blank

Sudah sejak awal bulan, teman-teman di Gambang Syafaat menagih tulisan khusus kepada saya untuk 19 tahun Gambang Syafaat. Apa mau dikata, baru kali ini saya bisa menyempatkan waktu untuk menulis. Secara pribadi, ada hutang rasa yang cukup besar bagi saya kepada Gambang Syafaat. Kesetiaan penggiat Gambang Syafaat menjaga keberlangsungan forum adalah perjuangan yang tidak mudah. Menjadi salah satu simpul Maiyah yang dituakan, Gambang Syafaat tentu memikul beban untuk menjadi teladan bagi adik-adik mereka, terutama bagi simpul Maiyah yang baru lahir beberapa tahun belakangan.

Saya sendiri bersama teman-teman di Kenduri Cinta, memiliki atensi yang cukup besar dengan teman-teman Gambang Syafaat. Secara usia forum, Gambang Syafaat lebih tua dari Kenduri Cinta. Padhangmbulan dan Mocopat Syafaat adalah sumber mata air Maiyah, tempat dimana kita bersama menimba ilmu. Setelah kedua mata air itu, ada Gambang Syafaat, baru kemudian Kenduri Cinta lahir. Sekian tahun kemudian, Bangbang Wetan juga lahir.

Jika melihat kultur budaya masyarakat di Semarang, cukup sulit untuk mendefinisikan apa yang harus disajikan oleh Gambang Syafaat agar Maiyah mampu diterima di Semarang dan sekitarnya. Kultur yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan Kenduri Cinta di Jakarta misalnya, dengan masyarakat urban dengan beragam kesibukannya, juga ritme kehidupan yang berjalan begitu cepat, berada di pusat denyut nadi kehidupan Jakarta dan juga Indonesia, Kenduri Cinta relatif lebih mudah menyajikan sesuatu kepada masyarakat urban di Jakarta, sehingga mereka pada akhirnya mulai mengenal Maiyah melalui Kenduri Cinta.

Berbeda dengan Semarang, meskipun secara kelompok masyarakat di Semarang hampir sama dengan di Jakarta dan juga Yogyakarta, ada banyak kampus di sana, masyarakat pekerja juga banyak, namun ritme kehidupan yang dialami sangat berbeda. Teman-teman Gambang Syafaat membutuhkan formula khusus untuk meramu forum majelis ilmu ini mampu bertahan hingga tahun ke-19 ini.

Saya sendiri bukan penikmat cerita-cerita wayang, namun membaca tulisan sebelumnya di rubrik Lincak yang menggambarkan bahwa Gambang Syafaat adalah Bambang Ekalaya, saya sangat sepakat. Jika ada penggiat simpul Maiyah yang bertanya kepada saya tentang simpul Maiyah mana yang paling patut dijadikan teladan kesetiaan, maka nama Gambang Syafaat ada di urutan pertama dalam daftar yang saya susun.

Setiap simpul Maiyah memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun demikian Gambang Syafaat sebagai salah satu simpul yang dituakan tentu menjadi salah satu teladan bagi simpul Maiyah yang lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, di sekitaran Semarang, lahir beberapa simpul Maiyah, sebut saja Majlis Gugur Gunung, Majlis Alternatif, Sedulur Maiyah Kudus, Kalijagan, Tembang Pepadhang, Kidung Syafaat, dan jika kita bergeser lebih jauh lagi di jalur pantura, ada Lumbung Bailorah di Blora dan Sendhon Waton di Rembang. Bagi saya, ini adalah bukti bagaimana spektrum Maiyah yang digelorakan oleh Gambang Syafaat selama 19 tahun ini berhasil menumbuhkan tunas-tunas baru Maiyah yang berada di kota-kota sekitar Semarang. Tak masalah mereka berproses dengan segala dinamika, skala, ruang dan waktu mereka masing-masing, toh pada akhirnya mereka akan bermuara di satu mata air yang sama.

Bagi teman-teman penggiat simpul Maiyah, kita semua menyadari bahwa forum yang selalu kita rawat keberlangsungannya setiap bulan ini sama sekali tidak laku di media massa. Tidak menariknya Maiyah bagi media massa dalam sudut pandang Maiyah adalah sebuah keuntungan yang luar biasa. Justru karena tidak menarik bagi media massa itulah kita lebih bebas bergembira dalam tabung raksasa “kesunyian” ini.

Betapa bergembiranya kita bersama-sama sinau bareng di Maiyah, melalui simpul-simpul Maiyah yang saat ini tercatat lebih dari 60 titik. Jika sudut pandang yang kita gunakan adalah sudut pandang orang modern, 60 titik simpul Maiyah adalah peluang yang luar biasa untuk menciptakan sebuah gerakan revolusi untuk mengubah Indonesia…….. Hasprek!!! Untunglah kita semua tidak menggunakan pijakan mainstream itu. Seperti apa yang diungkapkan oleh Mbah Nun, ora patheken!

Kita bergembira dengan adanya lebih dari 60 titik forum majelis ilmu yang berfungsi sebagai panggung dengan seribu podium. Setiap orang yang datang adalah para pembelajar, tidak ada yang merasa lebih pintar, tidak ada yang merasa lebih unggul, bahkan kita benar-benar berani menyatakan bahwa kita ini masih bodoh, dan masih butuh belajar kepada banyak orang yang lebih berilmu dari kita. Pakem-pakem konsep pembelajaran modern, runtuh seketika di Maiyah. Dengan nuansa egaliter yang terbangun secara alami, tanpa dibuat-buat, tanpa pencitraan, tanpa make up, justru dengan kesadaran menjadi diri kita sendiri inilah menjadi salah satu sumbu penyemangat sehingga kita bersama-sama mengikatkan diri pada satu nilai yang sama di Maiyah. Terserah siapapun yang berbicara di podium Maiyah, toh pada akhirnya kebenaran akan ilmu yang disampaikan menjadi khasanah ilmu pembelajaran yang baru bagi setiap orang yang mendengarkannya. Setuju atau tidak, kita semua memiliki kedaulatan yang sama untuk mengambil keputusan. Bahkan pada tahap selanjutnya, kita pun tidak berani untuk memaksakan kebenaran ilmu atas tafsir kita masing-masing untuk diyakini pula oleh orang lain. Betapa bahagianya kita di Maiyah dengan konsep sinau bareng seperti ini.

Oke, saya sendiri juga paham bahwa salah satu keresahan jamaah Maiyah di Gambang Syafaat pada setiap bulannya adalah pertanyaan tentang; Apakah Mbah Nun hadir atau tidak?. Pertanyaan yang juga selalu saya dapatkan di Kenduri Cinta pada setiap bulannya. Sekarang mari kita gunakan sudut pandang yang sedikit berbeda, bahkan di Padhangmbulan sekalipun, Mbah Nun juga pernah tidak hadir bukan? Cibiran dari jamaah akan selalu datang untuk menganggu keikhlasan penggiat simpul Maiyah, apalagi simpul Maiyah yang usianya tua seperti Gambang Syafaat. Suara-suara miring dari jamaah yang hanya berfikir bahwa gayengnya Maiyahan ya kalau ada Mbah Nun saja, menjadi bumbu-bumbu perjuangan yang pasti hanya akan membikin sakit hati jika cibiran itu dimasukkan ke hati. Maka, salah satu pasal yang pernah disampaikan oleh Mas Sabrang adalah, bahwa penggiat simpul Maiyah itu nomer satu adalah jangan baper-an.

Bahkan Kenduri Cinta pun, ketika Mbah Nun tidak berkesempatan hadir, tetap saja ada yang mencibir dan ada yang mengatakan seperti forum Maiyah yang usianya belum genap 2 tahun. Karena parameter yang digunakan hanyalah jumlah kuantitas massa yang hadir. Ya, kalau ente mau hadir di sebuah acara dengan jumlah massa yang banyak, ente datang aja ke konser musik atau pertandingan sepakbola aja. Memikirkan cibiran-cibiran mereka itu tidak ada gunanya, toh pada akhirnya justru lebih banyak jamaah yang menyadari bahwa kehadiran Mbah Nun tidak harus selalu secara fisik, namun melalui nilai-nilai Maiyah, melalui nuansa kebersamaan, guyub, kegembiraan dan kebahagiaan kita di setiap Maiyahan itu kita rasakan bersama.

Tentu kita masih ingat, di tahun 2016 lalu ada 3 nilai utama yang selalu digaungkan; nandur, poso, shodaqoh. 3 spirit nilai ini sangat dalam maknanya jika kita benar-benar serius menyelaminya. Jangankan orang bertani yang salah satu perannya adalah menanam di sawah, bagi mereka panen adalah sesuatu yang ghaib. Begitu juga dengan para pedagang, berapa banyak dagangan mereka yang laku adalah hal yang ghaib. Tidak ada satupun tukang ojek yang mampu memastikan berapa banyak penumpang yang bisa ia antar setiap harinya. Itulah gambaran sederhana kita di Maiyah.

Tanamlah nilai-nilai Maiyah, di ladang mana saja yang bisa kita tanami. Kemudian berpuasalah atas apa yang telah kita ijtihadi bersama ini. Niatkanlah bahwa apa yang kita lakukan bersama di simpul Maiyah ini adalah sedekah, yang belum tentu manfaatnya kita sendiri yang merasakannya. Bisa jadi, yang merasakan manfaatnya adalah sekian generasi penerus yang akan datang.

Salam takdzim kepada seluruh penggiat Gambang Syafaat, juga kepada para jamaahnya yang setia merawat terselenggaranya forum majelis ilmu ini. Selamat ulang tahun Gambang Syafaat ke-19. Selamat berproses menuju tahun-tahun selanjutnya. Bergembiralah menikmati pesta cahaya ini. Kita semua tidak pernah mengetahui akan berada dimana garis akhir dari perjalanan dan perjuangan ini. Andaikan esok adalah hari kiamat, dan di tangan kita ada benih padi, yang pasti kita lakukan adalah menanamnya.