blank

Mbah Nun mulai menguraikan pertanyaan Warno dengan menandaskan pada Sangkan Paran. “Iki negoro iki wes loro opo? Kowe kui ndelokke seko endi? Lha Koe ki begitu sekolah, dadi PNS, mentri, presiden, dadi ternak. Kamu ada di dalam kandang, dan kamu ngertinya kandang kamu itu.”

Mbah Nun menjelaskan, di Maiyah kita harus menjadi tiga makhluk yang berganti-ganti fungsinya. Pertama, Ikan dalam kolan, ia tidak bisa memahami kolam. Maka setelah Anda telah keluar dari kolam ke daratan, Anda sudah bisa melihat lebarnya kolam, jumlahnya ikan, dan lainnya. Atau Anda bisa jadi wedus. Tapi tidak cukup jadi ikan dan wedus, di Maiyah ini kita belajar menjadi burung, kita harus punya mata pandang burung, sehingga kita bisa melihat dari atas, oalah ngopo kui menungso kedabikan koyo ngono kui. Dan itu hanya Anda bisa pahami kalau kita luru sangkan paran.

Kalau berpikir jangan seperti ikan dalam kolam, jadilah ayam yang menotol ke sana ke mari, syukur bisa menjadi burung. Burung adalah makhluk yang istimewa. Jadi Tidak usah mendiagnosa kalau negara Indonesia sakit apa? Tidak usah. Tenang saja. Indonesia sakit saja tidak terasa sakit, justru karena merasa sakit dia malah jadi sakit.

Terhadap pertanyaan dari Warno, Mbah Nun melebarkan penjelasannya hingga ke permasalahan kepemiminan. Mbah Nun memulai dengan landasan sangkan paran dan menanyakan pembahasan mengenai khalifah di sekolah selama ini? Pak Ilyas menjawab kholifah adalah pemimpin.

Lebih jelas lagi Mbah Nun menerangkan bahwa di Al-Qur’an tidak ada penjelasan mengenai menjadi pemimpin. Tidak ada. Dalam Al-Qur’an yang disebutkan adalah belajar memilih pemimpin, tidak ada anjuran menjadi pemimpin atau imam. Adanya adalah kepatuhan atau ittiba’. Mbah Nun juga mewanti-wanti kepada jamaah dengan mengutip perkataan Nabi: koe ojo njaluk kuoso, jangan menawarkan diri jadi penguasa. Jadi sekarang yang nomor satu itu adalah memastikan khilafah Anda, memastikan bahwa Anda khalifah yang berada di punggung Allah, menepuk jejak tauhid dalam hidupmu.

“Jadi mari kita pelajari khalifah itu. Jadi khilafah itu bukan pemimpin, jadi khalifah itu kamu di belakang gusti Allah, gusti Allah punya karep apa jadi kamu ikut karepe gusti Allah bersama kanjeng Nabi. Jadi makna khalifah itu sing ning mburi, wong sing nggenteni, suksesor, nggenteni. Aplikasinya ke dalam hidup Anda kita sebut saja taquyatul maiyah, taquya itu pastikan bahwa kamu mendapat sesuatu dari maiyah yang membuat etos kerjamu meningkat di tempat kerja, membuat hidupmu tenang di rumah tangga, membuat kamu lebih dewasa dan lebih jembar, dan cerdas. Membuat kamu lebih bisa menjadi penyeimbang dari lingkungan hidupmu. Kan Maiyah ini salah satu cirinya adalah  keseimbangan mental. Kenapa Anda bertahan sampai berjam-jam. Keseimbangan antara spiritualitas, intelektualitas, mentalitas, dan semuanya.”

Malam semakin asik, jamaah mekin mesra. Inni jailun fil ardhi khalifah, Mbah Nun menjelaskan bahwa khalifah sebenarnya adalah terapan Islam, Islam itu namanya tetapi juklaknya adalah khalifah. Islam adalah segala sesuatu untuk berproses, untuk bertauhid. Apa saja yang sifatnya proses tauhid namanya Islam. Apapun itu makhluk tauhid berarti dia menjalankan Islam. Alam semesta ini pasti berarti Islam. Jadi, apakah mungkin Allah menciptakan sesuatu yang tidak Islam karena tidak mungkin secara ruang dan waktu harus kembali kepada Allah dalam keadaan apapun, arep nang ndi koe arep mbalik selain ning gusti Allah. Jadi tidak ada kemungkinan lain kecuali tauhid. Tauhid adalah prinsip dasar dari Islam. Padahal jauh sebelum Nabi Adam sudah ada tauhid. Sejak kapan tauhid itu dimulai? Sejak Nur Muhammad. Berarti kata pertama dalam Islam ada kalam, qoul, ilmun, ada sistemnya ada wujudun ada aplikasinya. Maka klaim yang pertama lahirnya Islam ‘kata’ apa? Kun. Begitu Allah berkata Kun, berlangsunglah Islam. Bukan terjadilah Islam. Berlangsunglah Islam sampai sekarang. Kalau terjadilah, wis mandeng berarti sudah. Maka berlangsunglah. Berlangsunglah itu mulai sekarang, sampai nanti. Jadi bukan Kun fakkaana, bukan jadilah! Tetapi Yaa kun, sedang berlangsung, sedang terjadi.

Asadunnar, Waqudunnar, dan Kilabunnar

Selanjutnya Mbah Nun menceritakan tentang neraka, dan ada siapa saja di dalamnya. Mbah Nun menjelaskan yang pertama ada Asadunnar atau singa-singa di neraka. Singa ini jangan dibayangkan sebagai singa (hewan). Singa ini ditangkap sebagai karakter, asadunnar. Ini adalah orang kafir yang gagah dalam kekafirannya dan memilih kafir dengan jujur, jantan. Maka dia singa. Kedua, ada Waqudunnar yakni kayu bakarnya neraka yang terdiri dari jin dan manusia. Kayu bakar itu sebuah karakter sesuatu yang dipakai untuk memelihara pembakaran. Tapi intinya adalah apa saja yang dipakai untuk memperbesar proses pembakaran.

“Kenapa saya tipe menyuruh untuk tidak mencari kekuasaan? Karena Kalau kamu mencalonkan diri, Tuhan tidak ikut campur terhadap resiko-resikonya. Gelem kowe urip tapi gusti Allah tidak membela hidup kita? Kemudian Mbah Nun menganalogikan dengan cerita direktur dan sopir. Mbah Nun mengatakan, dadi direktur kamu tidak punya atasan, maka kamu yang tanggung jawab segala sesuatunya. Tapi kalau kamu jadi supir, mengantarkan barang, direkturmu, yang tanggungjawab terhadap seluruh resiko dari pekerjaanmu. Saiki uripmu duwe bos besar sing jenenge Allah SWT. Dadi kowe ngelakoni opo-opo amargo karepmu dewe opo perintah Allah swt. Yen karepmu dewe, yo tanggungen dewe yen ono opo-opo. Ning nek koe nglakoni kui amargo perintah Allah, maka Allah bertanggungjawab terhadap resiko-resiko Anda.”

Menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya memilih pemimpin itu? Mbah Nun menerangkan, bahwa pemimpin itu nomor satu kualitatif-substansial, maka dia harus melalui proses sosial yang panjang. Jadi pemimpin itu dilihat dari tingkat RT, RW hingga nasional. Sehingga memilih pemimpin bukan waktu pilkada, tapi sehari-hari.. Jadi mekanisme sosial budaya masyarakat itu proses untuk mencari pemimpin dan pilkada itu resepsinya. Lalu siapa yang menjadi waqudunnar itu? Ialah orang yang tidak mau belajar, bodoh dan akhirnya menjadi generasi jahiliyyah.

Ketiga ada Kilabunnar, anjing-anjing neraka. Anjing neraka itu adalah orang – orang yang bertindak berdasar endi sing luwih bati, untung, lan slamet. Bak duri yang menempel dalam ketiak, dimana saja ikut. Jadi kilabunnar adalah orang-orang yang munafik. Dikerjakan jika tahu untung.

Sudah mendekati sepertiga malam, Mbah Nun menjawab pertanyaan lain dari Aan asal Batang. Ia menanyakan, apa kriteria utama orang yang harus mendapat shodaqoh? Kalau rumus umumnya delapan asnaf, jawab Mbah Nun .

“Tetapi kalau menurut saya shodaqoh itu lokal saja, yang terdekat yang Anda kuasai betul petanya. Jadi, saya tidak merasa aman dengan lembaga shodaqoh atau lembaga zakat yang sifatnya kabupaten, atau nasional saya tidak bisa paham, tidak ada auditnya, sistemnya, dan transparansinya.”

Selanjutnya pertanyaan dari Ahmad Nosi, asal Jatingaleh. Ia menanyakan bagaimana kita harus menentukan sikap. Ia menceritakan bahwa anak muda sekarang kebanyakan mereka sangat bangga dan sering pamer. “Saya merasa itu salah satu penyebab kita lumpuh. Saat ini anak muda sering menonjolkan materi. Ketika saya sudah memahami kelumpuhan apa yang ada di bangsa ini terutama anak muda, apakah saya perlu bercerita ke si fulan A tentang seharusnya kita itu harus seperti apa? Padahal kalau saya banyak cerita, ketika saya memberi tahu kepada hal baik saya akan menjadi seperti itu. Saya ingin melakukan kebaikan tetapi ada rasa khawatir saya akan melakukan kesalahan yang saya sampaikan, apa yang saya sampaikan adalah hal-hal yang saya larang.”

Mbah Nun menjawab, “Saya kira metode perubahan yang paling efektif bukan kata-kata, tetapi Uswatun Khasanah. Jadilah dirimu sebagai dirimu yang mengalami pemahaman-pemahaman baru itu, terserah Allah akan membuat teman-teman Anda nyantol ke Anda atau tidak terserah Allah. Bagaimana Anda harus menentukan sikap? Anda tidak harus melakukan apa-apa, anda cukup menjadi diri Anda.  Kecuali Allah memerintahkan, akan terjadi dengan sendirinya.”

Lalu Nosi juga bertanya mengenai kasus Ahok. Diakibatkan kasus tersebut menurutnya telah terjadi kekerasan dalam hal beragama. Agama Islam seakan-akan menginjak-injak agama lain.

Mbah Nun menjawab, itu semua karena ketidakseimbangan berpikir, tetapi kita juga harus melihat sangkan parannya. Jadi orang Islam itu kehilangan keseimbangan berpikir atau objektifitas itu tidak karena mereka tidak punya tardisi ijtihad yang rasional, tetapi karena beban masalah yang berkepanjangan, keadilan yang bertele-tele.

Berikutnya menjawab penanya terakhir sebelum majlis ditutup, Mas Seno asal Tlogosari. Ia menceritakan pengalamannya saat naik gunung. Ketika sunset, kita mengarah matahari itu terbenam padahal bumi itu yang berputar. Kesadaran kita itu tidak sadar. Yang kedua bahwa kita berdiri di sini kesadaran kita pun hilang juga apakah kita sadar apakah kita melayang atau berdiri di alam semesta ini. Ia menanyakan, mungkin bisa dijabarkan ketertipuan terhadap hal-hal yang wajar, ketika melihat sesuatu hal yang wajar kita tertipu.

Mbah Nun menjawab, “Ya itu yang saya maksud Anda harus menjadi ayam dan menjadi  burung. Pandangan kita harus luas. Padahal tidak pernah ada matahari terbit dan tenggelam.”

Sebelum majelis ditutup dengan do’a dan kangen-kangenan dengan Mbah Nun, tim GS melaunching buku berjudul “Tandur” dan meminta restu Mbah Nun atas kehadiran buku “Tandur”. Isinya adalah mukadimah, catatan, reportase dari Gambang Syafaat tahun 2016 yang merupkaan kado Milad GS yang ke-17 tahun. Semoga pembahasan tema ini memberikan berkah dan menjadikan diri kita lebih pyar dari sebelumnya, juga Mbah Nun berpesan: Nek awakmu pingin ndandani indonesia ayo bareng!. (Redaksi-Malik)