blank

Saya ingin mengajak anda untuk iseng, iseng yang serius. Apa itu? Kepada anak saya, saya memberi PR, “Mas, kalau papa menyebut sebuah kata, buatlah setidaknya tiga pertanyaan perihal kata tersebut!”. Biasanya, pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan dengan kata tanya apa/siapa, untuk apa, bagaimana. Terkadang juga muncul pertanyaan dengan kata tanya berapa, dimana, kapan. Pada saat saya menyebut kata ‘matahari’, anak saya menyodorkan pertanyaan: apa itu matahari?, Untuk apa matahari ada?, Dimana matahari?.

Saat saya menyebut kata ‘sekolah’, pertanyaan yang muncul: untuk apa sekolah? Apa itu sekolah? Mengapa sekolah? Bagaimana sekolah?.

Hampir setiap saya memberikan kata, pertanyaan yang relevan selalu setidaknya dua pertanyaan awal dan satu pertanyaan lanjutan. Dua itu adalah, untuk apa dan apa/siapa. Dan satu pertanyaan lanjutannya adalah yang bagaimana? Atau yang seperti apa? Cirinya apa?.

Saya akan memakai tiga pertanyaan tersebut untuk menjelaskan tentang nilai/value, entitas dan identitas. Tiga layer yang bagi saya penting untuk dirumuskan agar kita mengerti dan titis dalam melihat sesuatu. Perjuangan adalah usaha terus menerus di layer nilai. Orang membuat negara tentu tidak lepas dari capaian yang diidamkan. Negara adalah entitasnya, nilai nya tentu termaktub di tujuan nasional. Jadi saat kata negara saya ucapkan, layer nilainya adalah jawaban dari pertanyaan untuk apa negara? Negara sendiri adalah jawaban dari apa/siapa, dan itulah layer entitas. Begitu juga dengan ormas, dengan jalan penelusuran yang sama, kita akan mendapatkan bahwa ormas adalah entitas, yang didalamnya terkandung nilai nilai yang diusung/ diperjuangkan. Bagaimana dengan agama? Saya kira anda cukup cerdas untuk mengikuti jalan pikiran saya.

Lalu, apakah itu layer identitas, identitas adalah pertanyaan selanjutnya. Terkadang layer entitas bisa teridentifikasi, terkadang tidak ada identitas yang jelas. Untuk mudahnya, contohnya begini; kalau saya mengatakan kaum sarungan, tentu kita merujuk pada santri. Saat kibaran bendera partai, atau atribut lain berkibar, maka kita akan mengingat ‘oh itu partai VOC’ misalnya. Nah, disinilah masalahnya, sekarang adalah zaman ‘pokoke melu-melu’ dan ‘gaya-gayaan’. Di zaman sekarang terkadang orang berbaju palu arit, sama sekali tidak ada hubungannya dengan PKI. Apalagi paham mengenai komunisme dan perjuangan/nilai yang diusung. Zaman ‘gaya gayaan’ dan ‘pokoke melu melu’ terkadang memutus keterhubungan tiga pertanyaan diawal tulisan ini: yang bagaimana/yang seperti apa, belum tentu ekspresi dari ‘siapa/apa’. Bahkan yang ‘apa/siapa’ tidak selalu punya agenda ‘untuk apa’. Bisa jadi orang yang berbeda ‘untuk apa’ nya bisa kumpul di dalam satu entitas yang sama.

Ini bisa terlihat ketika misalnya, banyak sekali orang-orang memakai kaos Osama Bin Laden, dipakai oleh orang yang berjoged di konser dangdutan. Padahal dia adalah icon teroris. Kaos Che Guevara dipakai orang-orang borju, berjalan jalan di mall. Sebuah pemandangan yang kontradiktif.

Selain faktor gaya-gayaan dan pokoke melu-melu, ada fenomena lain. Perbedaan di layer identitas, ekspresi, terbawa ke layer nilai/perjuangan. Hanya karena berbeda ritual, dan perbedaan ormas/partai, tidak mau melakukan aksi bersama dalam menyikapi peristiwa yang mestinya sama sama diperjuangkan. Tidak jarang kita melihat antara ormas A dan ormas B, memilih melakukan demo dihari yang berbeda, untuk sikap yang sama kepada isu tertentu. Bagi saya, fenomena lebih mengedepankan apa/siapa, mementingkan entitasnya, adalah sebuah egoisme eksistensial. Istilah yang sengaja saya munculkan untuk memberi penekanan bahwa ngeksis terkadang adalah jebakan dari egoisme.

Jalan sunyi adalah sebuah pilihan untuk terus menerus secara istiqomah melakukan pergerakan, perjuangan di layer nilai, di wilayah ‘untuk apa’, dengan kewaspadaan yang teliti kepada apa yang saya sebut egoisme eksistensial. Bukan berarti pejalan sunyi tidak memadat, mewujud ke layer entitas, menjadi ‘apa/siapa’ tetapi jika pun memadat, mewujud, maka kesadaran bahwa garis konsistensi yang dijaga adalah wilayah ‘untuk apa’ (layer nilai). Abu Bakar, saat meyakinkan kepada umat yang shock ditinggal Rosululloh berkata : ingatlah, barangsiapa menyembah Muhammad maka beliau telah wafat, dan barang siapa menyembah Allah maka Allah maha hidup tidak mati.

Lalu beliau membaca surat Ali Imron 144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Rasul dan kenabian pun ternyata menurut saya adalah jalan sunyi. Lembaga/entitas kerasulan tidak berdiri, ajarannya lah yang mengabadi. Wallahu alam.