blank

Majelis Gambang Syafaat Edisi 25 Mei 2017 dilaksanakan bertepatan sehari sebelum bulan Ramadhan tiba. Malam ini jamaah GS sedang berpesta. Seperti apa yang dikatakan Pak Illyas, “Jamaah GS mendahului riyoyo, puasa saja belum tapi sudah merayakan hari raya, saat ini komplit! Ada Cak Nun dan Mbah Sujiwo Tejo”. Seperti biasa, pukul 21.00 wib sudah dimulai, jamaah makin memadati kawasan pelataran aula Masjid Baiturrahman Simpang lima Semarang. Tema GS kali ini adalah “(Ojo) Mendhem Tafsir”, Gus Aniq yang mengantar jamaah menyelami tema tersebut.

Sebagai pengantar Gus Aniq bercerita tentang Mbah Jogo dan Pak Ustadz, “Tiba-tiba Mbah Jogo cengunguk duduk di teras masjid desanya saat pengajian tafsir modern berlangsung. Kebetulan waktu itu penceramah memberi suapan ayat tentang keberadaan Tuhan. Jama’ah seksama mendengarkan ustadz di mimbar itu. Ndilalah si ustadz ndalil: tentang keberadaan Allah, alrrahmaanu ‘alaa al’arsyi istawaa (QS.Taahaa:5). Jadi jika ada orang yang bertanya dimana keberadaan Allah, ya di arsy. Kuping Mbah Jogo gatel. Tidak terima Gusti Allah bersemayam di arsy. Mbah Jogo ngga terimo, karena logikanya Mbah Jogo tidak mau menerima logikanya Si Ustadz. Arsy itu ciptaan Allah, kok Allah manggon di arsy. Karena Allah tidak menyerupai sesuatu, bahkan mitsilnya saja tidak diserupa dengan Allah. Akhirnya Mbah Jogo masuk majelis, dan Mbah Jogo berteriak, “Ustadz, ngawur kowe!” Aku arep ngelokno kowe. Pak Ustadz menjawab, “Ini sudah nash, jika Anda membawa logika Anda disini, Anda sesat”. Akhire mbah jogo ninggal lungo majelis kui.

Gus Aniq melanjutkan, “Mbah Jogo dan Ustadz punya logikanya sendiri untuk memaknai ayat. Orang berlogika kadang menyebut dirinya berlogika, pun sebaliknya. Tafsir termasuk di dalamnya ada logika. Logika dikenal dengan ilmu mantiq. Imam Ghazali mengatakan bahwa belajar logika itu wajib”. Gus Aniq bercerita, “Ada santri di pondok yang saat masih bermain gitar diharamkan oleh Kyainya. Mengapa diharamkan? Ada kelenturan-kelenturan dalam memaknai hukum, yang dulunya dilarang, sekarang diperbolehkan. Karena santri harus sibuk belajar. Juga karena Kyai adalah figure utama, perkataannya dianut. Sebab apa Kiai dianut? Sebab akhlak. Tawadhu di dalam ilmu. Innama Buitsu Liutamimma Makarimal Akhlak. Aku diutus untuk, makarimal akhlak, yakni berbeda dengan akhlakul karimah. Makarim berarti jamak dari makrom yang berarti ruang, panggonan mulya yang ada dalam hidup. Jadi yang disempurnakan ada di ruang-ruang dimanapun. Caranya bagaimana? Melihat akhlak ulama”.

Lanjut Gus Aniq mengatakan, “Jadi figur ulama itu penting, pentingnya bagi umatnya kita bisa lihat akhlaknya. Ulama dibagi menjadi tiga yakni ulama’, robbaniyyun dan ‘ala dzikri. Seseorang yang dikatakan ulama itu adalah mereka yang berilmu dan potensi ilmunya menuntunnya takut kepada Allah. Robbaniyyun yakni ulama yang sregep nderes ilmu tur yo ngulangno, yang gemar belajar dan mengajarkannya. ‘Ala dzikri, ulama sebagai konsultan, mereka ditanya dan memberikan solusi dan solusinya pasti memuaskan”.

Foto: Eka Kurniawan

Memang jamaah sedang riyoyo, oleh Kang Muhajir dipersilahkan Mas Wakijo untuk tampil bersama grup barunya, Ranu. Tak lupa Kang Dur, dengan senyuman mulai memasuki arena bersama jamaah. Sudut-sudut arena GS sangat ramai, Mas Wakijo mulai mendendangkan sholawat dengan iringan gitar. Di pojok-pojok terdapat stand mechandis, juga kopi Gambang yang menemani hangatnya perjumpaan malam ini. Tak cukup dengan sholawatan, ada pembacaan puisi dari Komunitas Kaligawe (KOWE), lalu Om Budi Maryono membacakan cerita pendek (cerpen). Lalu Band AbsurdNation, tampil dengan dua lagu lalu menambah satu lagi kolaborasi dengan Gus Aniq membawakan lagu “Tombo Ati”. Setelah merasakan nuansa hiburan modern dengan Wakijo dan Ranu nya, juga AbsurdNation, sebelum sesi pertanyaan, Kang Muhajir meminta Kang Ali dan rombongan dari Kudus untuk melantun sholawat Asnawiyah. Kang Ali memberi pengantar bahwa grup rebana JTS (Jamiyah Taswiqusy Subban) melantunkan sholawat Asnawiyah bukan tanpa alasan, karena di sana terdapat lirik yang mendoakan Indonesia agar aman, sangat pas dengan kondisi sekarang yang rasanya setiap orang sedang merancang perang.

Setelah beberapa saat dihibur dengan musik, puisi, dan cerpen serta lantunan Sholawat Asnawiyah, Tiga pertanyaan disampaikan jamaah.

Pertanyaan pertama datang dari Ozi asal Sidoarjo, Ia mengatakan, “Kebetulan banyak berita di media sosial, ada salah satu ulama mengatakan bahwa filsafat untuk menafsirkan sesuatu yang berkaitan dengan duniawi itu boleh, tetapi untuk urusan agama tidak boleh. Bagaimana pendapat Anda terkait hal itu?” Pak Illyas langsung merespon pertanyaan Ozi. Pak Illyas mengatakan, “Filsafat itu kalau menurut saya bagaimana cara pandangmu. Menurut Anda, mungkin filsafat hanya berfungsi untuk urusan dunia. Kalau filsafat untuk mencari kebenaran, itu cara pandang saja. Bergantung kita mau menggunakan pada sisi mana filsafat. Islam memberikan pandangan kita tidak hitam-putih. Bagaimana pintar-pintarnya kita menggunakannya, agamapun saat ini bisa dijadikan alat mencari uang, sudah tidak seperti tujuannya. Jadi menurut saya, Anda kembalilah memandang suatu masalah tidak terlalu sempit, hidup ini sangat luas. Jadi itu cara pandang, perlu Anda perluas lagi, itu satu nilai yang harus dikembangkn, dinamis, berjalan terus”.

Kang Ali menambahkan, “Untuk mendekati agama boleh dari filsafat, seperti kita boleh mendekati dan mengukur Al Quran dari sisi pandang sains, salah satu pisau analisa untuk membedah agama, dan asal niatannya baik itu tidak apa-apa”.Cuma perlu di ingat, ibarat buah, untuk mengupas buah bisa dengan pisau, dengan silet. Dan Alquran itu ya buah ya sekaligus pisaunya. Disana terdapat informasi yang perlu dibedah, tetapi juga terdapat paradigma membedah.

Pak Saratri juga menambahkan, “Kita lihat defnisi filsafat, filsafat itu artinya cinta kebijaksanaan, filsafat bisa saya artikan tadabbur. Karena dalam Al Quran tidak ada perintah ayat untuk menafsirkan, Al Quran kita tadabburi dengan cara diambil pelajarannya bukan mempelajarinya. Sedangkan tafsir adalah tugas seorang mufasir, merupakan tugas berat. Kita disuruh mengambil pelajaran darinya”.

Pertanyaan kedua dilontarkan oleh Luthfi Rahman asal Kebumen. Ia menanyakan, “Di media sosial sekarang berkeliaran tentang berbagai sumpah (Mubahalah), bagaimana hukum sumpah itu?” Merespon pertanyaan Luthfi, Gus Aniq mengatakan,” Mubahalah di dalam Al Quran berakar dari kata bahala, yubahilu, mubahalata yang berarti saling mengutuk, saling melaknat, hukumnya ada di dalam Al Quran. Seumpama ini ada jelas orang A ngomong salah dan goroh, tetapi si B bisa membuktikannya, tetapi menurut si A, si B juga goroh. Intinya saling mengutuk”.

Pertanyaan ketiga datang dari Muhammad Sholahuddin Abdullah asal Rembang. Ia mengatakan, “Dalam ayat ke 183 surat Al-Baqarah disebutkan, wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa. Yang dimaksud di sini orang-orang yang beriman seperti apa? Banyak orang Islam tapi belum beriman”. Direpon langsung oleh Pak Saratri yakni, “Hai orang yang beriman, puasa untuk orang yang beriman dan bertaqwa. Kita harus tahu bahwa hidup kita ini sudah taqwa, kita sudah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Maksudnya kita sudah ada bibit-bibit taqwa, lalu kita diminta berpuasa. Didasari suatu iman, menuju pada hal yang diimani tadi, yaitu iman kepada Allah. Puasa artinya menahan diri, ketika zaman Rasulullah puasa diatur secara syariat. Meskipun puasa pun bisa dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan kita sehari-hari. Puasa adalah menahan diri, wujudnya adalah menyedikitkan suatu yang kita cintai. Apapun yang kita cintai, kita batasi agar nafsu-nafsu kita terarah. Manusia diberi Allah tiga alat yaitu akal, qolbu, dan syahwat. Puasa untuk memanajemen ketiganya itu”.

Foto: Eka Kurniawan

Suasana makin hangat, karena jamaah yang datang makin ramai, bahkan ada beberapa jamaah menikmati suasana ngaji dari luar pagar Masjid Baiturrahman dan ada yang naik ke pohon mangga karena tempat yang sudah ramai akan kerinduan.

Bersamaan dengan itu, Mbah Nun, Sujiwo Tedjo, Habib Anis, Pak Kyai Tohar (Toto Raharjo), Miss Anne, kemudian disusul Kyai Muzammil ikut guyup bareng janatul Maiyah..

Habib Anis menyambut dengan hangat, “Malam ini sangat istimewa, Mbah Nun sudah hadir, ada Sujiwo Tedjo, dan Miss Anne juga Kyai Tohar. Kita akan berdialog kesana kemari. (Ojo) Mendhem Tafsir, tema malam ini”.

Microphone berpindah Mbah Nun. Sebagai pengantar Mbah Nun mengatakan, “Yang pertama kalau Anda berada di tengah badai, angin puting beliung yang bisa menyeret kesana kemari, maka Anda harus bisa menciptakan udara yang lengang di sekitar Anda, seolah-olah Anda seperti didalam tabung. Sementara jika Anda dalam kondisi lengang, Anda harus menciptakan badai di sekitar Anda. Jika Anda di utara, Anda harus merancang untuk berada di selatan, karena Anda bisa ada di antara keduanya. Ketika Anda berada di timur, Anda harus memecah diri Anda, mengenali sedulur papat, lima pancer, sebenarnya Anda berada di empat tempat. Sehingga Anda berada di satu tempat tetapi Anda bisa berada di empat tempat yang lain. Saat ini kita dibuat bingung karena dikelilingi hal-hal yang membingungkan, kita digedei oleh kahanan yang membingungkan. Sehingga jalan yang paling radikal adalah mengelilingi kebingungan, takaburilah kahanan dan masalah di sekitar Anda, Anda harus takabur kepada masalah dan diri anda sendiri, jangan takabur dengan orang lain”.

Mbah Nun menambahkan, “Oleh karena itu kita harus siap berada di banyak tempat sekaligus secara dinamis dan dialektis, kita tidak bisa berdiam di satu tempat secara statis, selama di kehidupan ini tidak ada apapun yang selalu diam. Rembulan berputar di porosnya, bersama bumi dia mengitari matahari, sekaligus bersama bumi dan matahari dia juga berputar di porosnya. Hidup adalah gelembung-gelembung, dan Anda sedang berada di Maha Gelembung, yakni Allah SWT. Agar Anda selalu mengalami dalam pekerjaanmu, mengalami dinamika untuk tidak kalah oleh keadaan-keadaan, Anda punya kelincahan untuk meloncat kesana kemari, dinamis bukan untuk eskapisme atau lari dari keadaan-keadaan”.

Tadabbur dan Tafsir

“Ini Indonesia berperang karena masing-masing saling berdiri di kebenaannya masing-masing. Sesungguhnya tidak ada manusia yang memiliki kebenaran, yang manusia miliki hanya penafsiran-penafsiran yang dia tafsirkan sendiri.” Ungkap Mbah Nun. Ia menambahkan, karena kebenaran yang sejati tidak akan ditemukan. Maka kalau ada yang terikat oleh tafsir, orang akan terpecah-pecah menjadi madzhab, sekte-sekte, aliran-aliran dan sesungguhnya dia adalah orang yang tidak punya kemampuan untuk menjadi manusia, dia hanya punya kemampuan menjadi batu atau rumput. Kalau Anda mulia Anda bisa menjadi malaikat, karena malaikat berposisi statis, pasti, dan tidak ‘menjalankan’ selain yang disutradarai oleh Allah swt. Anda sebagai manusia memiliki hak qodho, qodar, dan nasib karena Anda terus bernegosiasi dengan pusat kehendak. Jadi pusat kehendak yang namanya Allah itu dia kadang memproduksi Kun, dan terjadilah Fayakun. Bukan Fakana. Kun Fayakun, saat ini Anda sedang berada di tengah-tengah prsoes penciptaan, you’re inside of fayakun, sekarang ini kita berada dalam 6 hari Allah menciptakan. “Ini bukan kebenaran, ini adalah tafsir saya.”

“Prinsip tafsir itu begini, tidak ada kebenaran dari dirimu, yang ada kebenaran dari Tuhanmu, al haqqu min robbi. Tidak ada pernyataan lain. Wa qulil haqqu mirrabbikum, faman sya-a fal yu’min, waman sya-a falyakfur Anda boleh memetik sedikit dan menafsirkannya. Anda boleh ngomong kebenaran kepada siapa saja, tapi kamu harus siap kalau ada orang yang setuju dan tidak setuju. Inilah kasus di Indonesia, dimana kita tidak siap dibangkangi yang lain, maka terjadilah pertarungan yang tidak habis-habis sampai hari ini, demi menyatakan kebenaran terjadi bela Islam, karangan bunga, lilin, dan lainnya. Tidak ada di dalam Al Quran perintah Allah untuk membawa kebenaran, yang ada fal ya’mal amalan sholihan, yaitu perbuatan yang sudah kamu hitung kemaslahatan kolektifnya, bukan kemaslahatan untukmu. Sholeh itu artinya sesuatu yang sudah simulasi, dimuhasabahi, dihitung mudharat manfaatnya, baru kamu kemukakan jika sudah mendekati hal yang pasti, yakni kemaslahatan bersama. Jangan membawa kebenaran dirimu tanpa memikirkan, jangan-jangan itu ditolak orang dan jangan-jangan kalau itu membawa mudharat bagi orang lain. Jadi tidak ada perintah Allah untuk membawa kebenaran. Kebenaran letaknya ibarat warung, letaknya di dapur. Jangan sekali-kali kamu bangga dengan identitasmu karena itu hakikat yang terendah dari kehidupanmu.”

Sujiwo Tedjo menambahkan, “Jika tidak ada kebenaran tetapi dalam kehidupan sehari-hari, harus ada tafsir yang Anda yakini. Kamu harus bersikap. Bahasa itu dibikin manusia untuk mempermudah dan berlibet, bahasa juga menjebak. Makanya orang perlu musik”.

Foto: Eka Kurniawan

Pak Kyai Tohar menambahkan, “Saya ingin mengingatkan kita harus waspada pada setiap kata, kalimat, dan bahasa. Kita juga harus punya pegangan, di Maiyah ada yang namanya tadabbur. Menurut saya dalam tafsir ada urusan ‘kuasa pengetahuan’, kalau Al Quran Anda harus punya ilmu, tetapi kalau tadabur sangat mungkin, apapun yang kita gali dan pelajari itu membikin kita lebih baik atau tidak atau bahkan tadabur itu bisa mendekatkan kita kepada Sang Pencipta atau tidak. We make the road by walking, berjalan dengan membuat jalan. Jika kita menggunakan tafsir, debat nya panjang. Tadabur adalah yang penting, apa yang kita tadaburi membikin kita baik atau tidak. Tafsir menurut saya adalah kuasa”.

Pak Muzamil menambahkan, “Memang dalam Al Quran itu tidak ada kalimat secara verbal untuk ‘tafsir’ itu tidak ada. Tetapi untuk tadabur itu ada. Tafsir itu lahir karena kebutuhan akademik, jadi belakangan lahirnya. Bahwa Al Quran itu butuh dipelajari secara akademik, maka muncul ilmu tafsir, kemudian dibutuhkan perangkat-perangkat ilmu yang lain. Di antaranya ilmu nahwu yang digagas oleh Sayyidina Ali. Padahal tafsir itu butuh ilmu nahwu, juga butuh ilmu shorof, balaghoh, dan lainnya”.

Kemudian Mbah Nun menambahkan, “Jangan mendikotomikan, jangan mempertentangkan tafsir dan tadabur, positioningnya harus saya jelaskan. Firman Allah kepada manusia ialah akalnya, karena ayat Allah itu bertebaran dalam tiga wilayah yakni di alam semesta, diri manusia, dan literasi teks Al Quran. Jadi menurut saya karena perintah Allah itu tadabur, tetapi tafsir diperlukan sebagai kemungkinan alat untuk mentadaburi Al Quran, tafsir terikat oleh tadabur”. Jadi tadabur mempersyaratkan ‘terserah’ kamu menafsirkannya, asalkan keluarnya dari dirimu kepada orang lain dan alam semesta adalah rohmatan lil ‘alamin”.

Foto: Eka Kurniawan

“Kenapa ada perpecahan madzhab? Itu karena kelompok akademis. Imam Hambali dan Hanafi tidak punya niatan membuat madzhab. Tafsir diperlukan tapi harus ada tadabur. Umat Islam selama 14 abad hasilnya bertengkar satu sama lain, mengkafirkan satu sama lain karena tradisi tafsir dipolitisir menjadi kuasa akademis. Tafsir adalah persepsi analisis yang bersifat interlektual terhadap informasi dari Allah. Kalau informasi dari non-Allah balum tentu benar dan belum tentu memberi hidayah. Kuncinya adalah pada takwa yakni aplikasi yang harus Anda tingkatkan terus sampai Anda kompatibel terhadap hidayah Allah. Anda tidak bisa menghindari tafsir, tafsir diperlukan sewaktu-waktu. Jangan mengandalkan tafsir sebagai prinsip utama. Yang utama dalah tadabur, sepanjang Anda menggunakan akal, itu adalah tafsir. Tetapi akal tidak bisa memimpin manusia, yang mampu adalah hati yang menuju Allah. Hati adalah presiden, akal adalah perdana menteri. Manajemen dan pengorganisasian hal-hal dalam kehidupan ini tidak diperhatikan. Tadabur harus mengikat Anda, tapi tafsir boleh iya boleh tidak.”

“Kebenaran adalah input, kebijaksanaan. Outputnya bukan kebenaran, outputnya adalah rohmatan lil ‘alamin. Wajadilhum billati hiya ahsan, bantahah mereka dengan yang baik. Kita tidak harus setuju dengan apa-apa di sekitar kita. Itulah Maiyah, yang saya berikan ke Anda adalah kasih sayang benihnya adalah kebenaran. Tadabur adalah persyaratan keindahan dan kesalehan. Menyenagkan tetapi harus dalam kebaikan. Dalam kebenaran menjadi kebaikan itu perlu strategi untuk menjadi kesalehan. Kesalehan adalah sesuatu sebelum kamu lakukan sudah kamu simulasi, kamu rasakan dan kamu muhasabahi. Orang yang diislah adalah orang yang butuh didandani, di refresh”. (Maulana Malik Ibrahim)