Fenomena munculnya kelompok-kelompok Islam “radikal” yang selalu membikin perpecahan, dengan cara (misalnya) mengkafirkan, mem-bid’ah-kan, men-syirik-kan, dst kelompok Islam yang lain, boleh jadi disebabkan dua hal. Pertama, sudah jamak, bahwa untuk menghancurkan satu negara, atau memundurkan umat Islam, cukup “memanfaatkan” umat itu sendiri agar merusak dari dalam tubuhnya sendiri. Bisa juga ia sebenarnya tidak paham Islam, sehingga yang dilakukan hanyalah sekadar “ghirah” penghancuran, bisa juga untuk kepentingan (misalnya) ekonomi-politik.

Kedua, bisa juga yang mereka lakukan akibat rendahnya intelektualitas, di satu sisi, namun semangat untuk “memajukan” Islam pada sisi lain. Sehingga maksudnya “baik”, namun hasilnya penghancuran. Mereka adalah kelompok-kelompok yang sesungguhnya “mencintai” Islam, namun karena belum “tercerahkan”, maka yang ia hasilkan adalah “ghirah” yang membabibuta, sehingga yang muncul hanyalah gerakan mengkafirkan yang lain, dan mengklaim hanya tafsirnya saja yang paling benar.

Mereka ini bisa jadi kelompok yang tidak mampu (tidak mau berfikir kreatif?) untuk menemukan metode “jihadnya” dalam lapangan sosial, sehingga yang ia sangka jihad hanyalah mengotak-atik fiqh dan ibadah mahdoh saja. Akibatnya, mereka hanya ber-Islam ketika berada di masjid, pas sholat, atau pada kelompok pengajiannya, namun susah ber-Islam dalam lapangan sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, bahkan berkesenian pun ia tidak mampu menemukan Islam.

Dia lupa bahwa masalah agama, tafsir, adalah masalah iman, yang tidak dapat dirumuskan secara matematis, atau diuji secara kuantitatif-kualitatif, mana yang paling benar tafsirnya. Padahal Islam itu sesungguhnya “sederhana”, karena yang harus terlihat adalah output sosialnya. Orang tidak bisa mengklaim paling saleh, paling Islam, paling benar, paling baik moralnya hanya berdasarkan pandangan sepihak, misalnya perilaku ibadah mahdoh-nya.

Mereka yang meng-klaim bahwa tafsirnya lah yang paling benar, justru dia sendiri belum “islam”. Sederhana saja, karena pada prinsipnya, Islam adalah “konsep” pemasrahan diri kepada Allah, agar kita selamat (salam) di dunia dan akherat. Untuk sampai tataran ini, Allah sudah memberi bekal kepada umatNya tiga hal, yakni akal, hati, dan syahwat. Akal atau intelektual adalah kata kunci untuk terus mencari Islam, karena ini sebuah kata kerja, dan syahwat sesungguhnya adalah “ghirah” atau semangat (bisa positif, bisa negatif, tergantung kualitas akal spiritual kita). Makanya Allah memerintahkan kita untuk meng-empan papan-kan, mem-proporsional-kan ketiga hal tersebut menjadi “adonan” yang lezat.

Orang yang sudah berhenti pada tataran kebenaran menurut tafsirnya sendiri, berarti mandeg akalnya, mandeg pencariaannya, sehingga ia akan tertutupi (Kafir?). Kalau manusia sudah mengklaimn sampai kepada “kepastian”, maka ia tak ubahnya seperti hewan dan tumbuhan, yang notabene berada dalam hukum sunatullah. Sementara manusia diberi akal oleh Allah karena ia dimandati menjadi khalifatullah.

Khalifatullah adalah tataran tertinggi, setelah ia mampu melewati tataran lain sebagai insan (manusia), abdullah (abdi Allah). Kalau manusia baru berada dalam tataran manusia (insan), maka yang muncul dalam dirinya adalah masih ego pribadi, dan belum menganggap yang lainnya juga bagian dari alam semesta yang harus bersujud kepada Tuhan. Selanjutnya jika ia sudah sampai kepada pemahaman bahwa dirinya dan yang lainnya adalah bagian dari alam semesta yang harus sujud dan mengabdi kepada Allah, maka ia sudah sampai pada tataran Abdullah. Tataran ini belum sampai pada kesadaran memikul tugas memanajemen bumi dan isinya.

Barulah jika ia sudah mampu menggunakan akal untuk “memayu hayuning bawana”, atau memanajemen bumi, maka ia sudah sampai pada tataran khalifatullah. Karenanya, mereka yang mengklaim hanya diri dan kelompoknya yang paling benar, dan mengkafirkan yang lain, jangankan sampai pada tataran khalifatullah, sampai tataran sebagai manusia (insan) saja ia belum lulus.

Padahal Al Qur’an merupakan petunjuk yang jelas untuk menuju tataran khalifatullah ini. Syaratnya, orang itu harus “tercerahkan” terlebih dahulu. Orang yang bisa “menyentuh” Al Qur’an adalah orang yang sudah bersih hati dan jiwanya, bukan saja secara fisik dengan berwudlu, namun juga “wudlu” besar yang meliputi pembersihan hati, nurani, dan jiwanya. Benar kata Allah ‘la yamassuhu illal muthohharun.

Orang yang sampai pada tataran menuju Allah, maka ukurannya jelas, yakni ia pasti akan mencintai, setidaknya menghormati ciptaan Allah. Kalau kita bilang cinta pada isteri kita, sementara kita berdurhaka kepada orang tua isteri kita (mertua) dan saudara-saudaranya, pasti itu cinta yang palsu. Demikian juga kalau kita bilang mencintai Allah namun menyakiti ciptaanNya, maka sudah pasti itu juga cinta dusta, dan Allah akan marah: “Mengapa kau bilang cinta kepadaKu, namun kau rusak ciptaanKu yang lain?”

Mereka juga belum sampai tataran khalifatullah, karena untuk sekadar menggunakan akalnya saja tidak mampu, apalagi hati nuraninya. Dan yang terakhir, ia jelas tidak “Islam”, bagaimana mungkin Islam kok tidak rahmatan lilalamin? Atau menyakiti yang lain?