blank

Ia yang selalu hadir menghangatkan malam-malam Gambang Syafaat, Wakijo and Band. Kelompok musik yang lahir dan tumbuh dari lingkaran Gambang Syafaat ini pada malam itu (25/08) melantunkan tiga lagu, di awal, di tengah, dan di akhir. Lagu-lagu yang dibawakan juga mengiringi perjalanan Gambang Syafaat.

“Monggo Mas Wakijo, membawakan lagu yang dapat menggugah paseduluran.” Begitu Kang Dur mengantar Mas Wakijo naik ke atas panggung. Lagu pertama yang dia lantunkan pada malam itu berjudul “Gambang Trisno” katanya, lagu ini digubah pada tahun 2008, saat Gambang pada waktu itu mau bangkit lagi, mau ramai lagi.

Begini penggalan lirik lagu berjudul Gambang Trisno tersebut “Nalikane bengi aku linggeh njobo bintang lan rembulan ngawe-awe. Seroso ngandani, wujudke trisnamu istiqomah lakon becikmu, trisna sedulur-sedulur.”

Lagu itu menceritakan suasana bergambang, lebih luasnya bermaiyah. Bahwa kedatangan saudara-saudara itu untuk mewujudkan cinta, duduk mendengarkan menghimpun ilmu dan nanti jika sudah cukup ilmu pada gilirannya menyebarkan ilmu tersebut. “trisnani sedulur-sedulurmu, kabeh manungso tanpo bedo. Trisnani ciptaaning gusti, kabeh bongso.”

Untuk yang tidak tahu bahasa Jawa, kira-kira begini isi lagu tersebut dalam bahasa Indonesia; Aku menunggumu saudara-saudaraku, duduk melingkar disini, dibawah sinar bulan dan bintang-bintang untuk mewujudkan cinta kita, duduk berjajar belajar untuk nanti gentian menebarkan ilmu. Ayo saling mencintai, membagi-bagi cinta kepada sesama tanpa beda. Kepada seluruh makhluk ciptaan Gusti, seluruh manusia, seluruh bangsa.

Memang demikianlah alasan kita berkumpul tidak lain adalah untuk menerjemahkan cinta. Malam itu banyak jamaah yang hadir, kadang-kadang kita tidak bisa menalar alasan mereka hadir. Ibu-ibu duduk persis di depan panggung, ada Bapak-bapak duduk di kursi roda di dorong oleh anaknya, ada juga bapak-bapak yang kurang penglihatannya dituntun oleh cucunya. Ada anak muda datang jauh-jauh dari Solo. Dia bercerita sebelum acara dimulai, “Saya tidak betah di kelas, saya tidak nyaman belajar di sekolahan. Oleh ibu saya, saya di suruh ikut pengajian-pengajiannya Cak Nun. Saya belum lama, baru empat bulanan. Saya nyaman belajar dengan cara begini.”

Mbah Nun mengajarkan untuk melakukan tiga hal, tandur, poso, shodakoh. Ketiga hal ini dapat dilakukan jika insan memiliki cinta. Tanpa cinta seseorang akan serakah, ia tidak mungkin menanam apalagi menahan diri, lebih-lebih berbagi.

Untuk lagu kedua, Mas Wakijo ditemani Marli membawakan lagu berjudul “Jalan Sunyi” karya Mbah Nun. Vokal Wakijo yang menghentak dan petikan Marli yang bergenting-denting menyatukan hati para jamaah yang hadir. “Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu, sendiri di lubuk hati puisi yang ku sembunyikan dari kata-kata.”

Lagu ini kata Wakijo telah menginspirasinya menciptakan tiga lagu. Lagu dan puisi ini adalah pijakan Syaikh Kamba menulis sebuah esai berjudul “Maiyah dan Jalan Sunyi”. Katanya “Sebuah puisi itu menggunakan kata-kata, tetapi tanpa kata-kata aku tetap berpuisi.”

Lagu terakhir yang dibawakan oleh Wakijo berjudul “Mencari Kehadiran”. Lagi-lagi Mas Wakijo mendendangkan tentang cinta hinga malam itu bertabur cinta, memang hanya cinta alasan seluruh orang yang hadir itu untuk berkumpul. Begini penggalan syairnya, “Tersudut anganku, teraniaya bunyi-bunyi makna. Cinta yang aku tahu berbeda dengan cinta yang kau beri seindah ini.”

Dendangan Mas Wakijo di lagu terakhir ini bercerita tentang penantian kehadiran Tuhan di sisi manusia untuk memeluk, mengusap kepala, mengasihi dengan segala cinta. Terimakasih Mas Wakijo, Mas Marli dan teman-teman semuanya. Terimakasih atas shodakoh lagu-lagunya, ditunggu karya-karya yang lain di pertemuan-pertemuan agung yang akan datang. (Muhajir Arrosyid)