blank

25 September 2017, Gambang Syafaat memilih tema “Menyongsong Zaman Waras”. Hujan mengguyur dari langit malam Senin. Tidak menyurutkan semangat jamaah Maiyah untuk datang belajar. “Dimanapun kita belajar di lingkaran maiyah, disitu kita sedang dibersamai oleh Mbah Nun”, ucap Kang Jion.

Tidak seperti biasanya, di malam ini jamaah yang hadir ingin mengetahui respon atau ‘kemesraan’ jamaah lingkar Maiyah. “Kenapa Anda datang kesini “, tanya Kang Muhajir kepada empat jamaah yang sedang melingkar di sisi gedung Masjid Baiturrahman Simpang Lima. Respon pertama datang dari Mas Indra yang berasal dari Lampung. Ia mengatakan bahwasannya yang membawa saya rindu kepada Lingkar Maiyah adalah karena adanya tarikan energi dari Allah. Kedua, Anggi dari Gresik, menjelaskan mengapa dia mengikuti Maiyahan di Semarang. Ia mengatakan bahwa ia ingin menyambung silaturrahim dengan Maiyah Semarang, Gambang Syafaat khususnya. Arya dari Gubug Purwodadi, salah satu srikandi merespon bahwasannya kedatangan ke Maiyah karena melihat video dari Cak Nun ketika beberapa hari yang lalu mengisi kegiatan di Perth, Australia. Terakhir dari Sigit asal Ponorogo. Ia mengatakan, “Beberapa kali saya sering ikut di lingkar Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, tetapi disini ada rasa nyaman ketika bergabung di lingkar maiyah.

Salah satu ciri-ciri dari Jamaah Maiyah adalah rasa paseduluran yang kental hingga membuat para jamaah selalu rindu. Selang beberapa waktu, bersamaan dengan Om Budi Maryono, Kang Ali datang. “Assalamu’alaikum Warahamtullahi Wabarokatuh”, salam Kang Ali membuka pembicaraan. “Saat saya mengetahui temanya Menyongsong Zaman Waras, terus terang kalau bertemu kata ‘waras’, saya langsung larinya begini waras itu untuk ngukur apa. Kalau kita punya benda itu bobotnya berapa? Kalau tali, itu berapa panjangnya? Kalau bertemu kata waras, lalu ‘waras’ itu untuk mengukur apa sih?”, tanya Kang Ali kepada dirinya sendiri.

Kang Ali mencoba membuka diskusi terkait tema Gambang Syafaat kali ini dengan pembahasan tentang Mukallaf. Kang Ali mengatakan, “Mukallaf yakni orang yang sudah diberi tanggungjawab hukum, misalnya kewajiban melaksanakan salat. Orang yang secara hukum dia harus sudah melakukan hukum, dan dimintai pertanggungjawaban hukum atas perintah-perintah Allah, contohnya puasa, shalat, dan lain-lain”. itulah orang yang mukallaf. Lebih lanjut Kang Ali menjelaskan, “Mukallaf itu ada tiga syaratnya: (1) Baligh, (2) Berakal sehat, dan (3) Dakwahnya telah sampai. Jika sudah terpenuhi ketiganya, ia sudah bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. Namun jika ia tidak memenuhi salah satu syarat untuk memenuhi Mukallaf, maka ia belum bisa disebut sebagai orang yang Mukallaf”, wong edan, cah bayi tidak dituntut untuk melaksanakan perintah-perintah Allah.

Kemudian Kang Ali menjelaskan lebih mendalam satu persatu syarat Mukallaf. “Baligh itu ciri-cirinya yakni kalau laki-laki sudah pernah mengalami mimpi basah. Begitupun perempuan mengalami menstruasi. Maka baligh itu lebih mencirikan fisik (tubuh). Jika diibaratkan computer, baligh itu secara hardware sudah sempurna. Lalu yang kedua adalah ‘waras’, yakni untuk mengukur akal sehat tadi. Baligh itu ukuran hardware, sedangkan operating system-nya yakni akal sehat tadi.” Lalu bagaimana mengukur kewarasan? Pertanyaan yang sejak awal sudah dilontarkan oleh Kang Ali. “Yakni yang pertama punya malu. Kedua, bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik.

Ciri kewarasan biasanya di dalam literatur,  dua tersebut. Menurut Kang Ali, dua ukuran waras tersebut tidak cukup, sebab di zaman sekarang yang penuh dengan manipulasi, malu bisa dikaburkan standarnya, baik dan buruk bisa dibolak balik, di abu-abu kan. Di Belahan dunia tertentu, orang bertelanjang dada bagi perempuan, bukan hal yang memalukan. Di kebudayaan tertentu, minum-minuman kerasa bukan hal yang tidak baik.

Kang Ali menambahkan ciri ketiga, yakni orang waras itu melakukan sesuatu kepada orang lain dengan ukuran dirinya, maksudnya begini, orang waras tidak mungkin melakukan tindakan A, jika tindakan A tersebut saat ditimpakan ke dirinya, keberatan atas tindakan A tersebut. Orang waras pasti mengatakan bahwa memperkosa itu tindakan tidak waras , sebab tidak ada orang waras yang mau dirinya, atau  ibunya, atau anaknya diperkosa. Gampangnya, orang waras mempunya ciri ketiga, bisa memanusiakan manusia. Nah dengan ciri ketiga ini, kita bisa mengukur apakah tindakan-tindakan kita termasuk dalam memanusiakan manusia, jika tidak, maka bisa jadi kewarasan kita sudah sakit.

. (RedaksiGS-Malik)