blank

Gambang Syafaat kembali digelar. Rutinitas maiyah setiap tanggal 25 pasti dipersiapkan dengan baik. Karpet, tikar, tratak, layar LCD bahkan perangkat streaming agar Jannatul Maiyah yang tidak bisa hadir bisa menikmati dari jauh melalui media radio online. Meski memasuki musim hujan, para jamaah dari berbagai kota di luar kota Semarang tetap setia menyimak kajian ilmu agar semakin terbuka cakrawala ilmu. Gambang Syafaat edisi 25 Oktober mengangkat tema “Satu Mata Membaca”.

Pengajian dimulai dengan bacaan Surat Al-Waqi’ah, udaran tema dari beragam narasumber hingga sesi tanya jawab. Meski sempat dilanda hujan sebentar, tak membuat niat para jamaah meninggalkan kompleks Masjid Raya Baiturrahman. Para jamaaah malah semakin rapat, semakin nyaman dengan posisi duduk atau tetap berdiri hingga berjam-jam. Apalagi Emha Ainun Najdib atau Mbah Nun rawuh pada malam tersebut.

Para jamaah memanfaatkan kehadiran Mbah Nun dengan beragam pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan dari para jemaah dilontarkan dengan nada beragam, ada yang bersemangat, pelan, bahkan keras. Para jamaah bahkan menanggapainya dengan santai sambil tertawa. Tak ada kesan tersinggung atau tersakiti. Bahkan Mbah Nun menjawab beberapa pertanyaan itu dengan antusias. Para jamaah kembali tertawa atas jawaban—jawaban Mbah Nun. Tak nampak dahi para Jamaah berkerut atas apa yang disampaikan oleh Mbah Nun. Semua nampak bahagia.

Rizal, jamaah asal Nusa Tenggara Timur (NTT) menanyakan agama dari Tuhan itu sendiri setelah menceritakan kondisi masyarakat NTT yang beragama Islam, Kristen dan Protestan.

Mbah Nun menjawab dengan pernyataan bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan beliau jawab sebagai rasa persaudaraan. Semua dikembalikan kepada jamaah. Mbah Nun selalu mengingatkan jawaban beliau bukan kebenaran yang harus selalu dipegang. Mbah Nun mengajak para jamaah untuk lebih mencari jawaban kepada sumber-sumber lain terutama Alquran. Maiyah adalah mata air. Silahkan mengambil ilmu dari maiyah dengan cara apapun dan dimanfaatkan untuk hal apapun juga ujar beliau.

Tentu saja pertanyaan Mas Rizal mendapat tawa dan tepuk tangan dari para Jamaah. Mbah Nun mengajak para jamaah untuk kembali memaknai Agama. Agama itu cara mengabdi, cara menyembah. Yang relevan dan pantas disembah adalah yang punya saham atas diri kita, yang menciptakan. Supaya kita bisa kembali kepada Dia yaitu dengan cara menyembah. Agama dibutuhkan untuk pihak yang ingin menyembah atau mengabdi. Tuhan itu mengabdi siapa? Tuhan tidak punya kewajiban untuk mengabdi kepada siapapun. Tuhan itu Ilahinnas. Tuhan itu bukan manusia. Para jamaah semakin khidmat menyimak ujaran-ujaran beliau.

Mbah Nun menambahkan lagi tentang jenis—jenis ibadah. Cara mengabdi ada dua. Pertama ibadah yang ditentukan oleh Allah. Ibadah ini disebut Ibadah Mahdhoh. Kedua, ibadah yang ditentukan yang menyembah atau ibadah yang dibuat atas kesepakatan manusia atau Ibadah Muamalah, seperti sholawatan dan sebagainya. sholat adalah ibdah mahdhoh, karena yang menentukan Allah. Orang sholat 5 waktu itu Tuhan yang menentukan, bahkan cara dan bacaan sholat sudah ditentukan oleh Allah.

Yang disebut islam adalah itu satu tatanan kehidupan, ada metabolsimenya, ada sistemnya. Islamnya alam itu pasif. Islamnya manusia adalah tawar menawar. Maksudnya jika manusia melakukan A akan berakibat B dan sebaliknya. Islamnya alam beda sama Islamnya manusia.

Mas Agus dari Demak melemparkan pertanyaan kepada Mbah Nun bab pengalaman pribadi atas manusia yang terkadang sok memikirkan daerahnya secara serius.

Mbah Nun pun kembali mengingatkan kita bahwa manusia adalah khalifah. Kita mendapat amanah untuk mengkhalifahi apa saja. Kita berhak bahkan berkewajiban memikirkan keluarga, masyarakat atau negara. Tapi Allah memberikan keringanan agar apa yang kita khalifahi sesuai dengan ukuran kemampuan kita. Kalau hanya bisa memikirkan diri kita sendiri itu wajar. Itulah kadar batas. Itu gunanya ilmu karena sebagai batas. Ilmu paling utama adalah puasa karena melatih kita mengatur batas-batas kemampuan kita.

Ada juga Mas Prima yang menanyakan bagaimana kedudukan Akal, Qalbu, dan Nafsu sehingga bisa mendudukan ketiganya secara benar. Mbah Nun selalu mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan sederhana. Mudah dimengerti para jamaah dan tak kadang menimbulkan gelak tawa para jamaah.

Manusia terdiri atas Akal, Hati dan Syahwat. Syahwat ada dua macam yaitu syahwat individual dan sosial. Syahwat individual di bagian perut ke bawah dan syahwat sosial ada di bagian perut ke atas. Mbah Nun mengajak para jamaah untuk mentadaburi surat An-Nur ayat 35. Dalam surat tersebut diri (misykat), hati (misbah) dan akal (zujajah).

Semua dikembalikan kepada jamaaah. Silahkan jamaah boleh menerima jawaban atau tidak karena di maiyah kita diajak membuka cakrawala ilmu seluas-luasnya agar manusia mampu menerima kebenaran dari berbagai sudut. Terus menerus mentadabburi Alquran. Begitu pesan Mbah Nun. (Redaksi-Priyo Wiharto)