Menurut keterangan Muhammad Ridwan Alimuddin, dalam dokumentasinya, bahwasanya Amma Cammana seperti seniman-seniman Mandar lainnya, misalnya pakkacaping, paccalong, parrawana (laki-laki), Cammana juga dibesarkan dan makan asam garam berkesenian dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung. Cammana lebih menyukai bermain di rumah, alasannya lebih bebas dan lebih berkonsentrasi. Bila di panggung ada batasan waktu, tak bisa ngobrol lepas.

“Parrawana perempuan biasanya dimainkan 4 sampai 7 orang. Pertunjukan umumnya umumnya diadakan malam hari, di atas rumah yang melakukan hajatan, misalnya perkawinan, sunatan, dan peresmian rumah baru. Umumnya parrawana diundang untuk pemenuhan nazar si pelaksana hajatan. Syair lagu parrawana berisi kisah-kisah keagamaan dan nasihat,” kata Muh Dalif kala itu, saat kami jumpa malam-malam, selepas santap buka puasa di sebuah warung makan di Mandar.

Amma Cammana diketahui telah dua kali menikah. Suami pertama bernama Kandrasari. Darinya lahir putri bernama Hasna. Hasna dan anak-anaknya sering menemani Cammana pergi bermain rebana. Sepeninggal suami pertama, Cammana menikah dengan Nurdin. Lahirlah Nurmuah (alm), Sahapiah, Najamuddin, dan Dahlan. Dari 13 cucu dari suami kedua, enam di anataranya telah bisa memainkan rebana. Yang lain belum karena terhitung masih kecil. Cammana mulai bermain rebana pada usia 9 tahun, saat berada di daerah pengungsian di mana pemberontakan DI/TII yang di wilayah Mandar dipimpin Andi Selle dengan pasukan 710-nya.

Saya, Ramli Rusli, dan Rahmat Muchtar tak begitu lama saat berkunjung ke rumah Amma Cammana. Karena pula, ini saya manfaatkan sebagai upaya perjumpaan tubuh secara langsung kepada Amma Cammana sendiri, kepada rumahnya, serta kepada apa saja yang melingkupinya. Selepas beberapa kali saya dikisahkan tentang Amma Cammana oleh beberapa kawan-kawan Mandar. Ya, waktu memang terus bergerak cepat, melampaui siapa saja yang membayangkan apalagi yang mencoba untuk menghentikan. Kami pun harus bergegas pamit. Sebab hari sudah siang, dan hari itu hari Jumat. Sebentar lagi akan menginjak waktu salat Jumat. Akhirnya kami pun lekas berpamit, kepada Amma Cammana. Ya, sang maestro rebana di Mandar, yang telah mendapatkan beberapa penghargaan. Di antaranya, Anugerah Sipakaraya yang didapat pada 27 September 2009, Tipalayo Award yang ia terima pada 28 Desember 2009. Kemudian, Piagam Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan yang diperoleh pada 27 Maret 2010.[]

*Tulisan ini dikerjakan saat mengikuti Residensi Sastrawan Berkarya 2019 Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud di Polewali Mandar Sulawesi Barat.