blank

“Kenyang itu tidak enak ya?” Begitu kata Tunu setelah melahap dua piring nasi ditambah semur jengkol, sambal ati, petai, dan ingkung. “Uwek”, Tunu gelege’en. Kenyang itu tidak enak apalagi lapar. Kita cenderung memiliki sifat balas dendam. Saat lapar dan ketemu makanan, nasi sebakul kita habiskan. Itulah alasan kanapa pengeluaran untuk makanan di bulan puasa justru meningkat.

Maka Kanjeng Nabi Muhammad menyuruh kita berhenti makan sebelum kenyang. Mungkin inilah yang dimaksud makan tidak sebagai balas dendam terhadap lapar. Dengan berhenti makan sebelum kenyang kita dapat menikmati puncak-puncak kenikmatan makan. Segala sesuatu jika sudah di luar batasnya maka akan berakibat sebaliknya. Kenikmatan yang di luar batas akan menjadi siksaan. Yang di luar batas itu namanya punjul.

Ceritanya begini, pada siang hari Tunu dimasakkan istrinya. Menunya lumayan lengkap. Itu karena Tunu habis menyelesaikan proyek dan mendapat uang yang lumayan. Tunu mengambil piring, piring itu diisi nasi, sambal, sayur, dan ayam goreng. Dalam sekejap nasi di piring Tunu habis, tapi sambal dan ayam gorengnya masih. Daripada sisa, mubazir, Tunu mengambil nasi lagi untuk menemani sambal dan ayam goreng di piringnya. Tibalah waktunya sambal dan ayam gorengnya yang lenyap. Ia comot tahu goreng, kuah lodeh, dan lagi sambal. Ia masukkan adonan nasi dan teman-temannya itu ke dalam mulutnya. Ia tenggak es teh manis. Duh, nasinya habis, tapi lodeh, tahu goreng masih teronggok di pinggir piring. Tunu ingat khotbah jumat kemarin, membiarkan sebuah barang menjadi mubazir itu hukumnya dosa. Akhirnya nasi yang tinggal tak seberapa di bakul itu pindah ke piring.

Tunu duduk relek di kursi makan. Ia buka kaosnya. Perutnya buncit menampakkan udelnya. Di tangannya masih terpegang separoh tempe goreng. Tunu mengelus-elus perutnya. “Aku makan kliwat Bune.”

“Iya kamu makan punjul!” kata istrinya. Kliwat adalah ungkapan bahasa Jawa yang menggabarkan situasi melebihi batas yang sudah ditentukan. Sebuah adonan masakan misalnya harusnya diberi gula cukup dua cendok tetapi diberi gula tiga cendok itu namanya kliwat. Seseorag yang berbicara di luar kapasitasnya itu juga disebut kliwat. Akibat kliwat macam-macam bergantung kadar dan situasinya. Di dunia kedokteran bisa mengakibatkan seseorang meninggal, di dunia pendidikan bisa mengakibatkan anak stress bahkan gila.

Punjul juga ungkapan bahasa Jawa yang artinya hampir serupa dengan kliwat. Pujul bisa diartikan melebihi kadarnya, melebihi takaran yang ditentukan. Punjul bisa berkonotasi positif dan negatif. Jika kamu memperkerjakan tukang kemudian gajinya kamu punjuli (dilebihi) itu positif, tetapi jika pekerjaannya yang kamu punjuli  itu masalah.

Masih cerita tentang Tunu dan punjul. Ceritanya Tunu sedang merenofasi rumah. Rumahnya bagian teras mau ia perbaiki. Untuk menghormati tamu, katanya. Dasar Tunu yang tidak paham bangun membangun maka segala hal ia pasrahkan kepada Bapak Tukang Bangunan. Ketika Pak Tukang menyuruhnya beli apa, ia membelikannya, kurang apa ia mencukupi. Usul apa ia setujui.

“Mas ini batu-batanya sisa, itu mau ditempel di mana? Kalau sisakan eman-eman Mas. Paling tidak terpakai, terbengkalai. Bagaimana jika padar bagian kiri ditinggikan?” Begitu kata Pak Tukang.

“Ya monggo Pak. Bagaimana baiknya.”

Suatu ketika Pak Tukang bertanya lagi. “Pak ini keramiknya sisa mau ditempel di mana?”

Monggo Pak, baiknya bagaimana?” Di tempelnya keramik tersebut. Di akhir bangunan, Pak Tukang sudah mendapat bayaran, Tunu melihat-lihat teras rumahnya yang baru itu. Dia geleng-geleng kepala. Bangunannya menjadi acakadut gara-gara asal tempel dengan alasan material sisa. Tidak hanya bangunan yang acakadut tetapi juga anggarannya jadi membengkak. Apa yang bisa dipelajari dari ini? Bahwa yang baik adalah yang pas tidak kurang tidak lebih. Adil adalah menempatkan sesuatu pas pada tempatnya. Untuk menjadi adil dibutuhkan ketegasan tidak sekedar, “Monggo Pak baiknya bagaimana?”.

Di level pemerintahan, jawaban “Monggo Pak baiknya bagaimana bisa menggiring seorang pejabat masuk penjara. Ojo kliwat Kang. (MA)