blank

Buku kumpulan esai kerap mendapat julukan ”buku yang bukan buku.” Karya berupa kumpulan tulisan sulit dianggap bergengsi secara keilmuan. Akademisi kampus dan kaum intelektual menempatkan buku kumpulan tulisan di kasta kedua. Bagi mereka, buku yang benar-benar buku adalah buku yang disusun berdasarkan hasil riset yang disajikan dalam satu buku utuh. Buku berupa kumpulan tulisan silit menunjukkan pamor keilmuan. Kendati demikikan, buku kumpulan esai terus terbit dan para penulis esai tampaknya enteng saja menanggapi peremehan tersebut.

Emha Ainun Nadjib bisa kita sebut satu dari sedikit penulis di Indonesia yang terus menerbitkan buku kumpulan esai. Barangkali karena hampir semua karyanya berupa kumpulan esai, hasil pemikirannya sulit menjadi rujukan kutipan di karya ilmiah disertasi, tesis, atau skripsi. Dan konon, seorang penulis sulit diakui sebagai pemikir atau intelektual ampuh jika melulu menghasilkan karya berupa kumpulan esai. Emha Ainun Nadjib berada di kategori tersebut. Sehingga ia menjadi seorang penulis esai bertema Islam yang produktif tetapi sulit dimaksudkan dalam daftar pemikir Islam atau seorang intelektual yang mumpuni.

Namun, Emha Ainun Nadjib tampak tidak menyesali keputusannya. Sampai kini, di usia yang semakin tua, esai demi esai mengalir deras dari kepalanya. Belum ada tanda-tanda Emha Ainun Nadjib bakal pensiun dari dunia esai. Ia masih menulis, menulis dan menulis. Meski kumpulan tulisannya sulit mengantarkan dirinya dianggap oleh akademisi kampus sebagai pemikir Islam di Indonesia. Ia tetap menerbitkan esai-esainya.

Ada beberapa alasan mengapa penulis—mungkin juga termasuk Emha Ainun Nadjib—masih mau menerbitkan buku kumpulan esai. Satu di antaranya adalah untuk keperluan dokumentasi tulisan. Penerbitan buku kumpulan esai bisa mengumpulkan esai-esai yang tercecer di pelbagai rubrik koran dan yang cuma ngendon di file komputer. Cara seperti itu bisa meminimalir esai yang hilang ditelan virus komputer atau hilang tak terlacak jejaknya. Bagi penulis, penerbitan buku kumpulan esai bisa digunakan untuk mengetahui kemajuan atau kemunduruan seorang penulis selama karier penulisannya. Namun, cara ini tampaknya kerap dihindari para penulis sebab penulis kerap melakukan seleksi karya dan memilih esai-esai yang terbaik. Karya esai-esai yang buruk tidak disajikan ke pembaca sebagai siasat menghindari penilaian buruk dari pembaca. Cara ini wajar dilakukan mengacu pada hukum pasar, kualitas barang adalah hal utama. Tidak terkecuali buku kumpulan tulisan.

Di pasaran, buku kumpulan tulisan atau esai tidak bernasib buruk-buruk amat. Pembaca masih menaruh buku kumpulan esai di daftar belanja buku. Pembelian buku kumpulan esai itu kita duga-duga bisa sekadar untuk dibaca sampai khatam atau dijadikan bahan belajar menulis esai. Saya kerap membeli buku kumpulan esai untuk belajar bagaimana menulis esai dengan baik. Buku-buku kumpulan esai itu berguna sekali untuk memandu pemula yang sedang berlatih menulis esai.

Berangkat dari kenyataan itu, kita jadi maklum bahwa penulis-penulis esai tersohor wajib menerbitkan buku kumpulan esai karena itu berguna banget bagi pembaca setianya. Sebab karyanya tidak sekadar dibaca saja, tetapi juga digunakan sebagai teman belajar menulis. Mungkin itu yang memicu seorang pembaca Panji Masyarakat menulis di surat pembaca yang mengusulkan penerbitan kumpulan esai dari esai-esais yang sering nongol di kolom esai Panji Masyarakat. Surat itu dimuat di majalah edisi 11 Desember 1983, dan isinya seperti ini:”saya usulkan agar Sdr. Ayip Bakar, Emha Ainun Nadjib, Nadjib Kertapati Z yang pernah dimuat agar dibukukan.” Si penulis surat pembaca menyebut Emha Ainun Nadjib di antara penulis lain. Hampir di setiap edisi, Emha Ainun Nadjib hampir tidak pernah absen mengisi kolom esai di Panji Masyarakat.

Keseringan menampilkan esai-esai di kolom majalah memicu seorang pembaca mengusulkan agar esai-esai itu lekas dibukukan. Redaksi yang mendapat usul itu tidak diam saja. Redaksi melanjutkan usul itu ke penulis yang namanya disebut oleh si penulis surat pembaca. ”Para penulis, usul yang baik nih!” kata redaksi. Terkhusus tulisan Emha Ainun Nadjib, usul si penulis surat pembaca terkabulkan. Kumpulan esai Emha yang semula dimuat di Panji Masyarakat telah terbukukan dan terus cetak ulang sampai sekarang.

Tentu banyak pihak yang berperan yang mengompori penerbitan kumpulan tulisan Emha. Barangkali satu dari sekian banyak pihak yang berperan itu adalah si penulis surat pembaca ini: Jauhari Wahyuningtyas Asih. Orang yang bermukim di Jalan Jembatan I/04 Juana, Jateng. Usul ini tidak muluk-muluk dan gampang terwujud. Kita duga si penulis surat pembaca itu mesem setelah mendapati buku-buku kumpulan esai karya penulis-penulis yang ia sebutkan terbit. Ia merasa usulnya didengar dan dikabulkan. Alhamdulillah., rezeki!