blank

Barangkali cara berceramah Cak Nun di simpul Maiyah dan di setiap acara bersama KiaiKanjeng sudah dirumuskan sejak lama. Beliau jauh-jauh hari sudah memetakan jenis-jenis jamaah dan ceramah. Ada jamaah yang datang mendengarkan ceramah untuk mengharapkan si penceramah mengritik dan memaki salah satu tokoh atau suatu kelompok demi memuaskan dahaga kebenciannya. Ada ceramah yang memosisikan jamaah sekadar seperti mesin perekam yang duduk tanpa gerak hanya mengunyah penjabaran dari si penceramah.

Di majalah Panji Masyarakat edisi 1 Januari 1984, Cak Nun menulis esai berjudul ”Ceramah Ceramah Ceramah”. Beliau menceritakan seorang mubaligh yang kelelahan setelah sering berceramah dan memutuskan berhenti berceramah. Apa yang menyebabkan si mubaligh berhenti berceramah? Kata Cak Nun,”mungkin juga karena dari hari ke hari ia hanya berhadapan dengan kemandegan kebekuan: lapisan-lapisan ummat yang kesiapan utamanya hanyalah mengangkatkan mulut dan telinga untuk ditaburi wejangan dan anutan-anutan. Atau orang-orang yang datang dan pulang dari pengajian seperti melakukan upacara bendera; anak-anak muda yang sekedar asyik kumpul-kumpul; atau golongan sakit hati yang ingin agar sang mubaligh mengkritik ini dan memaki itu untuk hiburan yang memuaskan mereka, lantas dibawa pulang dan tidur.”

Tampaknya segala jenis jamaah yang hadir di pengajian sudah sangat dipahami betul oleh Cak Nun. Sehingga ketika berceramah di simpul-simpul Maiyah, Cak Nun tidak memosisikan jamaah sebagai pendengar pasif saja. Bahkan dalam acara keliling dengan KiaiKanjeng selalu tertera tulisan ”Sinau Bareng”. Dari segi penulisan di backdrop saja sudah berbeda. Cak Nun menghindari acaranya dinamakan ”pengajian” meski di dalamnya juga membahas banyak persoalan hidup dan agama. Penamaan ”Sinau Bareng” dalam setiap acaranya bersama KiaiKanjeng hendak memosisikan warga dan jamaah tidak sebagai obyek yang terus dituntut mendengarkan ceramah. Namun, ada juga kesempatan kepada jamaah naik panggung berbagi cerita, pengalaman, dan pergulatan hidup. Cara itu dilakukan untuk mencari dan menemukan kisah-kisah kebajikan yang kerap bersembunyi di balik orang-orang yang sulit mendapat tempat berbagi cerita.

Tidak jarang pula setiap Cak Nun mengisi acara di simpul Maiyah atau keliling bersama KiaiKanjeng. Beliau selalu menyediakan sesi tanya jawab. Jenis para penanya ini juga bermacam-macam. Yang hampir selalu ada adalah jenis penanya yang meminta pendapat Cak Nun tentang ulah atau tindakan seorang tokoh yang sedang dihujat di media sosial. Pertanyaan ini secara sekilas mengehendaki agar Cak Nun juga bertindak seperti warganet ikut-ikutan menghujat. Agar si penanya dan si pembenci tokoh yang dihujat mendapat tambahan teman dan referensi untuk menyudutkan tokoh tersebut. Namun, bagi Cak Nun, sebagaimana yang sering beliau katakan, Maiyah ada tidak untuk memusuhi siapa-siapa dan membenci siapa-siapa. Maka seburuk apa pun tokoh yang dihujat warganet, bisa ditanggapi Cak Nun dengan adem seolah kejadian itu hanya karena ada korsleting dari saluran pikiran kita dalam memahami ucapan atau tindakan tokoh yang sedang dihujat.

Maiyah bukan tempat membangun opini untuk memusuhi seorang atau tokoh tertentu. Ceramah Cak Nun tidak untuk menegaskan siapa yang boleh dijauhi dan didekati. Ceramah-ceramah yang berniat untuk memusuhi atau menjadikan jamaah sekadar menjadi kuping sudah tidak pernah digunakan Cak Nun.

Dalam esainya itu, beliau meneruskan ceritanya mengapa si mubaligh berhenti berceramah. Alasannya:”ceramah selalu hanya meletakkan Saudara-saudara sebagai orang yang diceramahi. Saya tidak mau menjadi sesuatu yang menggantikan suatu fungsi di dalam diri Saudara-saudara, karena tidaklah terpuji mengerjakan sesuatu yang membikin saudara-saudara tak lagi mampu menceramahi diri saudara sendiri. Saya tidak mau melanjutkan penanaman saham dari mental paternalistik Saudara-saudara. Sebab, hal itu hanya membuat Saudara-saudara tergantung, hanya mampu menganut, hanya siap menjadi deretan nomer-nomer, hanya mampu minta dan menuntut orang lain, hanya mampu menunggu dan pasif, kurang punya inisiatif, keberanian bersikap dan tampil kreatif.”

Keadaan itu bisa membuat kita tidak berani berdaulat pada diri sendiri. Tidak berdaulat dalam berpikir, bertindak, dan berkeputusan. Yang penting dalam hidup ini, menurut Cak Nun, kita harus berdaulat dalam hidup kita. Tentu tidak mudah menjadi seorang yang berdaulat. Selain sifat berani dan percaya diri, kita harus siap berbeda dengan orang umum.

Tentu pendapat Cak Nun boleh disepakati dan disanggah. Mereka yang bersepakat dan menyanggah pendapat Cak Nun sudah ada dari dulu. Sejak Cak Nun kerap menyampaikan pendapatnya dalam bentuk esai yang tersebar di majalah. Esai-esai sering mengundang nada protes di surat pembaca. Termasuk dalam esai ini. Tidak lama setelah esai Cak Nun berjudul ”Ceramah Ceramah Ceramah” terbit. Seseorang menulis surat pembaca berjudul ”Emha; Jangan Sinis” di Panji Masyarakat (1 Maret 1984). Menurutnya,”alangkah dhaifnya ummat Islam Indonesia dalam pandangan Emha. Janganlah sesenaknya menuding demikian. Emha mengkritik juru da’wah sebagai pembebek dan kreatif, tetapi tidak pernah mengecam mereka yang menciptakan situasi melorotnya ummat Islam Indonesia. Saya tahu, Anda mengkritik untuk perbaikan, tapi cara Anda tidak pas.” Redaksi yang memuat esai Cak Nun juga mendapat kritik. Tulisnya:”Redaksi saya harapkan untuk tidak memuat tulisan asal ”keras”, tapi caranya tidak ramah, seperti tercermin dalam tulisan Emha.”

Pembaca dan pendengar pendapat Cak Nun dipersilakan bersepakat dan tidak dilarang untuk menyanggah. Cak Nun selalu terbuka dengan dua cara penyikapan tersebut. Dari esai ini kita tahu pengalaman Cak Nun melahirkan orang-orang yang tidak bersepakat dengan pendapatnya tidak terjadi kemarin pagi. Namun, sudah puluhan tahun yang lalu. Wis suwe le…