blank

Di bawah lampu minyak. Di meja kecil yang jelek. Di kursi yang reyot, selalu setelah Subuh dan sebelum Magrib ia akan membuka Al-Quran-nya yang seukuran buku saku. Kebiasaan itu terus dilakukan. Ia selalu menderas Al-Quran di kala matahari belum terbit dan kala matahari hampir terbenam. Di balik tampilan fisiknya yang garang ia adalah pembaca Al-Quran yang rajin. Eko Tunas menjadi saksi ketekunan orang itu. Ia hampir tidak pernah melewatkan sahabat karibnya itu, Cak Nun, membaca Al-Quran.

Di hadapan Jamaah Gambang Syafaat pada 25 Mei lalu. Eko Tunas menceritakan pertautan Cak Nun dengan Al-Quran. Beliau tidak sedang mengarang cerita. Peristiwa itu menurut Eko Tunas ia lihat sendiri. Bahkan saking seringnya melihat Cak Nun mengaji. Cak Nun sampai tidak risi jika ia ketahuan mengaji saat Subuh dan sebelum Maghrib. Dengan kawan serumah, aktivitas-aktivitas wajar seperti membaca Al-Quran memang tidak perlu disembunyikan.

Berpuluh-puluh tahun sebelum cerita Cak Nun dengan Al-Quran dituturkan oleh Eko Tunas. Cak Nun sendiri pada 24 Agustus 1980 bercerita kepada pembaca majalah Zaman tentang kitab suci. Lewat satu halaman itu, Cak Nun menyuguhkan esai berjudul ”Kitab Suci”. Di esai itu Cak Nun bercerita masa kecilnya di Menturo, Jombang yang ramai dengan budaya mendaras Al-Quran. Selain itu, ada hal menarik yang diingat Cak Nun dengan Al-Quran. Yakni perintah si Ibu yang mengharuskan mencium Al-Quran dan menaruhnya di atas kepala jika si anak kedapatan menjatuhkan Al-Quran. Si anak yang masih kecil tentu penasaran,”Ngapain sih mesti mencium kertas buram bertuliskan Arab itu? Ngapain mencium benda keluaran percetakan?” Lambat laun seiring bertambahnya usia, si anak mengerti perintah ibu. Sikap itu sebagai bentuk tanggung jawab untuk menjaga dan menghormati kandungan suci Al-Quran.

Setiap orang memiliki cerita dengan Al-Quran. Cak Nun bukan satu-satunya. Pertanyannya apa yang menarik dari esai Cak Nun tentang kitab suci ini? Beliau bisa menjabarkan bagaimana cara orang menyikapi Al-Quran. Bagaimana menyerap sari patinya dan bagaimana menghadirkan ruh Al-Quran dalam setiap helaan nafas? Sebab, banyak orang membaca Al-Quran tapi korupsi. Banyak orang membaca Al-Quran tapi masih tetap maksiat. Orang-orang seperti itu, menurut Cak Nun, belum menghadirkan ruh Al-Quran di hatinya. Sehingga gerak tubuhnya bisa dengan enteng melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi aturan kitab suci.

Cerita Cak Nun tentang masa kecilnya bersentuhan dengan Al-Quran seperti ajakan tersirat untuk terus menderas Al-Quran. Menurut Cak Nun,”Qur’an selalu memberi pengalaman baru. Memberi rasa baru. Memberi kehidupan baru. Terus-menerus. Ayat-ayat Allah itu senantiasa lahir kembali di dalam diri kita.” Sebab ”Qur’an itu bagaikan wanita hamil, bayinya adalah kehidupan.