blank

Saya mengikuti Mbah Nun sejak saya berada di bangku Madrasah Aliyah kiranya tahun 2017. Membaca kisah hidup beliau kemudian mulai mengumpulkan sedikit demi sedikit karya beliau. Seiring berjalannya waktu rasa keingintahuan ini membuat saya kagum dengan beliau. Di usianya yang sudah senja ini beliau mampu istiqomah untuk tidak hanya sekedar bertemu tetapi juga setia selalu menemani anak cucu nya dari kota hingga plosok desa.
Ribuan orang datang dan berkumpul di suatu forum dengan hati yang ikhlas dan bergembira untuk duduk Sinau Bareng dengan durasi yang berjam-jam tetapi karena keikhlasan hatinya, gembira suasananya tidak menyurutkan semangat jamaah untuk tetap bertahan. Forum tersebut dinamai dengan Maiyah. Forum tersebut ada sedikitnya kurang lebih 63 simpul Maiyah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Saya mengikuti dan saya bergabung bersama dengan jamaah lain di simpul Maiyah ini. Setiap bulan sekali kami berjumpa berbagi kebahagiaan dan menikmati kegembiraan tetapi terus terang saja ongkos untuk bergabung bersama Pak De, Pak Lik dan Simbah ini saya merasakan tidak ringan dan tidak murah. Kadang dianggap asing, dianggap mempersulit diri, dianggap aneh dalam berpikir bahkan kadang dianggap seperti orang aneh oleh kalangan masyarkat dan keluarga sendiri tetapi bagaimana lagi, lawong Simbah sendiri sering mengajari dan membekali kami yang menjadikan kami sangat mungkin untuk menikmati penderitaan itu sehingga kemudian tidak ada alasan bagi kami untuk tidak bergembira.
Hidup di tengah hiruk pikuk perkotaan dengan segala tuntunan dan tekanan hidup yang diderita membuat kami lelah bahkan hampir menyerah tetapi Simbah begitu amat sayang terhadap anak cucunya. Beliau selalu mengajarkan kepada kami untuk terus berjuang dan selalu istiqomah dalam menjalani kehidupan. Dawuh beliau “urip iku nomor siji dudu hasile tapi berjuange, urip iku nomor siji nandhur dudu uwohe sebab sing gawe uwoh iku gusti Allah, awakmu nandhur wis gapopo terus berjuang”. (Hidup itu nomor satu bukan hasilnya tetapi berjuangnya, hidup itu nomor satu menanam bukan buahnya, sebab yang membuat buah atau hasil itu Allah, kalian terus menanam, sudah tidak papa terus berjuang).
Saya merasakan begitu luas ilmu yang terhampar di forum lingkar Maiyah ini membuat setiap orang yang hadir tersadar bahwa mereka membawa “gelas kosong” untuk diisi, tidak untuk diperdebatkan apalagi mencari keuntungan justru yang terjadi ialah mampu untuk menikmati kekayaan ilmu yang berpendar dalam forum linggkar ini yang kemudian pada akhirnya tumbuh dalam diri sebuah kelapangan jiwa dan sikap toleransi untuk bisa memahami satu sama lain mampu menampung semua pendapat dan pandangan tanpa terjebak pada pro atau kontra oleh suatu keadaan.
Di tengah kekayaan ilmu yang ada, simbah terus mengajarkan kepada kami untuk menanam dan terus menanam, kami tidak pernah tahu kapan Tuhan mengizinkan kami untuk panen, yang Simbah ajarkan kepada kami ialah bagaiamana apa yang kami tanam untuk terjaga dan terus terjaga. Ketika ada hama yang mengganggu kita bersihkan bersama sama, ketika ada hujan badai atau tiupan angin yang kencang, kami selamatkan bersama-sama.
Simbah juga senantiasa mengajarkan kepada kami untuk senantiasa berdaulat atas diri sendiri. Sekarang ini banyak orang yang ingin punya masa, ingin punya anak buah, pingin punya pengikut dan ingin punya umat. Berbeda dengan Simbah, ia selalu menuturkan kepada kami bahwa ia tidak ingin memiliki pengikut ia tidak ingin memiliki umat atau masa dan ia juga tidak ingin Maiyah dijadikan sebagai madzab karena hanya Kanjeng Nabi Muhammad SAW lah yang bisa menolong nanti di akhirat kelak nanti. Kelembutan beliaulah yang mengubah rasa kagum saya menjadi butiran butiran cinta. Bukan hanya cinta kepada beliau tetapi juga cinta kepada ilmu-ilmu yang selama ini terpendar dalam forum lingkar Maiyah ini.
Kecintaan tersebut tentu diselimuti oleh rasa syukur yang sangat mendalam seperti halnya yang selalu diajarkan Simbah kepada kami. Empati kepada derita atau kekurangan orang lain kemudian upaya mengisinya adalah salah satu bentuk rasa syukur. Maka semakin kita menghayati derita orang lain dan bersedia untuk bekerjasama dalam mengatasi penderitaan itu, semakin lebur kita di dalam kebersamaan hidup sehingga Tuhan juga semakin sayang kepada kita. Maka di maiyahan ini seringkali kita mendengar “Ya’tillahu biqoumin yuhibbuhum wa yuhibbuunahu”. Allah akan mendatangkan suatu kaum, dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya”. Bukan untuk berlebihan, kiranya memang yang dimaksud suatu kaum tersebut ialah Maiyah.
70 Tahun bukan usia yang muda tetapi Simbah selalu istiqomah menemani anak cucunya yang masih berjuang dalam kepungan kegelapan, yang masih terbata bata dalam berjalan, yang masih tertimpa, tertindih dan dihajar oleh beribu beban dan permasalahan. Ied Milad Sa’ied, Mbah. Dari cucumu yang masih kadang masih cengeng terhadap penderitaan yang dihadapi.