blank

Rintik hujan sudah membasahi area Masjid Baiturrahman, Semarang sejak sore. Para penggiat Gambang Syafaat tetap fokus menata panggung, lampu, sound system dan pernak-pernik lain. Pada kali ini, persiapan acara sinau bareng yang berbeda dari sebelumnya. Pada bulan ini, 25 Desember 2019 bertepatan dengan milad Gambang Syafaat yang ke-20. Usia yang tidak lagi anak-anak.

Kegiatan malam itu diramaikan dengan penampilan Wakijo Lan Sedulur (WLS) dan Ki Ageng Qithmir dari Pati. Malam istimewa itu juga menampilkan kepiawaian Gus Aniq dalam berolah vokal di atas panggung. Beliau dan Ki Ageng Qithmir sukses membawakan beberapa nomor lagu dan menghidupkan semangat jamaah di awal acara.

Perwakilan dari beberapa simpul Maiyah turut hadir meramaikan, di antaranya: Mas Hilmi (Juguran Syafaat), Mas Edi (Paseban Majapahit), Mas Anam (Tadarus Limolasan) dan Mas Eko (Suluk Pesisiran). Dipandu Mas Yunan, para tamu tersebut dipersilahkan untuk menyampaikan sesuatu berkaitan milad Gambang Syafaat. Ada yang menyampaikan kekaguman terhadap keistiqomahan Gambang Syafaat dalam menyelenggarakan sinau bareng setiap bulannya. Tidak lupa juga doa untuk para penggiat agar tetap istiqomah dalam menyelenggarakan sinau bareng.

Tidak main-main, para penggiat Gambang Syafaat juga konsisten dengan janji mereka: setiap milad akan menyiapkan ambengan sebanyak angka ulang tahunnya. Malam itu disediakan dua puluh ambengan. Sebuah tumpeng juga dibawa ke atas panggung. Pak Ilyas berkesempatan memotong tumpeng tersebut. Potongan pertama diberikan pada vokalis WLS selaku ketua persiapan milad Gambang Syafaat kali ini. Selanjutnya Mas Wakijo memberikan potongan tumpeng pada seorang jamaah cilik yang hadir. Penyerahan potongan tumpeng menjadi simbol dan harapan, semoga Maiyah bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. Maiyah bisa bertahan di bawah tekanan era globalisasi yang kian menggila dan kompleksitas permasalahan bangsa yang kian runyam. Jamaah juga menikmati ambengan dan tumpeng yang sebelumnya telah didoakan oleh Habib Anis.

Kang Hajir yang menjadi moderator acara menceritakan pengalamannya ketika awal bergabung dengan Gambang Syafaat. Kisaran tahun 2010 beliau dulunya hanya diajak teman untuk menggelar tikar setiap sore sebelum kegiatan. Kemudian makin hari makin merasakan cinta dan hingga akhirnya istiqomah untuk selalu hadir dalam acara. Bahkan sekarang, beliau dan beberapa sahabatnya juga telah memulai kegiatan Maiyahan di Demak yang bernama Kalijagan. Beliau juga bercerita bagaimana sulitnya proses persiapan penyelenggaraan Gambang Syafaat tiap tanggal 25. Para penggiat harus menyiapkan tema, membuat poster, reportase, menata panggung, membersihkan sisa-sisa kegiatan dan hal-hal teknis lain.

Momen yang cukup langka. Pada malam itu jamaah diperkenalkan dengan Bang Monty. Tokoh di balik setiap pembuatan poster-poster online kegiatan Gambang Syafaat. Desain poster yang selalu memukau dan menarik jamaah lahir dari tangannya. Ada yang menarik dalam pembuatan poster kali ini. Sebenarnya Bang Monty ingin membuat ilustrasi perahu atau kapal untuk gambar poster. Namun di tengah pembuatan dia tertidur. Dalam tidurnya Bang Monty bermimpi berada di suatu tempat dan melihat arak-arakan anak remaja berpakaian serba hitam sembari bersholawat. Di tengah mereka ada sosok yang tidak asing, Mbah Nun dengan pakaian putih menghampiri. Anak-anak remaja tersebut membawa benih pohon jati di tangan. Sehingga akhirnya ilustrasi gambar di poster diganti dengan benih pohon jati dan dua orang yang terlihat sedang merawat.

Mas Rizky, Koordinator Region 3, menyampaikan, informasi tentang hasil dari silaturahmi nasional antar pegiat yang dilaksanakan di Semarang awal Desember lalu. Silatnas kemarin salah satunya membahas tentang fadhilah atau bakat. Setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing. Masing-masing penggiat juga memiliki tugas atau perannya masing-masing. Satu sama lain harus saling melengkapi agar dapat mengelola simpul dengan baik. Terbukti hingga sekarang jumlah simpul Maiyah semakin bertambah. Bahkan, ada juga lingkaran-lingkaran di luar simpul yang tidak terdeteksi, ikut bermunculan. Agendanya tetap sama, saling berdiskusi dan bertukar pikiran untuk menciptakan kebaikan.

“Maiyah tidak seperti gerbong-gerbong yang ditarik oleh lokomotif,” ucap Mas Rizky. Menurutnya Maiyah itu seperti aliran sungai yang selalu didorong oleh mata air. Mata air tersebut adalah para Marja’ yang setia menemani jamaah setiap malam. Perkembangan jamaah Maiyah juga meningkat cukup besar. Tujuh puluh persen didominasi generasi mileneal yang memiliki karakter berbeda-beda.

Pak Saratri menjadi pemantik awal sinau bareng dengan tema “Maiyah untuk Anak Cucu.” Beliau juga menjadi saksi hidup keistiqomahan Gambang Syafaat dalam menyelenggarakan Maiyahan. Profesor salah satu universitas di Semarang tersebut dulu sangat aktif menulis tentang Maiyah. Gambang Syafaat bisa bertahan hingga sekarang karena sesama penggiat selalu saling menguatkan. Di Maiyah tidak ada guru atau murid. Semuanya melingkar dengan status yang sama seperti simbol Maiyah, huruf hijaiyah ‘nun’. Ada sembilan prinsip di Maiyah yang selalu dipegang beliau: 1. Cinta segitiga ( kita, Allah dan Rasulullah); 2. Mentauhidkan kebudayaan; 3. Tahu mana yang primer dan sekunder (makanan utama dan lauknya); 4. Tahu manfaat dan mudarat; 5. Meninggi dan meluas; 6. Baik, benar dan indah (harus ada dalam setiap tindak tanduk seseorang); 7. Peradaban yang melingkar (semua akan kembali ke Allah); 8. Tahu bedanya cara dan tujuan; dan 9. Perniagaan dunia dan akhirat. Sembilan prinsip ini harus dipahami oleh jamaah Maiyah.

Hanya di Maiyah di mana tema kegiatan tidak formal dan terkesan ‘nyeleneh’. Tema yang diangkat selalu singkat, padat, dan mengejutkan. Begitu pendapat Gus Aniq ketika awal berkenalan dengan Maiyah. Tema-tema panjang yang sering digaungkan di acara formal seperti seminar, workshop dan sebagainya tidak berlaku di Maiyah. Gus Anis memberi contoh misalnya tema, “Kere Hore’, “Ggelombang Gela” dan “Gelombang Kreativitas”. Tema-tema di Maiyah selalu mencuri perhatian bagi mereka yang belum terbiasa. Maiyah adalah organisme bukan organisasi.

Berbeda dengan Om Budi. Pengalamannya berkenalan dengan Maiyah ketika dulu rutin hadir menjadi jamaah, duduk di belakang menikmati acara dengan keluarga. Om Budi sangat tertarik dengan interaksi antara jamaah dan narasumber. Hatinya sangat senang ketika mendengar pertanyaan dari jamaah tentang kesulitan hidup yang dihadapi. Setiap pertanyaan dijadikan bahan mawas diri, bahwa ternyata masalah yang tidak seberapa bagi dirinya bisa menjadi masalah besar bagi orang lain. Beliau mengungkapkan konsep persatuan tanpa kesatuan. Indonesia harusnya bersatu bukan menyatu. Bagaimana mungkin?

Om Budi menguraikan bahwa persatuan itu seperti satuan, satuan, dan satuan yang berkumpul menjadi satu. Sifat dan karakternya tidak berubah. Hanya saja saling melengkapi dengan karakter yang dimiliki. Sementara konsep kesatuan seperti satuan, satuan dan satuan yang menyatu menjadi satu. Karakter yang dimiliki melebur menjadi sebuah karakter baru. Hasil campuran dari tiap satuan tadi.

Jika boleh mengasumsikan, persatuan itu ibarat huruf A, B, C, D dan E kemudian berkumpul menjadi; ABCDEF. Sifat atau keunikan tiap komponen tetap dibawa dan tidak berubah. Perbedaan-perbedaan yang ada masih tetap dipertahankan. Sementara kesatuan merupakan campuran huruf A, B, C, D dan E yang melebur menjadi F, misalnya. Sehingga muncul karakter baru yang berbeda dengan karakter sebelumnya. Sangat sulit untuk menerapkan kesatuan di Indonesia yang memiliki beragam perbedaan. Beliau berpesan agar jamaah selalu menjadi orang yang memanfaati bukan memanfaatkan orang lain. Beliau mencontohkan hubungannya dengan Pak Saratri. Jika memanfaatkan artinya fokusnya Pak Saratri harus bermanfaat untuk Om Budi. Di sisi lain, memanfaati fokusnya lebih kepada bagaimana caranya Om Budi agar bermanfaat untuk Pak Saratri.

Pak Ilyas, sesepuh di Gambang Syafaat yang dikenal dengan bahasa khasnya yang ‘kasar’ tapi menghibur, ikut membagikan pengalamannya bersama Gambang Syafaat. Beliau menceritakan bagaimana di Maiyah jamaah dilatih untuk menjadi manusia baru. Maiyah mengajarkan apa yang tidak diajarkan di ruang kelas. Mengajarkan hal baru yang tidak diberikan di lingkungan formal. Jamaah diajarkan tentang keseimbangan. Bukan menelan informasi mentah-mentah, melainkan meneliti sendiri dan dapat mengambil keputusan tanpa dipengaruhi pihak lain di luar dirinya. Misalnya perdebatan ‘bahaya merokok’. Ada yang memperbolehkan dan ada yang mengharamkan rokok. Jamaah Maiyah diajarkan untuk mencari dan merasakan sendiri serta mengambil keputusan paling bijak yang tidak diintervensi oleh siapa pun.

Siapa pun boleh datang di Maiyah. Bahkan beliau mengambil contoh seorang jamaah muda yang duduk di depan panggung. Dia fokus mendengarkan meski hanya mengenakan kaos dan celana panjang yang kainnya berlubang di bagian betis. Hanya di pengajian Maiyah siapa pun bisa diterima. Tanpa melihat pakaian, status atau latar belakang lain. Meskipun tinggal di Salatiga, Pak Ilyas tetap istiqomah untuk selalu hadir menemani jamaah di Semarang.

Habib Anis menjadi pemantik terakhir malam itu. Menanggapi beberapa pertanyaan jamaah yang hadir memadati area parkir Masjid Baiturrahman. Menurut Bib Anis masalah terbesar masyarakat Indonesia atau dunia saat ini adalah keluasan hati. Bagaimana fenomena kecil seperti pengucapan Selamat Hari Natal kepada saudara kristiani menjadi permasalahan yang sampai sekarang belum terselesaikan. Pihak A menyalahkan pihak B karena mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada umat kristiani yang bisa mencemari akidah Islamnya. Pihak B menyalahkan pihak A karena dinilai tidak toleran kepada non muslim dan menciderai makna Islam itu sendiri.

Banyak umat muslim di Indonesia saling menyalahkan. Muslim penganut mazhab tertentu membenci muslim penganut mazhab lain. Ketika dua orang dari dua kelompok Islam saling menyalahkan suatu pendapat atau fatwa. Dia bukan hanya menyalahkan orang tersebut dan kelompoknya, tapi juga menjelekkan ulama yang mencetuskan fatwa tersebut. “Kebencian muncul dari hilangnya empati,” kata Habib Anis.

Habib Anis adalah sesepuh yang menemani Gambang Syafat ketika dalam kondisi kritis. Artina, Gambang Syafaat yang saat itu ditinggal banyak penggiat, juga beberapa orang yang dituakan, dan jamaah. Beliau pernah merasakan berbicara dan hanya didengarkan oleh jamaah yang jumlahnya bisa dihitung. Saat itu Cak Nun juga hadir. Berbeda dengan sekarang di mana jumlah jamaah semakin meningkat.

Semua itu adalah berkah dari laku istiqomah menjalankan simpul. Jumlah jamaah yang terus bertambah merupakan bonus. Yang terpenting adalah keistiqomahan kita menyebarkan nilai-nilai Maiyah. Alhamdulillah, Gambang Syafaat sudah memasuki usia 20 tahun. Selama puluhan tahun itu, simpul ini terus menyebarkan nilai dan ilmu Maiyah. Sebuah perjalanan yang tidak pendek. Maka dari itu, malam itu, kita mensyukuri perjalanan Gambang Syafaat selama ini. Sembari tetap mengeveluasi kekurangan pada masa berlalu dan memerbaikinya pada masa mendatang.