blank

Pada suatu Jumat pagi di bulan Desember, saya bersama seorang teman menuju Surabaya menggunakan kendaraan transportasi massal bernama Kereta Api. Berangkat dari stasiun Purwosari Solo menuju stasiun Gubeng Surabaya. Ketika saya dan teman sedang menyamankan diri duduk di kursi sesuai nomor kursi, dua orang yang duduk di hadapan kami (kursi kereta posisinya berhadap-hadapan) tiba-tiba menyapa kami.

“Mau ke Silatnas ya mas?” Tanya seseorang di hadapan yang bertopi.

“Lhoh.. mase ke Silatnas juga to?” jawab teman saya.

“Iyo, mas.. Saya dari Maneges Qudroh“ jawabnya.

Kemudian dilanjut berkenalan, dan diketahuilah namanya Eko dan Topan dari Simpul Magelang. Kemudian Eko melanjutkan,

“Di belakangku pas ini ada Mas Zuhud, teman dari Simpul Wonosobo” kata Eko sambil berdiri, memberi kode ke teman Wonosobo. Langsung saya ikut berdiri dan meyalami mereka.

“Di belakang sebelah kanan sana ada Mas Ajik, dan Fafa dari Mocopat Syafaat.” lanjut mas Eko.

Weisss.. Kok bisa barengan ya, beda-beda kota, ketemunya di satu kereta, satu gerbong, dan kursinya pun dekat-dekat semua“ celetuk saya dengan nada keheranan.

Jadi begini, untuk menuju Surabaya dari Solo menggunakan transportasi umum darat ada dua, yaitu bus dan kereta api. Kalau mau menggunakan bus hampir tiap jam pasti ada, jadi kalau mau berangkat sak wayah-wayah bisa. Sedangkan untuk kereta api, saya cek sebelumnya di layanan tiket online ada dua kereta yang berangkat pagi yaitu jam 8 dan jam 10, sedangkan yang sore pukul setengah empat.

Misalkan Anda seorang supporter sepakbola dari suatu kota mau nonton Timnas yang main di Gelora Bung Karno di Jakarta, lalu bisa bertemu dan berada satu gerbong dengan teman sesama supporter yang berangkat dari berbagai kota, itu hal lumrah. Karena jumlah supporter bola, khususnya Timnas, sangat banyak sekali.

Sedangkan dalam kasus ini, bisa bertemu dengan teman-teman Penggiat Simpul Maiyah dari tiga kota yang berbeda, masing-masing kota hanya diwakili oleh dua orang delegasi. Ternyata tanpa kencanan bisa berada dalam sebuah kereta api yang sama di jam 10 (dihitung jadwalnya yang dari Purwosari Solo), satu gerbong yang sama, dengan ajaibnya dengan jarak kursi yang berdekatan semua, merupakan hal ajaib menurut saya.

Bagaimana tidak ajaib? Lha wong satu rangkaian kereta itu terdiri dari lima gerbong penumpang, dengan kapasitas satu gerbong sekitar 106 penumpang. Kalau secara probabilitas ada 530 kemungkinan posisi tempat duduk. Belum lagi tambahan variabel kapan order tiketnya, cara order tiketnya, ada yang order direct ke stasiun, order di minimarket, atau via online di marketplace yang jumlahnya sekitar sepuluhan lebih sekarang ini. Mumet banget kan? Sudahlah kalau begitu jangan dihitung, biar Dilan saja yang menghitung.

Itu tadi baru berangkatnya, nah sekarang peristiwa saat pulangnya dari Surabaya ke Solo. Kalau menuju Purwosari Solo dari Gubeng Surabaya, ada lebih banyak variasi. Jadwal kereta pagi ada dua, jadwal kereta siang ada dua juga. Ndilalah tanpa kencanan bisa satu gerbong lagi dengan teman-teman Penggiat Simpul. Ini pun lagi-lagi tanpa kencanan. Karena saya order tiketnya sudah satu paket Pergi Pulang sejak jauh-jauh hari.

Kali ini perjalanan pulangnya bersama teman-teman penggiat dari dua Simpul Maiyah yang berusia tua di Jateng dan DIY, yaitu Mocopat Syafaat dan Gambang Syafaat. Dari Gambang Syafaat ada Yunan dan Haq. Malah kami berempat di satu setengah jam terakhir menuju Solo, menghabiskan waktu dengan ngobrol sambil ngopi di gerbong restorasi tentang Gambang Sayafaat, nyicil diskusi hasil Silatnas, diselingi keluar kereta sebentar untuk ngerokok saat sedang berhenti di sebuah stasiun.

Hidup sangat luas ada banyak kemungkinan-kemungkinan di dalamnya. Jangankan kehidupan ini, kita perkecil dalam contoh kasus di atas tentang perjalanan Pergi Pulang Solo-Surabaya dan Surabaya-Solo, ada banyak kemungkinan-kemungkinan, variasi jenis transportasi, waktu keberangkatan, sampai posisi tempat duduk. Ndilalah dipertemukan dengan beberapa penggiat Simpul Maiyah berbagai kota dalam satu gerbong, saya yakin ini bukan kebetulan semata. Kalau menurut Mbah Nun, ndilalah berasal dari kata ‘indallah, atas kehendak Allah. Dan atas kehendakNya kami semua dipertemukan dalam satu kereta.

Selamat ulang tahun yang ke 19 saya ucapkan untuk Gambang Syafaat, 19 tahun istiqomah menebar benih. Barakallah untuk sedulur-sedulur penggiat dan jamaah Gambang Syafaat.

Rahayu, Rahayu, Rahayu.