blank

GS-Juli16Anak-anak berhamburan keluar rumah tepat setelah bunyi bedug magrib bergema pada akhir ramadhan. Mereka bergembira, jangan ditanya alasannya, gembira menyambut hari raya ataukah gembira puasanya telah usai. Di beberapa mushola telah dibuat orang-orangan hias, ada yang berbentuk pesawat, ada yang berupa burung merak, ada juga miniatur masjid Istiqlal. Setelah beberapa waktu, anak-anak berkeliling desa menabuh bedug dan bertakbir, mengarak orang-orangan. Sesampai di masjid besar, beberapa orang kaya, utamanya orang rantau yang mudik, membagikan uang kepada anak-anak yang takbir keliling, uang Gress, masih mulus. Ada yang pecahan 2000, ada pula pecahan 5000, semua seakan baru diambil dari percetakan. Setelah mendapat uang, segera saja mereka membeli petasan, kemeriahan berlanjut sampai malam.

Semakin malam, bukan lagi anak-anak yang mengisi teras mushola, tetapi remaja dan orang dewasa, bergantian mereka takbiran dan ngopi, ngudud sambil ngobrol sepanjang malam. Dan esok hari, berduyun-duyun hampir semua warga desa meramaikan mushola masing-masing untuk melaksanakan sholat id, tentu dengan baju baru dan sarung barunya. Setelah itu, dilanjutkan dengan salaman, saling berjabat tangan mengucapkan minal aidzin wal Faizin. Kemeriahan berlanjut di rumah masing-masing dengan makan ketupat ramai ramai. Sebagian langsung menuju makam untuk tahlil kepada anggota atau leluhur keluarga.

Entahlah, siapa yang dahulu memprakarsai kebiasaan-kebiasaan kemeriahan hari raya. Memori itu membekas sampai tua, dan kini ketika kemeriahan hari raya digugat sebagai unjuk Riya, dan kemubadziran, perlahan hari raya seperti hari biasa. Tidak ada lagi bunyi petasan, tidak ada lagi orang-orangan yang diarak keliling desa, tidak ada lagi bagi bagi angpaow, tidak ada lagi tidur semalam suntuk di mushola, tidak ada lagi salaman, tidak ada lagi ziarah ke makam.

Semua orang menghayati hari raya di kedalaman hati sanubari mereka masing-masing. Semua telah mengerti makna hari raya, sehingga tidak butuh peristiwa untuk membungkusnya. Sunyi …

Diam-diam orang-orang rindu mengalami makna dalam peristiwa, tidak sekedar penghayatan. Rindu kepada orang-orangan yang diarak keliling bagaikan penghuni semesta yang bertasbih, rindu kepada bunyi petasan yang seolah-olah itu adalah ungkapan bahwa uang/dunia harus dibakar, rindu kepada antrian bagi-bagi angpaow yang tanpa sengaja membuat cita-cita sukses agar bisa berbagi. Tapi tidak ada yang berani memulai, sebab takut Riya, sebab takut mubadzir, takut sombong …

Hari raya tinggal cerita, kemeriahan sudah sirna. Itulah kisah desa masa depan.

Gambang Syafaat edisi Juli 2016, bertepatan dengan Syawal 1437 H, mencoba urun visi atas begitu banyaknya peristiwa dan tradisi yang semakin hilang digerus oleh zaman dan paradigma baru.