blank

Anjuran Mbah Nun kepada semua simpul Maiyah di seluruh Nusantara untuk menggelar workshop berkaitan dengan tema ”Manusia Pasar, Manusia Nilai, dan Manusia Istana” menjadi kesempatan berharga mengorek lebih dalam pemikiran jamaah Maiyah. Dari workshop singkat itu, kita bisa mengajak jamaah Maiyah bisa bertukar pendapat dengan narasumber, bahkan seringkali malah narasumber mendapat ilmu dari jamaah Maiyah. Pemandangan itu tersaji pada Minggu malam, 25 Agustus di pelataran Aula Masjid Baiturahman, Semarang. Sembilan jamaah dipersilakan maju ke depan untuk menjawab pertanyaan dari narasumber. Pada kesempatan kali ini, workshop yang diselenggarakan oleh Gambang meniru Mocopat Syafaat. Sembilan orang itu kemudian dibagi menjadi tiga kelompok. Setiap kelompoknya terdiri dari pelajar atau mahasiswa, guru atau dosen, dan pekerja atau karyawan. Berhubung terdapat dua perempuan yang masih pelajar SMA. Pembawa acara andal Gambang Syafaat, Kang Dur, mengusulkan dibuat kelompok khusus yang terdiri perempuan. Agar dua perempuan SMA itu tidak minder atau malu urun rembuk saat diskusi dengan anggota kelompoknya lainnya. Lalu, akhirnya tercapai kesepakatan tiga kelompok yang ikut workshop malam itu terdiri dari dua kelompok yang semua anggotanya laki-laki dan satu kelompok yang anggotanya semua perempuan.

Satu kelompok laki-laki dan satu kelompok perempuan mendapat pertanyaan yang sama: Apa yang dinamakan manusia pasar, manusia istana, manusia nilai? Satu kelompok lagi diberi pertanyaan yang berbeda: ceritakan sebuah peristiwa baik dari pengalaman maupun pengamatan yang bisa dikategorikan sebagai manusia nilai, pasar, dan istaga? Dua pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ditanyakan Mbah Nun saat menggelar workshop di Mocopat Syafaat. Pada malam ini, dua pertanyaan itu ditiru oleh Gambang Syafaat. Ada beberapa alasan mengapa penggiat Gambang Syafaat terkesan ”tidak kreatif” menggelar workshop. Satu di antaranya adalah pada bulan Agustus ini bertepatan dengan musim rabi. Yang membuat beberapa penggiat dan jamaah sibuk menggelar atau menghadiri acara pernikahan. Penggiat Gambang Syafaat juga banyak yang absen karena menghadiri atau menggelar acara pernikahan sendiri atau pernikahan saudara. Maklumlah. Memang sedang musimnya.

Dengan tenaga yang terbatas, workshop tetap diselenggarakan seadanya. Dua kelompok yang mendapat pertanyaan yang sama sepertinya condong mencari jawaban di internet. Narasinya jawabannya hampir mirip. Semirip dengan apa yang tertulis dalam reportase maiyahan Mocopat Syafaat di caknun.com. Barangkali ini juga kesalahan pemandu workshop, lupa mengingatkan kalau dalam pencarian jawaban tidak boleh meniru, menjilpak, mencotoh, atau mencari di google. Pencarian jawaban cukup lewat hasil rembukan sesama kelompok saja. Pencarian di google dibolehkan selama digunakan untuk melacak data atau mengecek kebenaran informasi. Beruntung kelompok ketiga menyajikan narasi jawaban yang berbeda. Salah satu anggota kelompok ketiga ini yang bernama Ali Imron meminta waktu kepada saya untuk menceritakan pengalaman hidupnya. Sebab, dalam pengalaman hidupnya manusia pasar, manusia istana, manusia nila menjadi satu dalam dirinya. Beliau menceritakan bahwa kesehariannya bekerja sebagai guru, secara bersamaan beliau juga sedang menempuh pendidikan S-2 di salah satu universitas swasta di Semarang, di luar itu juga bekerja sebagai belantik. Rutinitas itu ia lakukan selama bertahun tahun. Jadi, selama sehari beliau bisa memerankan manusia nilai (sebagai guru dan mahasiswa), manusia pasar ( sebaga belantik), manusia istana (profesi sebagai guru membuat rumahnya sering mendapat tamu dari orang-orang (tua murid) untuk meminta nasihat atas permasalahan hidup yang dihadapi).

Kalau seumpama tiga jenis manusia itu ditempatkan secara hierarki, maka beliau bingung. Sebab, semua aktivitas itu beliau lakukan tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain. Penjelasan ini persis dengan yang disampaikan Mas Sabrang saat di PadhangMbulan. Bahwa manusia nilai, pasar, dan istana itu dimaksudkan untuk mengelompokkan manusia. Manusia itu utuh. Pengelompokan itu tidak bermaksud memecah keutuhan manusia. Itu hanya identikasi diri kita, tepatnya kita sebagai manusia pasar itu apa dan bagaimana. Agar tidak terjadi lingkungan istana dijabat oleh manusia pasar, dan manusia istana mengisi pasar. Ketidaktepatan itu mengakibatkan kita salah arah dan salah menempatkan diri. Dari pengalaman Mas Imron, kita diberi pelajaran bagaimana kita menempatkan diri sebagai manusia pasar, manusia nilai, dan manusia istana. Berat? Iya! Makanya tidak sembarang orang bisa melakukannya. Dan beruntung ada jamaah yang mau berbagi ilmu itu pada kesempatan sinau bareng kali ini.