blank

Di negeri Ngamarta yang beraneka ragam penduduknya ada sebuah pedukuhan yang istimewa. Karang Kedempel namanya. Istimewa karena di sana semua ada. Penjahat, orang suci, orang pintar, orang bodoh, orang-orangan, bahkan yang bukan orang tetapi mengaku orang pun ada banyak. Pokoknya gayeng.

Dan di bulan ini, sama seperti bagian bumi yang lain, para penghuni di sana juga melaksanakan ibadah puasa. Tak terkecuali seorang mbambung yang bernama Gareng juga ikut berpuasa. Tapi baru setengah bulan melaksanakannya, sudah ada gejala yang membuat hati Gareng gelisah. Apa pasal? Duduk perkaranya begini:

Sebagai seorang yang mencoba berpuasa dengan baik, Gareng merasa kikuk dengan perilaku orang-orang di sekitarnya. Bagaimana tidak, belum juga bulan puasa ini berakhir. Tetapi gerak-gerik mereka sudah menunjukkan indikasi bahwa mereka seolah-olah sudah melupakan bulan yang suci ini.

Tengok saja di rumah-rumah, toko-toko, kantor-kantor, bahkan di pusat-pusat interaksi manusia. Semuanya sudah berganti suasana dengan nuansa hari raya: Bahan-bahan makanan ditumpuk dan ditimbun, pakaian-pakaian baru digelar dan diobral, rencana-rencana liburan digalakkan, gaji dan tunjangan dinaikkan, bahkan peraturan-peraturan pun disusun guna memaksimalkan konsumsi, keinginan, dan kesenangan. Padahal ini kan masih bulan puasa. Ibarat menjamu tamu, belum juga selesai ia bicara tetapi gelas air minum dan camilan untuknya sudah kita kukuti.

Gareng tidak habis pikir.

Menyaksikan itu semua ia menjadi bingung sendiri. Gelisah hatinya. Ia tidak tahu mesti bagaimana. Karena di lain pihak ia juga mahfum bahwa semua yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya tersebut berjalan menggunakan uang-uang mereka sendiri, gaji dan tunjangan hasil kerja keras mereka sendiri. Tetapi meski begitu kok rasanya tetap saja ia kurang sreg.

Pikiran Gareng buntu.

Ia masih saja njethuthut mikir keadaan sambil sesekali mengusap-usap perutnya yang keroncongan. Dia masih gagal paham. Kalau puasa itu mendidik manusia untuk belajar menahan, kenapa dalam prakteknya justru sebaliknya? Di bulan ini angka konsumsi justru meningkat berlipat-lipat, barang-barang harganya juga makin meningkat.

Coba tengok saja orang yang berbuka puasa. Mereka menumpuk-numpuk makanan untuk berbuka sebagai sarana balas dendam karena seharian tidak makan. Belum lagi bagaimana mereka memaknai hari lebaran yang dianggap sebagai puncak hari pelampiasan bersama-sama. Yang gejala-gejalanya sudah nampak bahkan jauh-jauh hari sebelumnya. Melihat itu saja, Gareng sudah kebingungan akan meletakkan makna menahan dalam puasa di sebelah mana.

Gareng semakin ngeri dibuatnya.

Karena baginya, puasa sejatinya adalah sebuah tirakat ibadah khusus yang suci karena sifatnya yang ‘revolusioner’, radikal, dan frontal. Karena orang yang berpuasa berposisi berhadapan langsung dengan bagian paling wadag dari dunia namun diperintahkan untuk menolak dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu. Orang berpuasa diperintahkan langsung untuk berpakaian ketiadaan : tidak makan, tidak minum, tidak marah dan lain sebagainya. Sebagai salah satu media latihan untuk belajar menaklukkan diri, membebaskannya dari jeratan dunia dengan segala rumbai-rumbainya; mengolah kehidupan untuk didunia-akhiratkan demi keselamatan di hadapan Allah. [1]

Maka amat benarlah jika hasil akhir dari ibadah yang luar biasa ini juga tidak tanggung-tanggung, yaitu manusia yang bertaqwa. Suatu dimensi agung yang dapat dicapai oleh manusia beragama.

Tetapi mengingat kembali apa-apa yang ia alami beberapa hari ini, Gareng kecele. Di dalam lingkungannya, Ia sama-sekali tidak berjumpa dengan apa yang ia yakini sebagai hakikat puasa. Bukannya ia ingin berburuk sangka, hanya saja gejala-gejala puasa yang sesungguhnya amat sulit untuk dirasakannya.

Gareng semakin nglangut.

“Kapan hidup bukan berpuasa?!” tiba-tiba terdengar suara mengagetkannya.

Seorang lusuh dengan hidung terlalu panjang, tangan terlalu panjang dan perut nyemplu menghampiri Gareng di peraduannya. Belum sempat Gareng menyapa, ia langsung nyerocos seenaknya.

“Kapan manusia bisa hidup tanpa membatasi diri, tanpa menahan nafsu, tanpa berperang dan mengalahkan segala gejolak yang pasti akan menghancurkannya? Kapan manusia bisa hidup aman tanpa kesadaran untuk tepat, pas, patuh pada batasan, dosis, kadar dan ukuran? Manusia pasti menyongsong kehancuran jika hidupnya mengutamakan pelampiasan, kefoya-foyaan, keberlebihan, kalap dan mabuk.”[2]

“Jadi, Maksudmu Truk?”

“Melalui fenomena puasa, Gusti Allah menawari manusia dengan dua kehancuran. Pertama, bagi mereka yang menyelam dan menghayati betul hakikat sejati puasa. Mereka sejatinya sedang menempuh proses dematerialisasi atau perohanian. Kehancuran eksistensi, kedudukan, fungsi, dan peran yang ada di dunia untuk dipersembahkan atau dileburkan ke dalam eksistensi sejati Allah dan kasih-sayang-Nya. Dengan Tauhid sebagai pilar utamanya. Latihan berproses dari cahaya untuk kembali menjadi cahaya. Kedua, bagi mereka yang berlaku sebaliknya, bermain-main dengan nilai dan hakikat puasa. Maka sejatinya mereka juga sedang menempuh proses kehancuran.”

“Kehancuran setiap sisi kehidupan dan peradaban,” Gareng mencoba ikut merespon.

“Seratus untuk Gareng.”

“Lantas menurutmu harus begaimana menyikapinya Truk?” Gareng masih belum tuntas kegelisahannya.

“Yang saya dengar dari Bapak seperti ini ….”

“HALAH LAGAKMU… NDAKIK-NDAKIK ORA MUTU!!!” Tiba-tiba penjelasan Petruk di potong sebuah suara sengau dan serak dengan volume yang tidak tahu diri. Mereka berdua kaget. Hidup memang penuh dengan kejutan. Disusul dengan munculnya sesosok makhluk ndomble dengan mata mendolo dan perut mbleber yang entah bagaimana sudah berdiri berkacak pinggang di samping mereka. Tersenyum. Wajah Gareng dan Petruk ambyar seketika.

“BAGINI LHO YANG BENER … TAK JELASKE!!

Petruk menahan napas, sementara Gareng umak-umik entah misuh entah merapalkan mantra. Sepertinya rasan-rasan di antara mereka bertiga akan berlangsung semakin gandem. Atau justru malah semakin hancur lebur. Wallahua’lam.

Ket :
[1] Terinspirasi dari buku “Tuhan pun Berpuasa” karya Cak Nun
[2] Cak Nun dalam Tetes, “kapan hidup bukan puasa”