blank

Gambang syafaat bulan Januari, saya tidak bisa hadir karena suatu hal. Saya justru di Jogja, dan tidak bisa kemana-mana karena ‘dipingit’. Sudah secara beruntun saya ke Gambang Syafaat sejak edisi ‘Ramadhan Ra Mung Ra Madhang’. Ada rasa gelo juga ndak bisa melingkar bersama dengan jamaah di edisi ‘Dipikir Karo Mlaku’. Setiap maiyahan, utamanya GS (isone mung hadir di GS tok) selalu membawa sesuatu yang baru. Karena memang saya ke Gambang Syafaat adalah belajar, belajar kepada suasananya, belajar kepada beberapa jamaahnya, belajar kepada Narasumber (meski mereka yang dipanggung tidak memposisikan sebagai narasumber) baik pembicaraan maupun cara penyampaiannya.

Suatu ketika ada lho, jamaah yang datang sudah mimpiin gambang syafaat jauh jauh hari, dan pada saat hari H di Gambang Syafaat, yang bersangkutan malah tidur. Entah dapat apa dia dari acara Gambang Syafaat, wong tidur. Tapi ajaibnya, bulan selanjutnya tetap datang, coba tebak, dia tidur lagi. Saya tidak berani bertanya kok iso pada acara yang ditunggu-tunggu…eh malah tidur.

Tapi meski pada edisi ‘Dipikir Karo Mlaku’ saya tidak hadir, karena saya punya orang dalam (kenal sekjen Rony Glenpo dan Eka Kurniawan) tentu dengan mudah saya bisa dapatkan rekamannya. Dan yang ndak enak tuh, saat nyodorin file, sekjen Rony Glenpo, sambil nyengir bilang ‘Nyoh.. Reportasene garap’. Bisa saja saya mengacuhkan tagihan reportase Rony Glenpo, tapi setelah mendengarkan rekaman dengan seksama, ada satu hal yang ingin saya bagi. Eitt, ini bukan reportase lho..

Cukup sering saya mendengar ‘kata kata pisuhan’ di Gambang Syafaat, biar cetho, ada kata aSuu, pake syin besar,,. Bahkan di maiyahan lain, Mbah Nun juga beberapa kali mempraktekannya. Saya mendengar saat Mbah Nun mengisahkan, orang diinjak kakinya spontan dia bilang ‘Aduhhh!’.. Lah di injak lagi, Orang yang diinjak berkata ‘Astaghfirulloh’ .. Lalu diinjak lagi, ‘Subhanalloh’.. Masih diinjak, Baru keluar ‘Asuu, Matamu.. Iki sikil dudu wesi’. Dan gerr… jamaah tertawa, seketika kemudian Mbah Nun berkata, ‘Misuh kuwi nek momentumnya pas, rak popo’.

Saya tidak tahu apa Mbah Nun punya landasan dalil naqlinya atau tidak ketika berkata ‘misuh itu kudu pas momentumnya’. Nah saat Gambang Syafaat edisi Dipikir Karo Mlaku, saya menemukan semacam referensinya. Adalah Kang Aniq yang melontarkan ayatnya, persis dengan Mbah Nun, Kang Aniq bercerita juga perihal orang yang diinjek kakinya berkali-kali dan ujung kalimat yang keluar adalah Asyuu tadi. Kemudian, buru-buru Kang Aniq berkata ‘Lho, iki pengajian kok misuh mbarang, tapi rak popo misuh boleh’. Kemudian munculah ayat ‘La yuhibbullohu jahro bi su’i minal qouli illa man dzulima, wakaanallohu samian alima’. Saat itu lagi-lagi ditegaskan bahwa, orang misuh elek tapi rak popo. Bahwa Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang kecuali bagi orang yg di dzolimi, dan Allah Maha Mendengar dan Mengetahui.

Kang Aniq memberikan wanti-wanti bahwa ayat ini bukan anjuran untuk misuh dan melegitimasi pisuhan, justru disitu jelas bahwa misuh itu ndak disukai Allah, cuma ora popo, syarate nek didzolimi.

Saya buru-buru buka Al-Qur’an, saya cari itu ayatnya, wah ternyata benar ada di Annisa 148, saya coba baca ayat sebelum dan sesudahnya. Dan lagi-lagi saya sepakat dengan Kang Aniq bahwa misuh boleh, tapi tidak misuh itu lebih baik, meski didzolimi, dibatin saja dan maafkan, itu akan menjadikan ‘sumber kekuatan’. Jadi, menurut saya jikalau kita sedang didzolimi, tidak melawan bukan berarti setuju, tidak misuh dan malah wadul ke Allah, justru itu adalah ‘hulu ledak’ agar Allah menunjukan keadilan dan kekuatanNya.

“Jika yang kecil, engkau remehkan, maka tunggulah kebesarannya. Jika yang kecil engkau anggap tiada, maka tunggulah ledakannya”.

Saya mau nulis beberapa hal yang lain, tapi saya inget ini bukan Reportase, jadi ya segini saja. Salam Maiyah…
[Em Ali Ef)