blank

Daur masih berhenti di angka 300. Setiap hari saya berkunjung ke CakNun.com untuk menunggu petuah simbah selanjutnya. Lain dengan ulama lain, Mbah Nun memilih tidak gunakan media sosial apapun untuk tuangkan gagasan. Semua terkumpul di CakNun.com selaku ibu informasi Jamaah Maiyah. Saya yang tinggal jauh dari Mocopat Syafaat dan muwajjahah atau bertatap muka sangat sulit karena alasan duniawi, harus cari akal akan tetap “Connect” dengan “Hotspot” yang Mbah Nun gelar.

Mbah Nun menulis Daur untuk sikapi kejadian-kejadian terkini dengan simbolisasi. Karena spesial untuk Jamaah Maiyah maka di dalamnya termuat file-file berupa istilah yang di-password. Biar Gusti Allah yang langsung mengajari melalui hikmah keseharian. Untunglah Gambang Syafaat kemudian adakan Sinau Daur untuk mentadabburi tiap wejangan ter-enkripsi dari Mbah Nun. Gus Mohammad Aniq dan Mas Muhajir Arrosyid bulan ini men-decrypt sembari ajak jamaah maiyah yang hadir untuk menyampaikan tadabbur masing-masing atas poin-poin daur.

Acara yang dimulai pukul 21.00 waktu RKSS ini mulai membahas “…yang maghdlub dianjurkan ‘Ibu Qur’an’ untuk mengacu dan menghayati poros malik rahim: perjuangan otoritas dan cinta kasih sosial.” dalam Tetes-Jalan Pencerahan. Maghdlub di sini berarti dimurkai Allah. Saya kaitkan dengan kejahiliyahan Mekah pra-wahyu. Gusti Allah via Jibril perintahkan Kanjeng Nabi untuk perjuangkan perubahan melalui jalur kekuasaan dan simpati-empati. Itulah malik rahim, habbluminallah disertai habbluminannas. Bukan urutan prioritas melainkan berpasangan, beriringan.

Momentum “Hai orang yang berselimut” setelah “Membaca dengan menyebut Nama Tuhanmu” itu seolah pengingat pada “…terlambat menghentikan tradisi bohong kepada diri sendiri, akan harus mempertahankannya dengan bohong kepada yang lain.” di Tetes-Tradisi Bohong. Jahiliyah yang menurut Mbah Nun dalam “Ma RI wa La RI” adalah sakit spiritual harus diakhiri dengan menghentikan sesegera mungkin. Maka setelah Kanjeng Nabi keluar dari selimut dan ditenangkan Sayyidatina Khadijah, beliau mulai mengajak kawan-kawan terdekat. Spiritualisme yang salah kaprah di sekitar Kakbah harus dikoreksi dengan cara bijak.

Apalagi bohong yang memang masuk sebagai salahsatu sumber dosa lainnya. Seperti sepeda motor yang wajib berhenti mendadak. Ketika rem depan-belakang sudah dipijat bergantian belum juga mandeg, terpaksa mengarahkan stang ke arah yang lebih sedikit bahayanya. Suatu waktu ada kuda besi super cepat yang menuju saya dan ia memilih nyungsep ke arah sawah musim. Daripada saya yang mati, si penunggang kuda besi memutuskan ia yang ikhlas menderita. Begitu juga kebohongan yang sudah jadi tradisi, harus dihancurkan sebagaimana Ibrahim mengayunkan kapak kepada patung-patung berhala dinasti Namrud atau Nebukadnezar.

Dalam pengalaman dekat kematian itu saya mengucapkan apa yang Mbah Nun sarankan, “…kekaguman yang semestinya membuat ia berucap Allahu Akbar.” di Tetes-Allahu Akbar. Jika ilmuan yang dimaksud beliau adalah seseorang yang terus meng-ilmu-i tiap pengetahuan-pengalaman, saya bisa percaya diri mengklaim diri demikian. Walau lingkup kecil begitu, seyogyanya di ranah yang lebih besar juga ada praktiknya. Di bidang apapun harus dibiasakan melantangkan takbir saat jumpai hal yang membuat kagum. Entah itu pencapaian Voyager 1&2 yang sudah keluar dari tata surya menuju pusat Galaksi Bimasakti maupun temukan fakta bahwa lumpur Lapindo bisa dijadikan bahan batu baterai.

Di zaman now yang penuh talbis atau “wolak-waliking zaman” ini semestinya “…kecurigaan maupun ketidakpercayaan orang lain terhadap diri kita adalah kaca cermin yang baik untuk memperbaiki kekurangan, menyadari kelemahan, serta menarik kembali tangan dari arah kesesatan.” seperti tertuang di Tetes-Kaca Cermin. Jangan sampai karena kuatir dicurigai dan tidak dipercaya orang lain lantas membuat kita enggan bertakbir saat menjumpai kekaguman. Bahkan parahnya terus melanggengkan kebohongan atau kekeliruan yang sudah sadar jika itu akibatkan keburukan berkelanjutan. Nyambung dengan hadis “menutupi cela sesama Muslim” yang oleh Brandal Lokajaya kemudian dipribumikan dalam tembang “dondomono jlumatono”.

Bagi saya, hal-hal manusiawi di atas mulai dari berjuang lewat otoritas dan kasih sayang, berhenti bohong, takbir, sampai berkaca pada prasangka orang lain adalah pengejawantahan dari Islam. Jika menghindarinya malah jadi bukti “…Al-Qur’an tak kita laksanakan nilainya.” seperti yang Mbah Nun ingatkan pada Tetes-Syarat Menyatu dengan Qur’an. Seperti Ibnu Muljam yang rajin ibadah, hapal Quran, tapi rupanya nilai-nilai yang terkandung dalam Quran tak ia jadikan laku. Setidaknya untuk menghentikan niatnya membunuh Gerbang Penjaga Fitnah, Sayyidina Umar bin Khattab, usai mengimami salat Subuh. Sebegitu mengerikannya menelan mentah-mentah sampai Sayyidina Ali bin Abi Thalib katakan lebih baik tanyakan hati nurani jika Quran-Hadis-Qiyas-Ijma belum tenangkan hati.

Bahkan dalam Tetes-Padi Sejarah, Mbah Nun menulis “…sebab setiap perilaku muslim di muka bumi inilah yang justru menentukan malang mujur dirinya di akhirat kelak.” Digambarkan seperti petani yang bekerja untuk dunia sekaligus akhirat. Mirip dengan hadis yang berbunyi bahwa bumi adalah ladangnya akhirat. Lumrahnya tiap manusia bekerja mencari nafkah semata bertujuan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan sebisa mungkin bisa memenuhi berbagai keinginan. Padahal dalam “mencangkul” itu anak Adam bisa meniatkan untuk menjadikannya amal akhirat.

Di lain kesempatan saat maiyahan Mbah Nun pernah menanyakan pada seorang jamaah tentang hal di atas. Mengambil tukang becak sebagai contoh, niat memenuhi nafkah hanya saat negosiasi biaya berdasarkan perhitungan jarak, waktu tempuh, dan berbagi faktor lain. Dalam sekian menit itulah proses duniawi. Setelah “deal” barulah proses akhirati terjadi. Pak tukang becak sebisa mungkin melayani penumpang dengan standar nyaman. Selama mengayuh becak itu tak menjadi hamba dunia melainkan hamba Allah, berbagi manfaat pada sesa makhluk-Nya. Jika dilihat secara kuantitas, si tukang becak lebih banyak bekerja untuk akhiratnya daripada dunianya.

Paradoks malah terjadi di masjid-masjid dewasa ini. Saya sendiri menjumpai di Semarang. Kajian bertebaran di mana-mana hampir setiap hari. Dari yang asal bunyi, asal baca terjemahan, sampai yang serius mengkaji kitab klasik dengan tradisi “utawi iki iku” ada. Jika semangat mencari ilmunya tinggi, hampir tidak ada hari untuk bersantai di rumah. Melihat fenomena yang nampaknya merata di Indonesia, Mbah Nun kembali ingatkan agar kita “…jangan lupakan juga bahwa kutub yang lain makin membesar juga.” di Tetes-Kutub Keasingan. Saya mencoba menafsir bahwa kutub tandingan tadi adalah cinta dunia dan takut mati.

Memang “Setiap makhluk memerlukan ruang dan waktu untuk meng-ada dan bertumbuh.” seperti yang Mbah Nun tulis dengan judul Tetes-Mengada dan Bertumbuh. Syeikh Nursamad Kamba pernah mengilustrasikan hal ini dengan tumbuhan yang hanya menggerakkan dedaunan menuju sumber cahaya matahari. Manusia pun begitu. Jika dirasa kurang pas dalam menempatkan diri, misal tidak tepat tempat maupun waktu, harus segera menggeser diri. Bisa dimaknai hijrah meski kelihatannya istilah ini mulai direduksi bahkan dipeyorasi pemilik modal media dan yang mengais rejeki di sana.

Dari rangkaian tetes ini saya masih agak penasaran dengan “Ada bagian dari rahmat Allah yang terkikis, luntur, mengering, dan makin tak dimiliki.” di dalam Tetes-Terkikis. Saya agak-agak lupa dengan penjelasan Gus Aniq setelah ngaji berakhir. Ngawurnya saya begini, yang terkikis tadi bisa jadi rasa syukur. Ketika tak syukur berarti tidak ingat dan waspada pada situasi-kondisi diri. Keburukan yang terjadi selanjutnya mirip dengan orang yang mabuk yaitu lepas kendali. Efek domino kurang syukur adalah serba merasa kurang, mudah menyalahkan, gampang dipicu untuk marah, sampai akhirnya seperti buih lautan yang dengan enteng diarahkan, dimanfaatkan.

Sepuluh tetes dari Mbah Nun di atas ini seolah bersangkan-paran pada “…makhluk tidak bisa bertahan hidup dalam kesempitan, kedangkalan, dan pendek jarak pandang.” di Tetes-3C. Bisa karena 3C maka muncul keruwetan dunia-akhirat, atau juga seenak “wudele dewe” berakibat 3C. Walau akhirnya tetap saja tidak ada yang nyaman di zona transisi. Ada sih yang betah, bisa jadi mereka yang maniak dan sengaja diciptakan Allah untuk tujuan itu, atau yang mencari sebulir nasi di dalamnya. Walau bisa jadi jika manusia terbiasa pada satu keadaan yang buruk disebabkan keputusasaannya menghadapi zaman.

Acara sinau daur ini berakhir pukul 24.00 dengan tiap jamaah yang hadir berpartisipasi “urun rembug”. Mikrofon digilirkan untuk menjadi penyalur olah pikir para pembaca. Mulai dari menceritakan fenomena di desa tempat tinggal, kenangan di masa silam, sampai masalah perantauan dijadikan sumber hikmah kekinian. Kemudian setelah acara bubar dilanjut obrolan santai di pelataran RKSS. Tentu saja acara Sinau Daur ini ditemani kopi panas dan cemilan yang bebas ambil dan gratis pula.

Silakan datang ke acara yang rutin digelar bulanan ini. Jika ingin intens mengkaji soal ibadah, dipersilakan hadir tiap Selasa pukul 20.30-an merapat ke RKSS. DIlanjut tiap tanggal 25 untuk ber-Gambang Syafaat di Masjid Baiturrahman.